Soeharto Pahlawan, Aktivis Pengkhianat?

Foto ilustrasi/Khairul A. El Maliky
Foto ilustrasi/Khairul A. El Maliky

DALAM pusaran wacana nasionalisme dan sejarah kekuasaan di Indonesia, selalu muncul satu pertanyaan: siapa yang berhak menyandang gelar pahlawan? Apakah mereka yang membebaskan rakyat dari penderitaan, atau justru yang membungkam suara-suara kritis demi stabilitas yang semu?

Pertanyaan ini kembali mencuat tatkala usulan menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional kembali mengudara. Sebuah narasi kontroversial, mengingat banyak luka sejarah yang belum mengering, terutama dari peristiwa kelam 1965 dan tragedi 1998. Lalu, jika Soeharto adalah pahlawan, di manakah posisi para aktivis 1998 yang menumbangkannya? Apakah mereka kini harus ditulis ulang sebagai pengkhianat?

Opini ini hendak membedah narasi tersebut secara historis, kritis, dan tetap santai agar pembaca tak merasa seperti sedang duduk dalam kuliah filsafat politik berjam-jam. Mari kita bongkar logika kekuasaan dan ingatan publik yang kadang terlalu gampang amnesia sejarah.

Menggugat Narasi Kepahlawanan

Gelar "pahlawan nasional" dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 bukan sekadar anugerah simbolik. Ia adalah bentuk pengakuan negara terhadap kontribusi luar biasa seorang individu dalam membela bangsa, baik dalam bentuk perjuangan fisik maupun ideologis. Artinya, pahlawan adalah representasi nilai, bukan sekadar nama besar.

Jika Soeharto diusulkan menjadi pahlawan nasional, maka kita harus menimbangnya bukan dari seberapa lama ia memerintah, melainkan apa dampak kekuasaannya terhadap bangsa ini. Soeharto memang punya rekam jejak pembangunan, stabilitas politik (meski artifisial), dan pertumbuhan ekonomi. Tapi sejarah bukan hanya soal angka-angka. Ia juga tentang air mata, pelanggaran HAM, dan suara-suara yang dibungkam.

Soeharto dan Bayang-Bayang Orde Baru

Pemerintahan Orde Baru berdiri di atas fondasi kekerasan. Itu fakta sejarah. Kejatuhan Soekarno dan naiknya Soeharto tak bisa dilepaskan dari peristiwa 1965, yang memicu pembantaian massal terhadap jutaan orang yang dituduh PKI atau simpatisannya. Laporan Amnesty International, TAPOL, hingga riset para akademisi menyebutkan: lebih dari 500.000 hingga 1 juta nyawa hilang.

Soeharto naik ke puncak kekuasaan setelah tragedi itu, dan rezimnya berdiri selama 32 tahun dengan landasan stabilitas yang ditegakkan lewat represi. Pelanggaran HAM berat terjadi dalam berbagai bentuk: pembungkaman pers, penangkapan sewenang-wenang, penghilangan paksa, hingga pembantaian di Timor Timur, Tanjung Priok, Talangsari, dan tentu saja reformasi 1998.

Apakah tokoh dengan rekam jejak seperti ini layak disebut pahlawan nasional? Pertanyaan ini bukan sekadar provokasi, melainkan undangan untuk berpikir jernih tentang siapa yang kita wariskan sebagai teladan generasi.

Aktivis 98: Pejuang atau Pengacau?

Jika Soeharto diberi gelar pahlawan, maka pertanyaannya: siapa lawannya saat itu? Tentu saja para aktivis reformasi, mahasiswa, buruh, LSM, dan kelompok pro-demokrasi lainnya. Mereka yang turun ke jalan, mengangkat poster, berorasi, bahkan harus kehilangan nyawa dan teman-teman mereka demi menumbangkan rezim otoriter.

Dari nama-nama yang hilang seperti Wiji Thukul, Petrus Bima Anugrah, Yani Afri, sampai aktivis yang diculik tapi kemudian dilepas seperti Mugiyanto dan Pius Lustrilanang, semua adalah bagian dari gelombang perjuangan rakyat. Mereka bukan pengkhianat bangsa. Mereka adalah pahlawan non-formal, yang menyelamatkan Indonesia dari kehancuran ekonomi dan kemacetan demokrasi.

Jika hari ini Soeharto disebut pahlawan, maka secara tidak langsung narasi sejarah bisa terjungkir: para aktivis bisa dianggap perusak stabilitas, penebar kerusuhan, atau dalam bahasa Orde Baru, “oknum yang menunggangi mahasiswa”.

Sejarah yang Bisa Dibeli?

