Mahasiswa, Kerumunan, dan Elan Vital

Achmad Nawardi/ist
Achmad Nawardi/ist

PARADE protes kembali bergelombang. Mahasiswa hampir seluruh Indonesia menggalang aksi unjuk rasa. Sejumlah isu mutakhir dalam catur politik Indonesia disoal—dan dengan bumbu-bumbu kajian, isu kemudian berubah menjadi tuntutan. 

Paling gencar, protes mahasiswa berfokus di sekitar wacana penolakan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.

Tepat di tanggal 11 lalu, jalan protokol di Jakarta—tentu di sejumlah daerah lain di Indonesia—telah terhimpun ribuan mahasiswa dengan warna-warni almamternya. 

Tanggal 11 menjadi momentum yang segera dimonumenkan: demonstrasi menolak politik oligarki. Massa berhimpun, lagu perjuangan diteriakkan, tuntutan dan orasi dibaca bergiliran.

Khusus di Ibu Kota, massa bergerombol ke dalam aliansi. 

Mahasiswa disatukan oleh isu-isu populis, tetapi pada saat bersama, justru dipisahkan oleh dinamika aliansi. Sebelum aksi 11 April, kelompok aliansi seperti terpecah. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang mengakomodir kelompok BEM kampus di Indonesia tampak berbeda haluan. BEM Seluruh Indonesia (SI) mengancam memenuhi jalanan di Jakarta, BEM Nusantara memilih untuk dengar pendapat.

Tentu saja, perbedaan keduanya hanya tampak di bagian metode penyampaian aspirasi: Jika BEM SI berduyun menyuarakan protes dan tuntutan melalui demonstrasi, BEM Nusantara justru memilih audiensi. Dalam skema aliansi, tentu masing-masing memiliki prinsip implementasi gerakan dari konsep dan pembacaan atas isu tertentu. Keduanya lazim dan normal saja.

Sebab, mahasiswa mengemban predikasi yang luar biasa: penggerak perubahan, kontrol sosial, dan elemen pembangunan bangsa. Imbuhan ‘maha’ pada mahasiswa mendedahkan sejarah perjuangan yang luarbiasa besarnya. Ia tak hanya terdidik secara akdemis di bangku kelas, tetapi juga memiliki ‘naluri populis’ sebagai bagian vital perjuangan keadaban bangsa. 

Sejarah telah mencatat dengan tinta emas, pekik perjaungan mahasiswa untuk melawan sistem oligarki-otoritarianisme Soeharto yang memuncak di tahun 1998. 

Sebagai representasi dari kegelisahan publik, mahasiswa lazimnya bergerak membacakan protes dan tuntutan kepada pemangku kebijakan melalu bermacam instrumen: demonstrasi, teater, kerja seni, kritik melalui literasi, audiensi, dan semacamnya.

 Praktik ini telah ditunjukkan mahasiswa Indonesia, dari waktu ke waktu. Konstitusi telah mengatur hak bicara dan menyampaikan pendapat, tapi meski begitu, praktik anarki-vandalisme tidak bisa dibenarkan secara moril dan hukum.

Tak hanya itu, energi publik Indonesia tak berpusat pada tuntutan demonstrasi 11 April, tapi justru pada kasus pemukulan salah satu dosen Universitas Indonesia, Ade Armando

Mahasiswa Indonesia, dari waktu ke waktu. Konstitusi telah mengatur hak bicara dan menyampaikan pendapat, tapi meski begitu, praktik anarki-vandalisme tidak bisa dibenarkan secara moril dan hukum.

Tak hanya itu, energi publik Indonesia tak berpusat pada tuntutan demonstrasi 11 April, tapi justru pada kasus pemukulan salah satu dosen Universitas Indonesia, Ade Armando, oleh beberapa orang dalam kerumunan aksi.

Meski diyakini bahwa anarko bukan kelompok mahasiswa, tetapi karena terjadi di tengah kerumunan aksi, pemukulan bertendensi buruk terhadap seluruh operasi aksi. 

Massa dan Kerumunan

Dalam setiap kerumunan selalu potensial untuk disusupi. Dalam kerumunan, emosi demonstran kadang tak terkontrol sehingga mudah tersulut provokasi. Provokator lazimnya dilakukan oleh orang atau kelompok berkepentingan by design.

