Islam dan Muslim- Antara Rahmatal dan Radikal

KITA dikejutkan oleh peristiwa peledakan bom. Meledak di tiga lokasi sekaligus. Lokasi yang lekat dengan norma dan nilai agama dan sarat dengan suasana teonang dan damai. Lokasi yang dekat dengan Tuhan. Tuhan yang mengajarkan kedamaian. Damai bagi para penganutnya. Bahkan damai bagi semesta alam, melintasi keragaman agama dan iman.Pihak aparat tanggap melakukan tindakan. Dalam waktu cepat sudah diketahui, siapa pelakunya. Menurut pihak aparat, tragedi itu merupakan peristiwa bunuh diri dengan cara meledakkan bom di tempat ibadah penganut agama tertentu, yang dilakukan oleh satu anggota keluarga, yang terdiri dari seorang kepala keluarga, seorang istri dan tiga orang anak mereka. Baik keterangan menurut aparat maupun secara kasat mata yang dapat kita lihat, faktanya memang demikian.


Daftar Mubaligh
Kita juga dihadapkan pada kontroversi atas dikeluarkannya daftar 200 orang mubaligh oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. Rilis yang ditandatangani oleh Lukman Hakim Saefudin ini menuai tanggapan pro dan kontra dari masyarakat. Polemik ini muncul karena sebagian masyarakat menduga bahwa pemerintah sedang melakukan dikotomi antara mubaligh yang diakui dan tidak diakui oleh pemerintah.

Sulit untuk menepis bahwa dua peristiwa yang terjadi secara beruntun ini tidak ada hubungan dan tidak saling berkaitan. Bahkan salah satu televisi swasta nasional sampai menggelar acara talkshow diskusi dengan judul mengaitkan antara keduanya. Pendapat dan analisis berhamburan keluar seolah berlomba bahwa argumen masing-masing yang paling benar.

Kepentingan Politik
Polemik semakin panas ketika dua peristiwa ini diseret ke dalam kubangan politik. Menjelang pesta demokrasi berupa pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden, kejadian ini dinilai seksi” untuk dijadikan alat politik, meraih dukungan sekaligus menjadi alat menyerang bagi lawan politik. Masyarakat terpolarisasi pada dua kubu; kubu pendukung pemerintah dan kubu pendukung oposisi. Menurut versi aparat, peledakan bom di rumah ibadah dilakukan oleh teroris. Kebetulan para pelakunya beragama Islam.

Atas dasar itu, aparat menindaklanjutinya dengan melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang dianggap memiliki hubungan dengan para pelaku. Lagi-lagi, jejaring mereka juga beragama Islam. Bahkan aparat sudah menyimpulkan bahwa para pelaku merupakan anggota dan pengurus Jamaah Ansharut Daulah, jaringan organisasi di bawah ISIS.

Sementara kalangan yang menganggap peristiwa itu merupakan setingan atau rekayasa, mereka beralasan bahwa kejadian ini hanyalah sebagai pengalih perhatian masyarakat dari isu yang lebih penting. Misalnya kenaikan harga BBM, banyaknya pekerja asing yang bekerja di tanah air, merosotnya nilai tukar rupiah dan pergantian presiden periode mendatang.

Umat Yang Radikal
Terlepas dari perbedaan cara pandang antara kedua kubu di atas, penulis ingin mengajak kepada para pembaca untuk lebih mendalami dan memahami akar persoalan yang kerap menjadi perdebatan. Tiap kali terjadi peledakan bom, selalu disimpulkan bahwa itu merupakan tindakan teroris. Pelakunya kebetulan beragama Islam. Tindakannya dianggap dilatarbelakangi oleh paham keagamaan. Paham keagamaan yang dianggap radikal.

Paham keagamaan radikal merupakan cara pandang seseorang atas ajaran agama secara puritan. Puritan itu berpikiran sempit. Cirinya, menganggap bahwa pemahamannya yang paling benar, disertai sikap menyalahkan atas cara pandang yang berbeda dengannya. Karena yang lain dianggap salah, maka dia memaksakan agar orang lain memiliki pemahaman yang sama dengannya.

