Ndugal Kewarisan

BAGONG NJAMBAL (13)


Bagong pun cengar cengir sendirian. Sambil misuh-misuh.

“Aku disuruh Prabu Kresna membunuh Prabu Welgeduwelbeh. Kok enak banget kalau ngomong,” gumam Bagong.

Sambil menyalakan sebatang udut, Bagong masih menunjukkan raut muka kesal. Sementara dari belakang muncul Gareng. Berjalan pincang. Lantas menepuk pundak Bagong.

“Gong, ada apa. Kok sajake jengkel?” Tanya Gareng.

Bagong kaget. Langsung mengeluarkan unek-uneknya.

“Ndoro Kresna, Reng!” Serunya.

“Kenapa dengan Ndoro Kresna?”

“Masa aku disuruh membunuh Prabu Welgeduwelbeh. Kata dia, ‘Prabu Welgeduwelbeh mati karena kamu atau kamu mati karena dia’,” Bagong menirukan ucapan Kresna.

Gareng termenung mendengar ucapan saudaranya. Mau menghibur, takut dimarahi. Apalagi kalau Bagong sudah marah, matanya mendonong seperti Betarakala. Gareng pun memilih diam.

Bagong memang tidak habis pikir dengan jalan pikiran Kresna. Bagaimana bisa dia menugaskannya untuk membunuh Prabu Welgeduwelbeh. Bukankah Prabu Welgeduwelbeh itu sakti?

“Prabu Dwarawati kan bisa menugaskan Senopati Sencaki. Dia orang sakti. Suka gelut, suka gaprak sana sini. Punya pusaka gada wesi kuning. Kenapa nggak dia aja ya Reng?” Tanya Bagong.

“Yo emboh, Gong. Jangan tanya aku. Kamu kan juga sakti, Gong. Punya gada wesi ireng yang unal-unul ke sana kemari,” balas Gareng.

“Cangkummu, Reng. Ini Prabu Kresna bisanya cuma perintah. Coba kalau dia sendiri yang perang. Berani nggak. Raja kok pelit perang. Terus kalau menyuruh beli rokok, kembaliannya diminta. Raja apa itu, kok pelit banget,” jawab Bagong.

Di tengah curhat, Bagong tidak menyadari kalau Kresna sudah berdiri di belakangnya. Bagong terus ngomel-ngomel. Gareng yang melihat kedatangan Kresna pelan-pelan mundur dan pergi.

“Reng, mau kemana. Diajak ngobrol malah pergi.”

“Mau membunuh Prabu Welgeduwelbeh!” Serunya.

“Dapuranmu, Reng. Badanmu saja sekleng, mata picek, jalan pincang, memang bisa membunuh Prabu Welgeduwelbeh?” Teriak Bagong pada Gareng yang kian menjauh.

Dari belakang Kresna menepuk pundak Bagong.

“Sejak kapan aku pelit sama kamu. Apa yang kamu minta selalu tak kasih. Kamu minta uang tak kasih. Bojomu sakit minta berobat juga tak kasih,” ujar Kresna.

Bagong hanya diam. Matanya menatap bendaranya tersebut dengan tatapan malu.

“Ayo jawab, kapan aku pelit sama kamu,” kata Kresna.

“Halah, ini cuma guyon, Ndoro. Biar pembaca RMOLJatim tidak stress. Prabu Dwarawati itu orangnya dermawan,” sahut Bagong sambil memegang tangan bendaranya.

Prabu Kresna lantas menjelaskan pada Bagong kenapa Punokawan ditugaskan untuk membunuh Prabu Welgeduwelbeh. Sebab, Prabu Welgeduwelbeh punya kesaktian tidak tertandingi.

“Prabu Welgeduwelbeh itu sakti, Bagong. Siapapun tidak mampu menandingi. Itu alasan aku menugaskanmu dan Gareng,” tuturnya.

“Sudah tahu sakti kok malah menugaskan aku dan Gareng. Kan ada Pendawa yang sakti. Itu Bratasena dan Janaka ngapain ongkang-ongkang. Terus Prabu Mandura juga sakti. Punya senjata alugara yang bisa membelah gunung. Ndoro jangan lupa, masih ada anak-anak lancur Pendawa yang hebat-hebat. Ada Raden Antasena dan Raden Wisanggeni yang ndugal kewarisan. Pokoknya banyak yang bisa ditugaskan membunuh Prabu Welgeduwelbeh,” jawab Bagong sekenanya.

