Penjaga Surga Kami 

Foto ilustrasi/Net
Foto ilustrasi/Net

PERTAMA kudengar kabar lewat ibumu, aku tahu bahwa itu akan membuatku gembira. 

Suara takdir sudah mendayuh-dayuh di telinga.

Jakarta malam itu tampak tersenyum lebar.

Aku duduk termenung di jalanan Menteng Jakarta Pusat bersama sahabat.

Kuceritakan padanya bahwa aku akan punya anak.

Sahabat itu tertawa, dan mengucap selamat kawan!

Itu sembilan bulan sebelum kau lahir, anakku!

Saat kau masih berbentuk benih, 

saat ruh belum ditiupkan padamu, 

saat nyawamu belum ada dan hanya berupa gumpalan daging. 

Bayangkan, sebelum kau ada aku sudah sibuk setengah mati.

Sibukku hanya untuk memperkenalkanmu pada dunia.

Saat usia kehamilan ibumu tiga bulan, aku sibuk membawamu keliling mengendarai motor.

Kadang suatu malam ibumu terjaga dan merasa kepanasan.

Kemudian kubawa ibumu malam-malam dan diam-diam tanpa sepengatahuan orang ke sebuah alas di Jolotundo.

Sesampai di sana ibumu langsung terlelap sembari memegangi perutnya yang sudah membesar.

Esoknya bisa ditebak, aku langsung dimarahi kakek habis-habisan. 

Saat menunggu detik-detik kelahiranmu, kau langsung mencuri perhatianku.

Berkali-kali kau membuat ibumu meringis kesakitan.

Sesekali aku diminta mengelus perut ibumu.

Katanya, pusarnya terasa nyeri dan gatal. Ibumu bilang rambutmu yang membuat gatal. Perut ibumu digaruk-garuk.

Aku sedikit tertawa tapi juga was-was.

Malam itu kubawa ibumu dengan berjalan kaki.

Kau tahu jarak Puskesmas hanya beberapa meter saja dari rumah. Tapi malam itu serasa berkilo-kilo.

Baru berjalan beberapa meter, ibumu minta berhenti karena menahan sakit yang luar biasa. 

Kau sedikit diam saat ibumu berjalan, tapi kembali nakal saat ibumu berhenti.

Sesampai di Puskesmas kau merengek lagi.

Ibumu kesakitan, sesekali menjerit, menggigit bibir.

Tampaknya kau sudah tidak sabar untuk keluar.

Hanya beberapa saat, lalu kulihat sebuah keajaiban.

Kulihat kepala hendak memaksa untuk keluar.

Aku hanya bisa menyebut: Ya Allah! Laa illa ha illallah…

Pertama kudengar tangisanmu aku serasa merinding.

Kau tahu Arasy, Nak! 

Itu kerajaan Tuhan yang sering disebut-sebut orang.

Kau tahu, Nak, Arasy serasa goncang waktu itu dengan suara tangismu.

Baitul Makmur makin rancak dengan kehadiranmu.

Aku sedang berada di surga, Anakku! 

Hatiku, jiwaku, batinku, sukmaku, semua bergoncang. Malaikat turun dan tersenyum padamu.

Dan anakku, tahukah kau bahwa kau adalah satu dari dua orang di dunia ini yang telah membuatku menangis.

Saat ayahku (kakekmu) meninggal, aku menangis. Saat kau lahir, aku menangis lagi.

Tuhan telah menitipkanmu pada kami, Nak!

Sebagai orangtua aku tidak punya daya apapun untuk menolak.

Entah apa yang dulu kau rundingkan sama Tuhan di alam ruh. Ssehingga kau memilihku menjadi orangtuamu.

Yang jelas kami telah siap lahir batin menerimamu.

Kini, kau sudah punya nama, Nak! 

Indonesia adalah namamu.

Kau tahu betapa lama aku mencari nama itu. Tidak gampang, Nak!

Sampai-sampai aku dan nenekmu berdebat panjang.

Katanya nama Indonesia (Nesia) terasa memalukan.

Tapi tahukah kau mengapa kau kunamai demikian?

Sekarang biar kuberitahu kau… 

Sebuah nama adalah sebuah pengharapan bagi orangtua.

Indonesia adalah tanah moyangku 

Ayahmu lahir di Indonesia.

Kakekmu lahir di Indonesia.

Buyutmu dan mbah-mbahmu lahir di Indonesia.

Dan lihatlah sekarang bagaimana kabar negaramu Indonesia…

Indonesia sudah dalam keadaan sangat genting.

Banyak orang saling bunuh, memperkosa, korupsi, narkoba, tidak segan membohongi rakyat.

Orang-orang sudah tidak tahu jati diri mereka. Mereka tidak paham ukuran berbangsa dan berketuhanan 

Rasa perikemanusiaan mereka sudah hilang.

Susah mencari keadilan di negeri ini.

Indonesia sudah dirusak orang-orang yang rakus akan urusan dunia. Semua demi kekuasaan. 

Indonesia sudah tinggal nama, Nak! 

Indonesia sudah hilang dari bumi pertiwi ini.

Carilah Indonesia di penjuru negeri ini, maka yang kau dapat hanya penyesalan.

Orang tidak lagi bangga dengan negeri ini.Kebanggan mereka hanya pada urusan perut. Asal hidup dan bisa makan, sudah cukup.

Aku tahu suatu saat Indonesia ini tidak akan tersisa.

Karena itu aku tidak mau negeri tercinta ini hilang, Nak!

Makanya kau kunamai Indonesia.

Nama itu sekedar pengingat agar kau dan teman-temanmu tahu bahwa Indonesia masih ada. 

Bahwa kau dan teman-teman sebayamu tahu negeri ini lahir dari orang-orang hebat di masa lalu. 

Syukur-syukur kau dan teman-temanmu dapat meneruskan perjuangan pendahulumu menuju kejayaan bangsa ini.

Aku tidak berharap banyak darimu, Nak!

Harapanku hanya satu, bahwa kau bisa terus menjadi penjaga surga kami kelak.

Doa yang kau panjatkan nantinya bisa membawa kami menuju surgaNya.

Pernah kami merasakan surga itu (saat kau lahir). Dan kami pun ingin lagi mencicipnya.

Tapi sebelum itu terwujud, Nak, kuberitahu kau satu hal.

Doa yang diterima itu adalah doa yang hambaNya senantiasa ingat kepada Allah.

Bagaimana kau bisa ingat Allah, Nak! 

Hanya satu caranya, yaitu sholat.

Tidak ada warisan yang bisa kuturunkan padamu. Tapi satu hal yang diajarkan ayahku padaku yang sekarang mau kusampaikan padamu.

Jadilah orang jujur di mana pun kau berada.

Ayahku adalah orang jujur sedunia, dan itu yang diwariskan padaku. Dan aku ingin kau mewarisinya.

Nah anakku Nesia, selamat ulang tahun buatmu. 

Semoga renungan ini bisa membawa manfaat untukmu dan teman-temanmu.

*) wartawan rmoljatim