Seperti kasus pemukulan Ade Armando, teriakan-teriakan atasnama agama menggema. Banyak orang kemudian menilai hal itu sebagai bagian integral dari polarisasi Pilpres 2014 yang belum usai.

Tentu saja, perusuh pada aksi demo 11 April bukan dari kalangan mahasiswa. Namun begitu, setiap gerombolan dalam jumlah massa yang banyak akan potensial untuk disusupi kepentingan tertentu melalui pemanfaatan emosi dan mental clice massa. 

Bagaimanapun, berada dalam kerumunan akan menstimulasi individu untuk mengekspresikan keinginannya. Menurut Sigmund Freud, dalam kerumunan, setiap individu lazimnya mampu mengubah ketenangan menjadi brutal dan tak terkendali.

Individu dalam kerumunan, bagi Freud, didorong oleh insting primal. Bahkan, dalam kerumunan massa, seseorang mampu menjadi individu yang impulsif, intoleran, dan bertendensi untuk melakukan hal ekstrem (Aurelia Vizal, 2019). Merujuk pada Freud, kerumunan selalui potensial untuk ‘disusupi’ praktik anarki.

Misalnya, dalam sekelompok massa besar, ada seseorang memantik ‘bakar!’, maka individu lain akan tertular stimulus untuk juga turut membakar. Inilah insting primal. 

Kasus Ade pada demonstrasi 11 April lalu kemungkinan bukan dari kalangan well educated mahasiswa. Tetapi, stimulus untuk melakukan aksi anarki selalu hadir dari ‘penyusup’ yang memanfaatkan protes massa mahasiswa.

Pola seperti ini tidak hanya berlangsung di kehidupan nyata, kanal massa di media sosial juga banyak diimbuhi oleh komentar dan postingan yang menyulut permusuhan, agitasi, provokasi, dan hoaks.

‘Kepongahan’ Intelektual

Aksi protes mahasiswa dengan membawa isu-isu populis, tentu harus diapresiasi dan dihormati. Tetapi, jika demonstrasi hanya sebatas kepongahan intelektual, maka aspirasi hanya akan berakhir anarki. Bagaimanapun, elemen intelektual mahasiswa sebagai clever majority mesti juga menampilkan keadaban. Makanya, setiap hendak menggelar demonstrasi, kelompok mahasiswa melakukan pembacaan secara komprehensif terhadap konstruksi isu, sehingga di saat yang sama, mereka bisa secara bijak memutus: menolak atau mendukung. 

Jangan sampai, rancangan kajian dan sikap yang didiskusikan—dan kemudian disebar ke setiap massa aksi—terlihat ‘miskin’ dan kurang komprehensif. Dalam aksi protes, strategi membaca isu menjadi instrumen nomor wahid untuk menguatkan sikap menolak atau tidak. Bila demonstrasi hanya untuk poto selfi demi meramaikan tagar di media sosial, maka usaha ini tak lebih sekadar ‘banalitas’. Apalagi, demonstrasi karena dasar ikut-ikutan dan seru-seruan. 

Pada demonstrasi 11 April kemarin, kita menyaksikan ‘banalitas’ itu

Pada demonstrasi 11 April kemarin, kita menyaksikan ‘banalitas’ itu melalui flayer, banner, dan pamflet yang dibentang dengan tulisan-tulisan tidak intelek. Alih-alih satire, tulisan itu justru menampilkan kepongahan intelektual karena bahasa yang seksis dan tidak pantas. Meski begitu, mungkin itu cara mereka untuk mendapatkan atensi publik supaya pesan morilnya terbaca. 

Sekali lagi, tak ada yang keliru dari demonstrasi. Aspirasi publik memang harus disampaikan—dengan cara apapun—kepada pemangku kebijakan. Mahasiswa harus jadi (menyadur istilah Henri Bergson) elan vital perjuangan masyarakat akar rumput. Meski begitu, dalam setiap aksi demo, mahasiswa perlu menganalisis secara detail dan komprohensif atas isu yang hendak dibawa, temasuk strategi dan teknis aksi untuk antisipasi ‘penyusup’ luar. Salut kepada mahasiswa!

Penulis adalah Anggota DPD RI; Mantan Aktivis 98