Raja Kentir

HARI ini Bagong tidak seperti biasa. Bawaannya uring-uringan. Dia ingin membuat perhitungan dengan Prabu Welgeduwelbeh.

Datanglah Bagong ke negeri Lojitengara. Negeri yang katanya sudah melakukan revolusi mental, yang penduduknya mengusung simbol pancaprasedya, yang katanya ekonomi berkembang pesat, dan melesat jauh meninggalkan negara-negara lain seperti Ngastina dan Ngamarta.

Negeri Lojitengara juga, katanya sudah peduli dengan rakyat. Setiap rakyat sakit, langsung mendapat jaminan sosial dari negara.

Negeri dimana rakyatnya mendapat perlindungan hukum seadil-adilnya.

Soal lapangan pekerjaan, Prabu Welgeduwelbeh sangat peduli nasib wong cilik. Semua diberikan pekerjaan sesuai porsi. Bahkan rakyat yang ongkang-ongkang diberi jaminan pra kerja. Nganggur dibayar.

Negeri Lojitengara begitu makmur. Gemah ripah loh jinawi. Tapi, jika dilihat dari kejauhan. Dilihat secara tidak kasatmata.

Artinya negeri ini cuma kamuflase yang diciptakan Welgeduwelbeh. Hanya untuk menyenangkan dahaga kekuasaan. Selebihnya, rakyat dijadikan bahan lelucon.

Yang ada, revolusi mental semakin bobrok. Ekonomi ngungsep. Simbol pancaprasedya tinggal nama.

Rakyat sakit malah diperas bayar. Hukum berlaku bagi penjilat kekuasaan.

Rakyat benar-benar menderita. Sengsara. Sampai-sampai dewa kahyangan melipat lidah Durna tidak bisa mengucapkan kata "menyengsarakan rakyat”.

"Sembah raja,” Bagong melihat Welgeduwelbeh duduk di singgahsana, dia mendatangi sembari mengapurancang.

Kehadiran Bagong diterima Welgeduwelbeh dan semua punggawa kerajaan. Tapi dengan tatapan mata sinis. Merendahkan.

Melihat Durna duduk di samping raja, Bagong menyapa, "Gimana lidahmu, Dur. Masih nekuk nggak bisa ngucap sengsara,” sindir Bagong.

"Eh, kurang ajar bocah ini. Mau kutendang kamu dari sini,” timpal Durna.


"Wani karo aku toh, tak wadulno Semar,” ancam Bagong -- mendengar nama yang disebut tadi, Durna keder.

"Hei, wong kere (miskin), wong gedibal, mau apa kamu ke sini?” tanya Welgeduwelbeh menengahi.

"Mau minta sesuatu Prabu Welgeduwelbeh,” jawab Bagong.

"Apa?”

"Hentikan semua goro-goro ini,” singkat Bagong.

"Goro-goro apa. Tidak ada goro-goro di sini. Semua keadaan baik-baik saja. Kami makmur. Tidak ada perang. Tidak ada wadah penyakit,” jawab Welgeduwelbeh.

"Mata sampeyan picek, Prabu!” Kata-kata Bagong menohok. Membuat Prabu Welgeduwelbeh naik pitam. Matanya melotot. "Coba lihat yang terjadi di bawah. Masyarakat menderita. Sampeyan bilang ekonomi berkembang pesat, tapi duitnya ngutang. Sampeyan bilang kesehatan rakyat terjamin, tapi kok diperas. Hukum bilang adil, tapi hanya berlaku bagi cecunguk-cecungukmu,” seru Bagong.

Mendengar raja mereka dihina, semua punggawa kerajaan langsung pasang kuda-kuda. Senjata siap dihunus.
 
Tapi bukan Bagong namanya kalau tak berani njambal pada kekuasaan. Bagong tetap santai berbicara. Tidak merasa terancam sama sekali.

"Sejak sampeyan dilantik dua periode, hingga kini aku melihat tak satupun cecunguk-cecungukmu bekerja. Yang ada cuma bikin kisruh. Bikin horek negara, thok!”

