Metamorfosis Guru: Ketika Kapur Berubah Menjadi Filter TikTok dan Papan Tulis Menjadi Layar Gawai

Foto dok
Foto dok

DI ZAMAN ketika algoritma lebih dipercaya daripada akal sehat, dan notifikasi lebih cepat direspon daripada panggilan nurani, profesi guru mengalami transformasi paling absurd dalam sejarah pendidikan modern. Dulu, guru berdiri tegak di depan kelas, memegang kapur dan buku pegangan, menyebarkan ilmu dengan kepercayaan penuh pada metode deduktif-induktif ala Ki Hajar Dewantara. Kini, sebagian dari mereka berdansa di depan kamera, berdialog dengan emoji, dan menjadikan TikTok sebagai ruang kelas digital—yang lebih banyak memberi nilai tambah pada popularitas daripada pengetahuan.

Fenomena ini bukan sekadar perubahan gaya mengajar; ini adalah metamorfosis struktural yang menyoal ulang eksistensi guru di era digital. Jika dulu guru adalah tokoh panutan dengan aura intelektual, kini guru bisa saja menjadi selebgram edukatif dengan konten yang bercampur antara nilai, hiburan, dan estetika viral. Maka pertanyaannya: apakah ini kemajuan? Atau degradasi dengan pencitraan algoritmik yang terselubung?

Dari Kapur ke Kamera: Evolusi atau Erosi Nilai?

Pendidikan seharusnya menjadi jalan sunyi menuju pemahaman. Namun kini, pendidikan terjebak dalam belantara gawai, tren, dan algoritma. Guru yang dahulu menjadi representasi akal budi, perlahan digeser oleh guru yang sibuk memilih angle kamera terbaik. Dulu guru mengajarkan pentingnya berpikir sebelum bertindak; sekarang, guru mengajarkan pentingnya viral dulu, konten belakangan.

Kita tidak bisa menyalahkan para guru sepenuhnya. Sistem pendidikan yang stagnan, upah yang stagnan, dan apresiasi yang minim membuat banyak guru mencari pelampiasan eksistensial di ruang-ruang maya. TikTok pun menjadi “ruang kelas alternatif” yang lebih menghargai views daripada nilai ujian, dan lebih meriah daripada pelatihan Kurikulum Merdeka.

Menjual Ilmu atau Menjual Diri?

Timbul satu dilema besar: ketika guru tampil di TikTok, apakah ia sedang mengajar atau sedang mempromosikan diri? Tidak sedikit guru yang menggunakan platform tersebut untuk menjelaskan materi dengan cara yang menyenangkan—ini sah dan bahkan perlu diapresiasi. Namun, ada pula yang sekadar menjual gaya, menari-nari tanpa substansi, atau mengunggah konten yang ambigu antara edukasi dan eksibisionisme. Inilah ketika batas antara profesi dan performa menjadi kabur.

Lebih gawat lagi, ada kecenderungan sistemik untuk memuja guru yang “kreatif secara algoritmis”—yakni yang kontennya viral—daripada yang mengajar di kelas dengan dedikasi, meski tanpa followers.

Kapitalisasi Profesi Guru di Era Sosial Media

Kapitalisme digital telah menjangkiti semua lini, termasuk dunia pendidikan. Seorang guru kini tidak hanya harus menyusun RPP, menghadiri workshop, atau membimbing siswa; ia juga harus pandai membuat konten, menaikkan engagement, dan membangun personal branding. Sekolah pun mulai bangga jika ada gurunya “famous di TikTok,” meski belum tentu famous di hati para murid.

Guru tak lagi sekadar pendidik, tapi juga pemasar. Ilmu tak lagi cukup diajarkan, tapi harus dijual dengan bumbu dramatisasi, backsound tren, dan tantangan viral. Guru berubah menjadi “influencer edukatif,” yang kadang harus berdansa untuk menjelaskan rumus fisika atau menyanyikan lirik untuk menjelaskan sejarah revolusi industri.

Pendidikan Berbasis Likes dan FYP

Ketika FYP (For You Page) menjadi orientasi pengajaran, maka pendidikan bergeser dari proses menuju performa. Ini adalah fenomena yang membahayakan: karena pendidikan tidak dibangun untuk kepuasan instan, tetapi untuk pembentukan jangka panjang. Namun sayangnya, algoritma TikTok hanya peduli pada keterlibatan emosional sesaat, bukan pada kualitas nalar atau nilai etik.

Guru TikTok yang tampil lucu, menyenangkan, dan kekinian seringkali mengungguli guru konservatif yang mengajarkan logika dengan cara klasik. Padahal, nalar kritis tidak bisa diajarkan lewat joget, dan karakter tidak bisa dibangun lewat filter beautify.

