Diancam Rumahnya akan Dirobohkan Pelindo III, Warga Perak Berharap Kepedulian Jokowi

Kepedihan warga di bulan Ramadhan
Kepedihan warga di bulan Ramadhan

Kisah pilu di awal Ramadan 1443 Hijriah, datang dari deraian keringat warga Perak Surabaya.


Puluhan warga mewakili ribuan jiwa, membentangkan poster perlawanan dan permohonan bantuan hukum ke Presiden.

Mereka menuntut penghapusan uang pungutan yang dilakukan oleh PT Pelabuhan Indonesia III terhadap ribuan persil rumah yang diklaim menjadi Hak Pengelolaan Lahan persuahaan plat merah tersebut.

Benyamin (68) warga Teluk Nibung Barat menjadi satu dari sekian warga yang sudah generasi ke tiga hidup di tengah kegusaran tersebut. Benyamin menempati sepetak rumah peninggalan dari ayahnya.

Ia menuturkan, telah menempati rumah tersebut sejak tahun 50 an.

"Rumah saya sudah ada sejak tahun 50 an, saya hidup di sini dan tinggal di sini," kata Benyamin, dikutip Kantor Berita RMOLJatim, Senin (4/4)

Mulanya, rumah yang ia tinggali bersama keluarga kecilnya itu tak pernah ada masalah.

Ia bahkan taat membayar pajak bumi dan bangunan setiap tahunnya, dengan nilai sekitar 150 ribu rupiah.

Persoalan muncul ketika tahun 1988, Perum Pelabuhan III Persero yang kini menjadi PT Pelindo III mulai melakukan penarikan uang sewa dengan dasar hak pengelolaan lahan di kawasan tersebut.

Nilainya fantastis, puluhan hingga ratusan kali lipat dari nilai PBB yang biasa dibayarkan.

"Sebagian warga dengan luas persil paling kecil kalau bayar PBB hanya di angka 150an ribu, nah kalau tagihan HPL ini, nilainya sampai 4 juta rupiah," lanjutnya.

Ia melanjutkan, dasar penentuan penarikan HPL oleh PT Pelindo III juga diniliai tak jelas.

Mereka, menaksir tarif tanpa dasar hukum atau aturan baku, sehingga nilai yang dipungut di tiap-tiap warga berbeda, meski luasannya sama.

Jika tak membayar, para warga diancam akan dieksekusi paksa dan rumahnya bakal dirobohkan.

Padahal, setiap tahun warga selalu tertib membayar PBB dan memilih tak membayar pungutan HPL karena nilainya menggila.

"Ini yang kami sebut sebagai intimidasi atau kesewenang-wenangan. Bayangkan, kalau warfa yang kerjanya sebagai tambal ban, tukan kopi, sol sepatu, dipunguti sampai jutaan rupiah. Mereka ini makan apa. Hanya untuk sekedar hidup saja kami harus jungkir balik. Kok uangnya buat bayar sesuatu yang dasar hukumnya tidak jelas," imbuhnya.

Uang-uang itu ditagih kepada warga yang secara psikologis tertekan.

Nilainya bervariasi, tergantung luas persil yang dimiliki.

"Belakangan ini memang banyak yang memilih tidak bayar. Sebagian sudah ada yang bayar karena takut. Perbedaan tarif juga dilakukan berdasarkan status pemilik rumah. Kalau PNS beda harga, kalau pengurus RT bahkan sempat dibebaskan dari pungutan," tandasnya.

"Saya yakin, Pelindo III boleh menutup mata, tapi Gusti Mboten Sare. Tuhan bersama orang yang terdholimi," tegasnya.

Ireng (58) salah satu pengurus Perkumpulan Warga Pemilik Bangunan di Perak menyebut, saat ini sduah ada 3500 pemilik bangunan di Perak yang resah terhadap kesewenang-wenangan PT Pelindo III.

Sebab, beberapa diantaranya bahkan dengan terpaksa dieksekusi tanpa melalui putusan pengadilan.

Iren menyebut, hingga saat ini gugatan Konvensi dan Rekonvensi sama-sama tidak dikabulkan oleh Mahkamah Agung.

"Ini adalah contoh kesewenang-wenangan. Bagaimana warga yang memilih tidak membayar dipaksa keluar rumahnya sendiri, tanpa ada putusan pengadilan. Ironinya,polisi ada disitu," sebut Iren.

Dari 3500 persil bangunan, ditaksir Iren ada 16 ribu jiwa yang saat ini dalam kegelisahan menanti status hak atas rumah yang mereka tinggali.

Ia meminta, Presiden Joko Widodo dan pak Menkopolhukam agar melihat tangis warga Perak yang dijejal pungutan mencekik selama puluhan tahun.

"Kami mohon pak Jokowi dan pak Mahfud MD, lihat rakyatmu pak. Kami disini dihantui rasa was-was, khawatir sewaktu-waktu rumah kami dibumihanguskan. Padahal, sebelum adanya HPL warga sudah lebih dulu membangun rumah mereka, ada pula yang punya Akta Jual Beli notaris, PBB Ruislah dan rumah dinas golongan III dan HGB," tandasnya.