"Apa maksudmu, Gong?” tanya Welgeduwelbeh.

"Periksa saja cecungukmu satu persatu, mulai cecunguk urusan agama, cecunguk urusan kesehatan, cecunguk urusan pendidikan, cecunguk urusan perang, cecunguk urusan dalam negeri, cecunguk luar negeri, cecunguk urusan masyarakat, cecunguk urusan duit, dan cecunguk-cecunguk lain. Semua cecungukmu tidak jelas. Yang diurus cecunguk-cecungukmu hanya urusan remeh temeh. Masa kowe nggak sadar jadi raja. Terus kerjamu jadi raja apa?” Bagong njambal.

Mendapat serangan verbal dari Bagong, emosi Welgeduwelbeh langsung meluap-luap. Dia maju dan siap menghunus kerisnya. Sang raja sudah berhadap-hadapan dengan Bagong. Sikap raja juga diikuti para punggawa lain.

Bagong tampaknya mau dikeroyok.

Welgeduwelbeh menatap mata Bagong dengan kesal bercampur amarah. Belum pernah ada rakyat berbicara seperti itu pada raja.

Semar saja yang memiliki linuwih tinggi, tetap menjaga sopan santun pada semua orang, terutama raja. Tapi Bagong, dia sama sekali tidak memiliki tata karma.

Bukannya takut, Bagong malah menantang balik raja dan semua punggawa kerajaan.

"Sampeyan mau apa Welgeduwelbeh? Mau keroyok. Dasar ksatria pengecut. Dasar pandito goblok. Dasar raja kentir. Sama punokawan saja mau main keroyok. Bagong kok dilawan,” tantang Bagong.

Namun ada kejadian unik, saat amarah sang raja memuncak, tiba-tiba Bagong mencium sesuatu yang aneh dalam diri Welgeduwelbeh.

"Weleh, weleh, kok ada bau prengus di sini. Bau prengus kalau tidak mandi bertahun-tahun seperti mayat. Bau ini, kok aku kenal,” kata Bagong sembari mencari asal bau tersebut.

Welgeduwelbeh mundur sejengkal. Emosinya mereda. Dia sadar yang dimaksud Bagong adalah dirinya. Tak seorang pun manusia di dunia ini bisa mengenali sosok Welgeduwelbeh, kecuali Bagong.

Bau itu adalah bau keringat Welgeduwelbeh yang merupakan jelmaan Petruk.

Meski sang raja Petruk sudah mandi berkali-kali dengan kembang setaman, tetap tidak menghilangkan aroma khas tubuhnya. Hanya Bagong yang mengenali bau tersebut.

"Wis muliho, Gong. Kali ini kamu kuampuni. Semua kata-katamu tadi kumaafkan,” tandas Welgeduwelbeh buru-buru menghilangkan kecurigaan saudaranya.

"Sik toh, Prabu,” Bagong masih celingukan kesana kemari, "Ini bau aku kenal. Truk…Petruk…kowe sembunyi dimana?” dipanggilnya nama saudaranya tersebut.

Prabu Welgeduwelbeh salah tingkah. Begitu pula semua punggawa kerajaan. Suasana kerjaaan yang tadinya memanas berubah menjadi kekonyolan. Semua orang mencari asal bau yang dicari Bagong.

"Prajurit, antar Bagong keluar istana. Wis Gong mulih, salam buat Romo Semar,” perintah raja.

Mendengar suara Welgeduwelbeh berubah kalem, Bagong hanya menyiyakan. Tapi dia tetap curiga. Terutama pada gerak gerik Welgeduwelbeh.

Sebelum pergi Bagong berujar, "Hei Raja Welgeduwelbeh atau dikenal Prabu Kanthong Bolong, kamu sekarang boleh mengusirku. Tapi ingat, aku akan kembali. Akan kubongkar semua kedokmu. Semua kebohonganmu. Semua kebobrokanmu. Kamu telah membuat ontran-ontran (keonaran) negeri,” pungkas Bagong.

Noviyanto Aji
Wartawan