Resistensi, Adaptasi, atau Asimilasi?

Ada tiga tipe guru di era ini. Pertama, mereka yang menolak total dunia digital: menutup diri dari media sosial dan percaya bahwa papan tulis adalah jalan satu-satunya. Kedua, mereka yang adaptif: memanfaatkan media sosial sebagai alat bantu, bukan sebagai panggung utama. Dan ketiga, mereka yang terasimilasi total: menjadi “guru-konten-kreator” yang lebih sering mengatur lighting daripada menyiapkan bahan ajar.

Yang paling menyedihkan adalah ketika guru tipe ketiga ini lebih cepat naik pangkat—setidaknya secara sosial—karena dilihat sebagai “pembaharu,” sementara guru yang konsisten di kelas dianggap kuno dan tidak inovatif. Sistem apresiasi ini salah arah.

Ketika Murid Lebih Kenal TikTok Guru daripada Materinya

Salah satu gejala terburuk dari fenomena ini adalah dislokasi otoritas. Murid tidak lagi menghormati guru karena ilmunya, melainkan karena jumlah followers-nya. Nilai otoritatif dari guru sebagai intelektual publik mulai pudar, digantikan oleh status sosial digital. Maka tidak heran jika seorang guru diminta selfie setelah viral, tapi dicuekin ketika menjelaskan fungsi integral.

TikTok sebagai Simptom, Bukan Penyebab

Namun, adil juga untuk menyatakan bahwa TikTok hanyalah gejala dari problem struktural yang lebih dalam: stagnasi sistem pendidikan, birokrasi pendidikan yang tidak relevan, kurikulum yang berputar di tempat, serta penghargaan terhadap guru yang terlalu formalistik. Ketika sistem tidak memberi ruang bagi ekspresi kreatif dalam ranah pedagogis yang sehat, maka media sosial menjadi pelarian.

TikTok adalah ruang yang tak diatur oleh Kementerian, tak dibatasi oleh kepala sekolah, dan tidak memerlukan RPP untuk berkarya. Ia menawarkan kebebasan semu, yang terasa manis di tengah tekanan kerja yang makin absurd dan tuntutan administrasi yang tak manusiawi.

Apa yang Harus Dilakukan?

Pertama, kita harus merevisi cara pandang terhadap “guru ideal.” Guru tidak harus viral, tidak harus joget, dan tidak harus memakai filter untuk dianggap modern. Modernitas dalam pendidikan seharusnya dilihat dari kemampuannya menghubungkan murid dengan realitas, membangkitkan daya pikir kritis, dan menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan.

Kedua, pemerintah dan institusi pendidikan harus membuka ruang kreativitas yang tidak harus tunduk pada algoritma. Guru perlu dilatih untuk menggunakan teknologi sebagai alat bantu pengajaran, bukan sebagai panggung utama pertunjukan diri.

Ketiga, murid juga perlu diajarkan untuk menilai guru bukan dari seberapa “kekinian” kontennya, tapi dari seberapa dalam ilmunya. Ini memerlukan pendidikan media literasi sejak dini.

Humanisme yang Tersisa: Antara Popularitas dan Dedikasi

Di balik semua ini, kita tidak boleh lupa bahwa guru tetaplah manusia. Mereka juga butuh eksistensi, pengakuan, dan ruang berekspresi. Maka kita tak boleh serta-merta mencela guru TikTok tanpa memahami konteks sosial yang melatarinya. Barangkali, TikTok menjadi satu-satunya jalan bagi mereka untuk menggapai rasa harga diri yang selama ini dilupakan negara.

Namun, guru juga tidak boleh kehilangan idealismenya. Di tengah terpaan konten, rating, dan algoritma, guru tetaplah kompas moral bangsa. Maka jika guru mulai kehilangan arah karena sorotan kamera, kita patut khawatir pada nasib generasi mendatang yang dibimbing oleh pencitraan, bukan keteladanan.

Metamorfosis guru dari pengajar mapel menjadi seleb TikTok bukan sekadar anekdot zaman, tapi cermin pergeseran nilai dalam sistem pendidikan kita. Ketika papan tulis tergantikan oleh layar, dan nilai tergantikan oleh views, maka kita sedang menyaksikan zaman ketika guru tak lagi menjadi pelita di tengah kegelapan, tapi sekadar bintang di tengah gemerlap palsu dunia maya.

Sudah waktunya kita bertanya: mau dibawa ke mana wajah pendidikan bangsa ini? Apakah kita akan membiarkan guru terus berubah menjadi entertainer, atau kita akan mengembalikan martabat mereka sebagai penjaga akal budi, meski tanpa efek filter?

*Pengarang novel, pemerhati sosial dan budaya, esais, dan cerpenis

ikuti terus update berita rmoljatim di google news