Fenomena usulan Soeharto sebagai pahlawan nasional menunjukkan betapa ingatan kolektif kita rapuh. Ia mudah dibentuk oleh narasi penguasa, media, dan kepentingan politik. Memutihkan sejarah bukan hal baru. Di banyak negara, diktator pernah dijadikan simbol nasional: Stalin di Rusia, Marcos di Filipina, atau Franco di Spanyol. Namun semua itu di kemudian hari dibongkar oleh generasi yang menolak lupa.

Indonesia hari ini sedang berada dalam pusaran revisi sejarah. Tidak semua pelaku Orde Baru menyesal. Bahkan banyak yang kembali duduk di singgasana kekuasaan. Anak-anak biologis maupun ideologis Orde Baru kini berkuasa, dan tentu ingin memperbaiki citra masa lalu mereka.

Menjadikan Soeharto sebagai pahlawan bukan sekadar romantisme historis. Ia adalah strategi. Strategi membentuk persepsi bahwa masa lalu otoriter itu lebih baik daripada demokrasi yang carut-marut. Ini adalah serangan balik terhadap semangat reformasi.

Demokrasi yang Diobral

Ironisnya, demokrasi yang diperjuangkan dengan darah dan air mata oleh para aktivis 98 kini malah dihina oleh generasi pasca-reformasi sendiri. Demokrasi diobral lewat politik dinasti, cawe-cawe kekuasaan, pencitraan media, dan kampanye bodong.

Jika Soeharto diidolakan karena “tegas” dan “berhasil membangun”, maka itu menunjukkan bahwa kita gagal memahami demokrasi sebagai proses panjang. Kita lebih suka solusi instan, dan lupa bahwa Soeharto membangun dengan utang, represi, dan korupsi yang dibungkus rapi.

Tahun 2024 memperlihatkan regresi demokrasi yang mengejutkan. Peran KPU dipertanyakan, Mahkamah Konstitusi digugat, dan kampus dibungkam. Sebuah deja vu Orde Baru yang dipoles lebih manis.

Membela Aktivis, Menjaga Warisan Reformasi

Para aktivis 98 bukan malaikat. Beberapa memang tersesat setelah berkuasa. Ada yang jadi menteri, ada yang jadi elite partai, bahkan ikut melanggengkan oligarki. Tapi itu bukan alasan untuk menghapus sejarah perjuangan kolektif mereka.

Wiji Thukul, yang hilang hingga kini, bukan pengkhianat. Ia penyair rakyat yang lantang menolak tirani. Anas Urbaningrum bisa salah setelah jadi pejabat, tapi ia pernah berdiri di barisan depan demonstrasi. Ini menunjukkan bahwa manusia bisa berubah, tapi sejarah perjuangan tetap sah dicatat.

Menjadikan Soeharto sebagai pahlawan berarti kita membiarkan anak-anak masa kini tumbuh dalam kebingungan moral: mana yang benar, mana yang salah. Negara menjadi entitas abu-abu yang bisa memutar balik nilai-nilai demi kepentingan sesaat.

Catatan Kritis untuk Generasi Muda

Generasi muda hari ini lebih akrab dengan TikTok daripada sejarah. Mereka mengenal Soeharto lewat meme “enak jamanku toh?”, bukan lewat buku Sejarah Kritis Indonesia. Mereka mengidolakan “ketegasan” ala diktator tanpa tahu bahwa di balik itu ada pembunuhan dan pembungkaman.

Inilah saatnya sejarah diajarkan kembali dengan jujur. Bukan melalui narasi tunggal, tapi melalui keragaman suara—terutama dari korban, penyintas, dan keluarga yang ditinggalkan oleh rezim.

Pahlawan Bukan Soal Lama Berkuasa

Soeharto memerintah selama 32 tahun. Tapi panjangnya kekuasaan bukan jaminan kemuliaan. Seorang pahlawan sejati bukan yang membangun jalan tol sambil menutup mulut rakyat, tapi yang membuka jalan demokrasi meski harus mengorbankan kenyamanan.

Jika negara tetap memaksakan Soeharto sebagai pahlawan nasional, maka itu bukan hanya penghinaan terhadap korban-korban Orde Baru, tapi juga terhadap akal sehat bangsa. Dan jika para aktivis 98 yang menumbangkan Soeharto dianggap pengacau, maka sejarah telah dibalik seperti kemeja murah di pasar loak.

Karena sejarah tidak boleh dilupakan. Karena luka tidak bisa ditutupi piagam. Karena bangsa yang besar bukan yang memaafkan tanpa keadilan, tapi yang belajar dari masa lalu untuk tidak mengulanginya.

*Pengarang novel, pemerhati sosial dan budaya, esais, dan cerpenis

ikuti terus update berita rmoljatim di google news