Jadi Sumber Energi Alternatif, DPR Didesak Segera Sahkan UU EBT

Ilustrasi EBT/Net
Ilustrasi EBT/Net

Harga minyak dunia yang melambung tinggi harus disikapi dengan mencari sumber alternatif sumber energi baru dan terbarukan. Apalagi emisi yang dihasilkan sumber energi berbasis fosil juga tidak ramah lingkungan.


Seluruh dunia saat ini tengah mencanangkan program net zero emission. Dengan demikian, diharapkan emisi gas rumah kaca dapat diminimalisir.

Direktur SDM dan Penunjang Bisnis PT Pertamina Power Indonesia, Said Reza Pahlevy mengatakan, pertumbuhan energi baru terbarukan (EBT) di dunia sangat pesat. Indonesia sendiri telah mencanangkan menggunakan 31 persen EBT pada tahun 2050.

"Ini dunia itu akan meminta berkontribusi negara-negara untuk menurunkan gas rumah kaca. Kita concern dengan kondisi itu, karena kondisi saat ini produksi CO2 hari ini masih meningkat," ujar Said dalam diskusi yang digelar DPP Persatuan Aktivis dan Warga (Pandawa) Nusantara, dengan tema 'Indonesia dalam Menghadapi Transisi Energi', Kamis (14/4).

Indonesia, kata Said, memiliki peluang besar untuk dapat memproduksi EBT. Terlebih lagi sumber EBT yang dimiliki Indonesia sangat beragam dan banyak jumlahnya.

"Potensi hidroenergi sangat besar di Indonesia. Begitu juga dengan geotermal dan biogas," jelasnya.

Said mengakui, perencanaan EBT memerlukan investasi yang besar. Namun hal ini harus dilakukan, karena penggunaan EBT untuk menggantikan bahan bakar fosil hanya tinggal menunggu waktu.

"EBT adalah sebuah keniscayaan, daripada menunggu, kan lebih bagus kita inisiasi. Jadi jika harus berdampingan dengan EBT, kita sudah siap. Paling tidak kita harus persiapkan dari sekarang," katanya.

Sementara itu, perwakilan DPP Pandawa Nusantara, Mamit Setiawan menegaskan, EBT merupakan masa depan Indonesia.

Ia berharap, pada tahun 2060, EBT telah menjadi sumber energi utama pengganti fosil.

"Dengan sumber daya alam yang kita miliki ini, maka EBT merupakan masa depan ketahanan dan kedaulatan energi Indonesia. Sehingga nantinya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, ini cita-cita yang sangat mungkin diwujudkan," kata Mamit.

Jika terus menerus bergantung dari energi berbasis fosil, lanjut Mamit, maka kedaulatan energi Indonesia sulit diwujudkan. Pasalnya saat ini Indonesia telah menjadi importir energi fosil.

"Sejak 2003 kita telah menjadi net importir energi fosil, di mana produksi kita lebih kecil daripada energi yang dibutuhkan. EBT ini adalah masa depan kita," ujarnya.

Mamit mengakui, transisi energi dari fosil menuju EBT memiliki banyak tantangan. Oleh karena itu, dia berharap Undang Undang EBT yang saat ini masih digodok DPR dapat segera disahkan.

"Dengan disahkan UUEBT, diharapkan EBT di Indonesia bisa berkembang. Tapi untuk pengembangan ini perlu dukungan dari seluruh pihak, termasuk kementerian. Apalagi saat ini teknologi EBT masih mahal dan memerlukan investasi yang besar," katanya.