Rektor UINSA: Rawan Dimanfaatkan Jelang Pemilu, Pesantren Harus Mandiri secara Politik

Sarasehan Nasional Pesantren oleh UINSA Surabaya/RMOL Jatim
Sarasehan Nasional Pesantren oleh UINSA Surabaya/RMOL Jatim

Kemandirian pesantren tidak hanya soal ekonomi, tapi juga kemandirian segala aspek, termasuk sosial-politik. Kemandirian politik pesantren diperlukan karena rawan dimanfaatkan, biasanya setiap pemilu, termasuk Pemilu 2024 nanti.


Demikian disampaikan Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA) Masdar Hilmy di sela-sela Sarasehan Nasional Pesantren di Hotel Mercure Grand Mirama Surabaya, Rabu (9/3).

Sarasehan yang digelar UINSA bertema “Pesantren Pasca Undang-undang Nomor 18 Tahun 2019; Quo Vadis Kemandirian Pesantren?” itu dihadiri perwakilan pesantren se Jawa Timur dan organisasi kemasyarakatan yang konsen di bidang pesantren.

“Isu kemandirian ini bisa luas sekali, bukan hanya ekonomi, tapi juga politik, sosial, budaya, terutama dalam konteks menjelang tahun politik menjelang perhelatan demokrasi,” kata Masdar dalam keterangan tertulisnya yang diterima Kantor Berita RMOL Jatim, Kamis (10/3).

“Itu menjadi tahun yang sangat rawan, bisa dimanfaatkan oleh pihak tertentu yang hanya ingin mengais keuntungan jangka pendek dan bisa memanfaatkan pesantren dan para kiai dalam rangka kepentingan politik,” lanjutnya.

Menurut Masdar, isu kemandirian pesantren menjadi titik utama tujuan daripada terbitnya UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Undang-undang tersebut menurutnya adalah bentuk dukungan negara terhadap pesantren, tanpa memberangus karakter pesantren itu sendiri.

“Isu kemandirian itu justru menurut saya yang paling urgen untuk disampaikan. Bahwa pesantren perlu disupport oleh negara, dunia pesantren perlu ditopang infrastruktur, salah satu pihak yang bisa menopang ini negara. Tetapi pesantren juga punya histori, punya _legacy_, punya sejarah masa lalu, punya kemandirian tersendiri yang tidak boleh atau tabu bagi negara melakukan intervensi,” ujar Masdar.

Dalam rangka menguji bahwa pesantren merupakan suatu institusi yang sejak dulu eksis dan tidak pernah diotonomi oleh negara, tidak pernah diatur sedemikian rupa, tapi kemudian ada undang-undang.

“Ini menjadi suatu ujian bagi dunia pesantren untuk bisa menempatkan dirinya secara proporsional dalam rangka menjaga hubungan yang elegan dan mutualustik antara negara dengan pondok pesantren,” imbuhnya.

Selain Masdar, hadir juga sebagai narasumber Pengasuh Pesantren Al-Mahrusiyah Lirboyo, Kediri, KH Reza Ahmad Zahid atau Gus Reza. Gus Reza berharap UU Pesantren segera direalisasikan dan diwujudkan dalam satu bentuk peraturan yang bisa dinikmati.

Sebab, kata dia, peran pesantren di Indonesia sudah hadir sejak dulu, mulai dari berdirinya negara Indonesia. “Pesantren membidani kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan itu selalu terlibat,” ujarnya.

Gus Reza mengamini bahwa kemandirian pesantren tidak hanya soal ekonomi, tapi juga politik dan lainnya. Soal politik, lebih-lebih menjelang Pemilu 2024, dia mengatakan bahwa pesantren memiliki ijtihad politik sendiri, karenanya masing-masing pesantren dan tokohnya biasanya memiliki keputusan politik sendiri-sendiri di setiap pesta demokrasi digelar. Menurutnya itu adalah bentuk kemandirian politik pesantren yang tidak bisa diintervensi kelompok tertentu.

“[Soal kemandirian politik pesantren pada Pemilu 2024 nanti] Itu ijtihadnya pesantren. Pesantren itu punya ijtihad politik yang bisa jadi pilihannya beda-beda antarpondok pesantren satu dengan pondok pesantren satunya. Kami berharap nanti akan saling menghormati masing-masing ijtihad pondok pesantren,” kata Gus Reza.