“Eh Bagong jangan salah. Antasena dan Wisanggeni memang anak Pendawa yang ndugal kewarisan, tapi kamu juga anak Semar yang ndugal kewarisan melebihi anak-anak Pendawa. Kamu itu titisan Sang Hyang Betara Ismaya yang diciptakan dari ayang-ayang Semar,” balas Kresna.

Bagong tertunduk. Lesu.

Lantas menjawab, “Kalau aku titisan dewa, kenapa dadi wong kere, Ndoro?”

“Yo emboh. Tanya saja ke bapakmu, kenapa kok gelem dadi wong kere!”

“Oh Semar pancen wedhus. Sudah tahu titisan dewa, harusnya minta dijadikan orang kaya. Masa di mayapada cuma jadi Punokawan. Haduh Mer, Mer, uripmu kok ketulo tulo.”

“Eh Bagong, wis ndak usah nggeremeng. Sekarang kamu berani nggak membunuh Prabu Welgeduwelbeh?” Tanya Kresna.

“Wani thok, Sinuwun. Pokoknya Bonek!”

“Apa itu Bonek?”

“Lha katanya Prabu ini Sosro Sumpeno. Punya seribu pengelihatan. Piye toh kok ndak tahu Bonek. Ah, Sinuwun ini ketinggalan jaman,” Seru Bagong.

“Aku bener tidak tahu, Bagong.”

“Bonek itu Bondo Nekat, Ndoro. Bondo artinya uang, nekat artinya minta. Jadi minta uang dulu baru berangkat.”

“Yo wis nanti tak kasih uang kalau kamu bisa membunuh Welgeduwelbeh.”

Namun sebelum berangkat, untuk kesekian kalinya Bagong memastikan pada Prabu Dwarawati mengapa Punokawan yang ditugaskan membunuh Prabu Welgeduwelbeh.

“Ampun Sinuwun. Sebelum saya berangkan mohon dikasih pencerahan dulu. Kenapa untuk membunuh Prabu Welgeduwelbeh, harus saya dan Gareng?”

“Eh Bagong, bukannya sudah tak bilangi kalau Prabu Welgeduwelbeh sakti mandraguna. Tidak ada manusia yang sanggup menandinginya. Bahkan senjata cakraku tidak mempan. Semua kerajaan-kerajaan kecil sudah ditaklukkan. Bahkan Hastina yang besar itu juga sudah tunduk di bawah kekuasaan Lojitengara. Ngamarta dan Mandura sebenarnya sudah kalah, tapi belum mau tunduk. Dwarawati belum perang.”

Basudewa Kresna melanjutkan, “Prabu Welgeduwelbeh itu menjadi raja dua periode karena curang. Semua kekayaan negara dikeruk supaya dirinya menjadi raja lagi. Supaya diakui rakyat. Supaya dipuja-puja. Setelah jadi raja, ibukota dipindah. Cecunguk-cecunguk Welgeduwelbeh ditugaskan untuk menjual ibukota ke cukong-cukong, ke konglomerat-konglomerat hitam.”

Di balik kata-kata Kresna, sebenarnya dia tahu bahwa Welgeduwelbeh adalah Petruk Kantong Bolong, saudara Bagong. Setelah mencuri Jamus (Jimat) Kalimasada milik Pendawa, Petruk menjadi raja di Lojitengara dan mengubah nama menjadi Welgeduwelbeh.

Semua raja negara bawahan yang ditaklukkannya harus tunduk. Memang hanya tiga negara yang tidak tunduk, yakni Ngamarta, Dwarawati, dan Mandura.

Tetapi setelah Pandawa dan Mandura dikalahkan, mau tak mau mereka pun tunduk. Hanya Dwarawati yang belum dikalahkan.

Raja-raja yang ditaklukkan itu kemudian tidak bisa berbuat apa-apa dengan sepak terjang Welgeduwelbeh. Apalagi kini Welgeduwelbeh mengangkat Togog dan Mbilung menjadi konsultan kerajaan.

“Bagong, kamu tahu tidak siapa yang sekarang bikin ontran-ontran di negara ini?” Tanya Kresna.

“Ampun, Ndoro. Saya tidak tahu.”

“Welgeduwelbeh menyewa jasa Togog,” jawab Kresna.

“Siwo Togog, Ndoro,” teriak Bagong terkaget-kaget.

