Pakar Epidemiologi Unair: Memang Pantas Surabaya Level 1

Dr. Windhu Purnomo/RMOLJatim
Dr. Windhu Purnomo/RMOLJatim

Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya bersama semua elemen masyarakat terus bahu membahu menangani pandemi Covid-19 di Kota Surabaya. 


Berbagai upaya itu akhirnya menuai hasil. Kini, kondisi Covid-19 di Surabaya semakin membaik dan berdasarkan asesmen situasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Kota Surabaya dinyatakan masuk level 1.

Namun, dalam Inmendagri Nomor 42 tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 4, Level 3, dan Level 2 Corona Virus Disease 2019 di wilayah Jawa dan Bali, Kota Surabaya masih harus menerapkan PPKM Level 3. 

Berdasarkan hasil asesmen Kemenkes, Surabaya memang pantas masuk ke level 1, karena kalau dilihat dari kapasitas responnya dan transmisi komunitasnya sudah memenuhi semuanya dan di bawah standart atau level 1 semuanya.

“Kalau dari hasil asesmen Kemenkes, memang pantas Surabaya level 1. Asesmen ini yang terbaik yang kita punya sekarang, karena sesuai dengan acuan WHO. Berbeda dengan dulu ketika masih pakai warna-warni, itu lebih tidak fair. Kalau yang sekarang ini sudah bagus,” kata Pakar Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Dr. Windhu Purnomo dikutip Kantor Berita RMOLJatim, Kamis (16/9).

Ia juga merinci capaian Surabaya dilihat dari transmisi komunitas dan kapasitas respon. 

Khusus untuk transmisi komunitas ada tiga indikator, yaitu kasus konfirmasi sudah bagus dengan nilai 8,81 per 100 ribu penduduk, angka ini sudah di bawah standart Kemenkes 20 per 100 ribu penduduk. 

Kemudian untuk rawat inapnya 3,43 per 100 ribu penduduk, angka ini sudah di bawah standart Kemenkes 5 per 100 ribu penduduk. 

Lalu untuk angka kematiannya, Surabaya sudah 0,65 dan standartnya Kemenkes tidak boleh lebih dari 1. 

“Berarti oke semua kalau dilihat dari sini,” kata dia.

Selanjutnya, khusus untuk kapasitas responnya juga ada tiga indikator, yaitu untuk positivity ratenya sudah 0,41 persen dan jauh di bawah 5 persen sesuai standart Kemenkes. 

Lalu untuk tracingnya sekarang di Surabaya sudah 1:20,71 dan standartnya Kemenkes 1:14. Kemudian untuk BOR-nya sekarang 14,45 persen dan sudah jauh dari standart Kemenkes 40 persen. 

“Jadi, sudah bagus semuanya dan sudah cocok,” tegasnya.

Di samping itu, dalam rapat virtual bersama Satgas Covid-19 Surabaya, ia juga memastikan bahwa Surabaya pantas level 1 karena capaian vaksinasinya. 

Berdasarkan data terbaru dari Dinkes Surabaya, vaksinasi dosis pertama di Kota Surabaya sudah mencapai 101,32 persen dan khusus lansianya sudah mencapai 90,10 persen. 

Padahal, dari level 2 ke level 1 itu standart vaksinasi dosis pertamanya 70 persen dan untuk lansianya 60 persen. 

“Ini sudah luar biasa, sehingga kita pantas di level 1,” tegasnya.

Dalam rapat virtual itu, ia juga menegaskan bahwa jumlah pasien Covid-19 yang masih rawat inap di rumah sakit seharusnya tidak menjadi penghambat dan penghalang Surabaya masuk level 1. 

Sebab, pasien-pasien ini merupakan kiriman dari daerah-daerah lain.

Bahkan, ia juga memastikan bahwa pasien Covid-19 yang dirawat di RS di Kota Surabaya jumlahnya melebihi jumlah pasien terkonfirmasi positif. 

Dalam sepekan, selisih yang terjadi mencapai 462 kasus. Selisih jumlah pasien di RS dan jumlah kasus aktif ini cukup aneh dan menjadi anomali data untuk Kota Surabaya. 

Anomali ini kemudian membuat level asesmen Surabaya tak kunjung turun. 

"Pelaporan di Kemkes ini masih pakai dasar di RS. Tapi gak dipilah. Pokoknya yang dilaporkan sekian di Kota Surabaya, padahal gak dipilah," katanya.

Selama ini, lebih lanjut, jumlah pasien di RS ini menjadi salah satu indikator penentuan asesmen level oleh Kemenkes. 

Namun, pasien yang dimaksud di RS tidak memandang daerah asal pasien. Padahal, pasien yang dirawat di Kota Surabaya kebanyakan merupakan kiriman dari luar daerah. 

Apalagi, beberapa RS di Surabaya menjadi rujukan utama di wilayah Indonesia Timur. 

"Di kota-kota besar lain juga kasus rawat inapnya lebih besar dari kasus konfirmasinya karena jadi rujukan daerah-daerah lain,” ujarnya.

Oleh karena itu, Windhu berpesan kepada Kemenkes RI agar memperbaharui peraturan mengenai batas pasien RS tersebut. 

Seharusnya, asesmen dilakukan berdasarkan jumlah pasien yang berasal dari daerah yang bersangkutan. 

"Kalau seperti ini terus banyak daerah itu tidak bisa mencapai level yang lebih rendah karena ada ketidaktepatan," pungkasnya.