Gerakan Darsono bersama Semaoen dan Alimin dianggap makin radikal. Mereka dijuluki tiga sekawan. Mereka berada di barisan kiri di Sarekat Islam Semarang.
- Jika Tidak Segera Deklarasi Capres, Anies Berpotensi Kuasai Simpul Kekuatan PDIP, KIB dan KIR
- Hadiri Pelantikan PPK, Bupati Bondowoso Singgung Tantangan Pemilu 2024
- Tegas, Presiden Jokowi Tolak Usulan Menko Luhut
Darsono sendiri menjadi orang penting kedua dalam kepemimpinan Sosial Demokrat Hindia Belanda (ISDV) di Semarang.
Pada awal 1920 datang sebuah surat dari Komunis Internasional (Komintern). Isinya adalah menganjurkan bergabungnya ISDV dalam Komintern. Salah satu syaratnya adalah menggunakan nama terang partai komunis. Dalam sebuah sidang yang panas dengan peserta 40 kemudian menerima perubahan nama tersebut.
Pada 23 Mei 1920, Semaoen mengganti ISDV menjadi Perserikatan Komunis Hindia. Inilah Partai Komunis Indonesia (PKI) generasi pertama yang juga terlibat dalam pergerakan nasional. Hanya saja peranan mereka kurang diakui sebagai kaum pergerakan.
Tujuh bulan kemudian, namanya diubah menjadi PKI dan Semaoen sebagai ketua pertama dan Darsono sebagai wakilnya.
Sejak itu Darsono berani menyerang Tjokro karena pinjaman sebesar 2.000 gulden bagi Centraal Sarekat Islam (CSI) dengan jaminan mobil CSI yang dibeli Tjokro sebagai bendahara untuk kepentingan Tjokro ketika menjadi ketua.
Bermula dari pemberontakan petani di Garut dan terbongkarnya kasus Afdeling B yang memicu ketakutan saudagar Arab dan muslim putihan penyokong utama SI, basis pendukung Tjokro segera runtuh karena sumber keuangannya menipis.
Pengeluaran Tjokro yang ‘luar biasa’ inilah tidak luput dari kritik Darsono.
Tiga sekawan (Semaoen, Alimin dan Darsono) saat itu memang kerap terlibat dalam aksi pemogokan buruh. Ketiganya ingin mewujudkan cita-cita Sneevliet untuk memperbesar dan memperkuat gerakan komunis di Hindia Belanda.
Apalagi, Darsono kerap menunjukkan bagaimana ‘setan oeang’ bekerja mempengaruhi para pemimpin pergerakan.
PKI pada awalnya adalah bagian dari Sarekat Islam, tapi akibat perbedaan paham akhirnya membuat kedua kekuatan besar di SI terbelah.
Ada faksi SI Yogyakarta yang ditopang Muhammadiyah melawan SI Semarang yang kiri.
Dalam pertemuan bestuur CSI tanggal 30 September 1920 di Yogyakarta yang membahas persoalan-persoalan terkait kongres CSI yang akan datang, SI Yogyakarta memanfaatkan untuk mendongkel Tjokro yang kebetulan tak bisa hadir karena harus ke Ciamis menghadiri pengadilan kasus Afdeling B sebagai saksi.
Selain Tjokro, pemimpin CSI lain seperti Semaoen juga berhalangan dan hanya mengirim Darsono sebagai wakilnya. Belakangan, kehadiran Darsono ditolak karena sebagai propagandis CSI. Ia dianggap bukan anggota penuh.
Setelah pertemuan itu, markas besar CSI segera diboyong dari Surabaya ke Yogyakarta dan dagelijk bestuur baru dibentuk dengan Soerjopranoto sebagai wakil ketua dan Salim sebagai sekretaris sementara Fachrodin didapuk sebagai bendahara.
Pertikaian membawa perselisihan ke tingkat yang lebih sengit antara Semaoen, Bersgma, SI Semarang, Vereeninging voor Spoor en Tramwegpersoneel atau VSTP, sayap kiri PPKB di satu sisi melawan Soerjopranoto, Salim, dan Fachrodin yang menguasai CSI, SI Yogyakarta, PFB, PPPB, dan faksi-faksi non komunis di PPKB.
Soerjopranoto menuduh PKI ‘mencoba membubarkan CSI’ dan segera memerintahkan untuk mengakhiri semua hubungan PFB dengan faksi komunis di PPKB.
Tak cuma Soerjopranoto, Fachrodin juga segera menyerang komunisme sebagai gagasan yang bertentangan dengan Islam dengan mengaitkan serangan Darsono kepada Tjokro dengan tesis Lenin tentang gerakan Pan-Islamisme dan Pan-Asia yang terbit di Het Wrije Woord, organ PKI berbahasa Belanda pada tanggal 20 November.
Lebih jauh, bahkan Fachrodin menuding Darsono berniat "merobohkan agama kita Islam dan bermaksud memecah SI dengan sengaja menaburi mata segenap lid SI supaya jangan sampai percaya lagi pada Tjokro.â€
Diserang secara membabi-buta, Semaoen, Bergsma memukul balik. Mereka membalas kepada Soerjopranoto dengan mengatakan bahwa pemimpin pergerakan seharusnya menjadi ‘budak’ dan bukan ‘raja’nya rakyat sembari mengingatkan julukan si ‘raja mogok’ yang disandang Soerjopranoto.
Di saat yang sama Arjo Troenodjojo mencap Fachrodin sebagai ‘tukang fitnah’ dan ‘munafik’.
Sebenarnya, nyaris seluruh pertikaian itu sedikit kaitannya dengan perbedaan ideologis antara kepemimpinan PKI dan CSI.
Kedua belah pihak saling lempar kata-kata celaan seperti racun, jahat, penjual bangsa, pembantu kapitalis, pengecut, tukang fitnah, munafik, penyakit, tukang cuci tangan, dan banyak lagi. Seperti disesalkan Semaoen, "pemimpin-pemimpin SI, besar dan kecil, berdarah panas dan tipis telinga.â€
Usai kongres SI, Darsono mewakili PKI pada Kongres ke-III Komintern 22 Juni-12 Juli 1921 di Moskow dan tinggal selama dua tahun di luar negeri.
Namun ada yang bilang, Darsono sebenarnya dibuang bersama Ir Adolf Baars keluar negeri. Menyusul Semaoen dan Alimin pergi juga pada akhir tahun meninggalkan Indonesia dengan tujuan Moskow, dan Tan Malaka menggantikannya sebagai Ketua Umum.
Selama waktu itu, Darsono bekerja pada biro Komitern di Berlin dan berbicara pada kongres Partai Komunis Belanda di Groningen lalu kembali ke Moskow tahun 1922.
Ia baru kembali ke Indonesia tahun 1923 dan secara ekstensif memimpin kembali PKI di jalur persaingan sengit dengan SI.
Pada akhirnya, dalam kongres PKI pada bulan Juni 1924 dengan penuh kemenangan Darsono menyatakan bahwa PKI dan SI Merah/Sarekat Rakyat menang atas PSI/CSI dalam perebutan hegemoni pergerakan.[noviyanto/bersambung
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Sengsarakan Rakyat, DPC Demokrat Gresik Tegaskan Sikap Tolak Kenaikan Harga BBM
- Lilik Hendarwati Minta Pemprov Jatim Perbanyak Titik Operasi Pasar
- Jurus Eri Cahyadi Bangun Kampung: Dari Penataan Fisik sampai Tingkatkan Kualitas SDM