“Iya Bagong. Togog ini yang dibayar Welgeduwelbeh untuk mencitrakan diri sebagai raja paling hebat. Anak buahnya (Bani) Togog disebar ke segala penjuru untuk mengacau dunia. Para cecunguk Welgeduwelbeh mulai cecunguk urusan keuangan, urusan agama, cecunguk urusan kesehatan, cecunguk urusan pendidikan, cecunguk urusan pertahanan, cecunguk urusan dalam negeri, cecunguk urusan luar negeri, cecunguk urusan masyarakat, dan cecunguk-cecunguk lain, dibuat Togog agar mengacaukan negara dengan statemen-statemen mereka yang ngawur. Membangun opini. Membingungkan rakyat. Menyebar fitnah dimana-mana.”

“Welgeduwelbeh kemudian dianggap sebagai titisan dewa. Ada juga Bani Togog yang menyamakan raja dengan Sang Hyang Jagat. Harus disembah. Harus dipuja. Tidak boleh salah. Semua titah raja selalu benar di mata mereka. Yang salah selalu rakyat. Yang tidak becus rakyat. Ada gubernur yang wilayahnya kena banjir langsung dihajar ramai-ramai. Padahal Welgeduwelbeh pernah jadi gubernur. Terus Welgeduwelbeh naik tahta dan diganti Burisrawa menjadi gubernur. Padahal yang namanya musibah bisa datang sewaktu-waktu. Itu faktor alam dan manusia-manusia yang tinggal di dalamnya adalah penyebabnya. Manusia terlalu rakus pada duniawi. Sehingga alam pun murka.”

“Oh dasar keporo nyata, negara jadi carut marut begini Sinuwun. Semua ulah si ndower. Cangkem Togog harus dicatut pakai tang biar nggak berulah. Terus bagaimana, Ndoro?” Tanya Bagong.

“Ya begitulah Bagong, ulah Togog. Tujuannya cuma satu: membuat kekacauan. Kepala daerah yang wilayahnya kebanjiran dipuji-puji karena sudah tunduk pada Welgeduwelbeh. Sementara satunya dihajar beramai-ramai. Fitnah Togog ini sangat luar biasa. Saat semua negara terkena wabah pagebluk, negara ini aman-aman saja. Dibuat seolah-olah tidak kena pagebluk. Uang negara dihambur-hamburkan untuk meredam persepsi masyarakat,” urai Kresna.

“Dan, satu lagi Ndoro. Sekarang uluk salam diganti. Padahal uluk salam sudah menjadi tradisi. Eh, kok diganti jadi salam pancaprasedya. Jadi nggak gayeng. Saru. Dan lucunya, mereka mengopinikan agama sebagai musuh besar pancaprasedya. Itu pasti perbuatan gedibal-gedibal Welgeduwelbeh yang dikomandoi Togog. Terus sekarang ini orang salah malah dilindungi. Komisi Urusan Korupsi kini menjadi tameng bagi pelaku korupsi. Mereka seolah-olah digerebek tapi kemudian dilepas alias diberi waktu untuk kabur agar bisa mencari celah membela diri atau menghapus jejak korupsinya. Masa berbulan-bulan buronan korupsi tidak tertangkap. Pemerintahan Welgeduwelbeh memang koplak,” sahut Bagong.

“Ya itu Bagong, kowe sudah tahu sendiri bagaimana Welgeduwelbeh. Besok kalau nyawanya dicabut oleh Betara Yamadipati, orang seperti Welgeduwelbeh pasti akan langsung dimasukkan kawah candradimuka. Dia orangnya tidak takut dosa. Buktinya, jutaan rakyat dibohongi. Dibuat sengsara oleh dia sendiri dan cecunguk-cecunguknya.”

“Terus tugas saya apa, Sinuwun?” Bagong bertanya.

“Eh ladalah, kok sudah lupa. Bunuh Prabu Welgeduwelbeh, Bagong. Hanya kamu abdi setiaku yang ndugal kewarisan dan mampu membunuh Welgeduwelbeh.”

“Ngestoaken dawuh, Sinuwun Dwarawati. Gayeng kalau sudah begini. Hati saya sudah mantep. Rawe-rawe rantas, malang-malang tak putung. Pamit, Sinuwun!” Ucap Bagong seraya meninggalkan Prabu Kresna.

Noviyanto Aji

Wartawan RMOLJatim