Pemaksaan pemahaman ini kadang diwarnai dengan kekerasan, baik secara fisik maupun secara psikis. Tindakan persekusi atas orang-orang yang dianggap memiliki dan menganut ajaran sesat adalah salah satu contohnya. Padahal, sesatnya Ahmadiyah dan Syiah, cukup dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia. Tapi kita sering menyaksikan adanya pengepungan, penyerbuan, bahkan pembantaian atas mereka yang dianggap sesat. Sesat karena berbeda.

Lebih luas dari itu, konflik antar umat beragama juga terjadi akibat dari pemahaman keagamaan yang puritan tadi. Karena berbeda aqidah, lalu dianggap halal darahnya untuk ditumpahkan, untuk dibinasakan. Sikap puritanisme ini ada pada tiap penganut ajaran agama, yang menimbulkan pertikaian antar umat beragama lintas iman ini. Masing-masing meyakini bahwa hanya keyakinannya yang benar dan yang lain salah. Perang Salib diluar negeri, dan konflik Poso di dalam negeri, adalah dua contoh diantaranya.

Agama Rahmatalilalamin
Sejatinya, Tuhan menurunkan agama sebagai petunjuk hidup bagi manusia agar manusia bisa hidup bersosial di dunia dan bisa menjalaninya dengan damai. Tuhan menurunkan ajaranNya kepada umatNya dengan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh umat yang menerimanya. Maka tidak heran bila kemudian bahasa” Tuhan beragam. Keragaman bahasa Tuhan itu karena manusia penerima wahyuNya juga beragam.

Keragaman pada manusia merupakan hukum alam ciptaan Tuhan. Keragaman itu disengaja, agar manusia mau berpikir. Dalam firmanNya Tuhan menegaskan bahwa, Bukan Ku tak mampu menciptakan kalian dalam bentuk yang seragam. Sesungguhnya itu Ku sengaja agar kalian berpikir”. Jadi, keragaman merupakan kehendak Tuhan. Maka upaya memaksakan agar manusia seragam, lebih-lebih seragam dalam hal pemikiran bahkan keyakinan, merupakan tindakan yang melawan kehendak Tuhan.

Keragaman ini selaras dengan jargon dalam Islam, bahwa Islam adalah agama pembawa rahmat bagi semesta alam. Muslim dituntut untuk mampu mengimplementasikan jargon ini dalam tindakan keseharian. Pembawa rahmat bias dimaknai bahwa Islam adalah agama penuh welas kasih dan membawa kedamaian. Kedamian bagi penganutnya, juga bagi bukan penganutnya. Ada banyak muslim yang dapat menangkap dengan baik atas makna ini. Namun tidak sedikit juga yang kontradiktif dengan prinsip mulia ini.

Kerap muncul pembelaan atas sebuah tindakan kekerasan yang dilakukan atas nama agama oleh penganut paham radikal, hanya karena pelaku kekerasan adalah orang yang masih satu iman. Hal ini selain menunjukkan tidak selaras dengan prinsip qulil haq walaukana murran”, bahwa berkata perihal yang benar walau terasa pahit, juga merupakan sikap pembelaan yang membabi buta.

Islam itu teori. Muslim itu praktek. Idealnya, Islam dan muslim itu selaras. Islam dan muslim idealnya berada dalam satu tarikan nafas. Islam dan muslim harus konsisten dan koheren. Faktanya, ada banyak yang berhasil menerapkannya. Tapi tak sedikit lain di lisan lain di tindakan”. Islamnya membawa kedamaian, segelintir muslimnya melakukan kekerasan.

Jadi, bila ada tindakan kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh segelintir muslim, akui saja bahwa itu ada. Tapi tindakan dimaksud tidak mencerminkan ajaran Islam yang sesungguhnya.

Jangan terus lakukan pembelaan atas tindakan yang nyata-nyata bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Apalagi menuduh bahwa kejadian itu hanyalah rekayasa. Di mana nurani kita saat menuduh bahwa itu kejadian rekayasa, sementara ada banyak nyawa melayang?

Apapun motifnya, entah doktrin agama atau kepentingan politik dan syahwat berkuasa, tindakan kekerasan yang menyebabkan korban jiwa tidak dapat dibenarkan. Mari lebih jernih dalam memilah, lebih bijak dalam melakukan pembelaan. Membela dan memberikan dukungan pada yang benar, bukan membela dan memberikan dukungan hanya karena seiman. Wallahualam.


Ocit Abdurrosyid Siddiq

Penulis adalah Santri Kampung

ikuti terus update berita rmoljatim di google news