Aktivis: Era SBY Nihil Polemik Perpanjangan Jabatan Presiden, Jokowi Justru Menafikan Konstitusi Demi Proyek IKN

Presiden Jokowi / net
Presiden Jokowi / net

Masa jabatan presiden yang diatur di dalam UUD 1945 hasil amandemen keempat nampaknya menjadi pegangan utama mayoritas publik, untuk menolak isu penundaan Pemilu Serentak 2024, karena imbasnya Presiden Joko Widodo bakal menjabat lebih dari 5 tahun.


Aktivis yang tergabung di dalam Jaringan Progresif 98 Bandung menjadi satu bagian di dalam aksi masyarakat yang sudah banyak menyatakan menolak penundaan Pemilu Serentak 2024 yang digaungkan orang-orang di lingkaran Jokowi.

Disampaikan Zaenal Muttaqin selaku Aktivis Jaringan Progresif 98 Bandung, pembatasan masa jabatan presiden telah diatur di dalam Pasal 7 UUD 1945 hasil amandemen keempat. Di mana disebutkan, masa jabatan presiden dan wakil presiden hanya bisa dipegang selama dua periode berturut-turut oleh seseorang yang terpilih di dalam Pemilu.

Aturan di dalam konstitusi negara tersebut, menurut Zaenal, merupakan momentum perbaikan kehidupan berdemokrasi Indonesia yang lahir dari Reformasi 98. Sehingga menurutnya, pembatasan jabatan presiden merupakan sebuah jalan keluar dari kekhawatiran atas terjadinya Negara otoriter.

"Selama 32 tahun rezim Orba, segala bentuk kritik atas pemerintah selalu dibungkam, sehingga kehidupan berdemokrasi negara mengalami kemunduran," ujar Zaenal dalam keterangannya kepada redaksi, Rdabu (23/3).

Namun, Zaenal melihat dalam 4 masa kepresidenan pasca Orde Baru, terutama ketika rezim SBY berkuasa, tidak ada upaya-upaya untuk mengubah kembali konstitusi, khususnya mengenai aturan masa jabatan presiden.

"Sekalipun tingkat kepuasan masyarakat sangat tinggi terhadap kepemimpinan SBY, namun isu 3 periode tidak muncul dan menimbulkan polemik," tuturnya.

Karena itu Zaenal menilai, rezim SBY yang berhasil berkuasa selama dua periode, menjelang Pemilu 2014 tetap menghormati konstitusi dan bersemangat untuk menjalankan amanat reformasi dan tidak berubah menjadi rezim otoriter.

Justru hal sebaliknya Zaenal lihat saat Jokowi memimpin untuk periode keduanya, di mana secara tiba-tiba muncul wacana 3 periode yang digaungkan M. Qodari yang menggunakan argumentasi hasil survei lembaganya yang menyebut publik puas dengan kinerja Jokowi, sehingga perlu dilanjutkan.

Akan tetapi menurut Zaenal, fakta dan masyarakat merasakan kepemimpinan Jokowi tidak mampu menggenjot perekonomian menjadi lebih baik lagi, alih-alih makin terpuruk saat pandemi Covid-19 menghantam dunia secara umum dan Indonesia wabil khusus.

"Pertumbuhan ekonomi yang melambat mengharuskan Negara-negara mengerem dan mengatur ulang pembangunan ekonomi untuk memulihkan kehidupan sosial masyarakat. Namun rezim Jokowi bertindak sebaliknya," katanya.

Zaenal memandang seharusnya Jokowi sebagai pemimpin bisa mengatur kebijakan secara komprehensif yang mementingkan keselamatan masyarakat dan perekonomian nasional. Tetapi, dia malah melihat pemerintah mengutamakan pembangunan infrastruktur yang masuk ke dalam proyek strategis nasional (PSN).

Sebagai contoh, Jaringan Progresif 98 Bandung mencatat sejumlah PSN yang sudah terbukti memakan pembiayaan yang cukup besar, dan juga satu PSN unggulan Jokowi yang juga berpotensi menyedot dana cukup besar dari APBN.

"Bukannya mengevaluasi program strategis dalam rangka memulihkan ekonomi bangsa, Jokowi sebagai presiden justru ngotot melanjutkan program IKN sebagai program strategis Nasional. Dan bahkan demi terwujudnya IKN, yang dilakukan rezim Jokowi mengusulkan perpanjangan masa jabatan dan atau menunda pemilu," ucap Zaenal.

"Jika kita evaluasi dari proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB), dimana anggaran membengkak dan kemudian membebani APBN, maka proyek IKN memiliki potensi menggerus APBN," sambungnya.

Oleh karena itu, Zaenal sangsi PSN seperti IKN Nusantara yang diperjuangkan Jokowi bakal memberikan maslahat bagi banyak masyarakat Indonesia. Karena sebagai buktinya, di tengah ekonomi yang belum pulih pasca pandemi sekarang ini banyak investor yang menunggu untuk melakukan investasi besar dan potensi ekonominya menjanjikan.

"Mundurnya Softbank sebagai investor (IKN Nusantara) hanyalah riak kecil dari berbagai kekhawatiran atas situasi politik, return investment dan masalah sosial dalam pembangunan IKN," tuturnya.

Melihat fakta tersebut, Zaenal menyimpulkan kerja pemerintahan Jokowi yang memaksa kehendak untuk membangun IKN Nusantara, di tengah banyaknya keterbatasan, coba dicarikan solusinya oleh orang-orang di lingkaran penguasa dengan memunculkan isu penundaan pemilu, seperti disampaikan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dan Menko Marinves Luhut BInsar Pandjaitan.

Bagi Zaenal, upaya-upaya untuk memperpanjang masa jabatan presiden tersebut jelas merupakan penghianatan atas konstitusi dan semangat reformasi 98. Sehingga dia memastikan, manuver elit politik yang menggunakan berbagai alat kekuasaan untuk memuluskan rencana penundaan pemilu akan berhadapan dengan rakyat.

"Karena itu kami mengimbau rezim saat ini untuk berpikir ulang tentang rencana tersebut, karena berhadapan dengan rakyat yang menolak perpanjangan masa jabatan akan berdampak secara sosial," tegasnya.

"Kerusakan atas kekacauan konstitusi akan menyebabkan kerugian yang sangat mahal dari segi ekonomi politik dan sosial, dan menjadi preseden buruk bagi pemerintah berikutnya," demikian Zaenal.