Sejenak Rishi Sunak

Peneliti pada JPIPNetwork, Rosdiansyah/Ist
Peneliti pada JPIPNetwork, Rosdiansyah/Ist

KEKELIRUAN terbesar dari kita saat membaca kabar internasional adalah selalu bersumber dari sentimen primitif yang menjadi acuan perbandingan. Seperti, saat sebagian dari kita melihat Rishi Sunak terpilih menjadi Perdana Menteri Inggris menggantikan Liz Truss. Mendadak yang beredar di berbagai WA Group atau media sosial terkait latar-belakang Rishi Sunak. 

Ia keturunan imigran India, ia Hindu, ia minoritas. So what? Gak ada yang salah dengan latar-belakang itu di Inggris. Biasa saja. Karena memang alam pikiran kebanyakan orang Inggris sudah jarang menyoal latar-belakang figur publik. Walau bulan Februari 2011 David Cameron, PM Inggris saat itu, pernah mensponsori apa yang disebut ''State Multiculturalism'' (Multikulturalisme Negara) yang intinya gak nyaman pada imigran. Tapi, sebagian besar warga Inggris cuek.

Urusan Cameron urusan politik. Urusan warga tentu beda. Apalagi urusan kapitalisme. Bisa beda jauh, antara elit politik dari warga biasa. Belum lagi urusan imigran. Negeri Union Jack itu memang punya daya tarik. Selama dekade '50-'60an industri Inggris butuh pekerja. Para industrialis membuka pintu untuk imigran. Mereka pun berdatangan. Mengadu nasib, walau nasib mereka sering terpojok. Tapi, industri Inggris melaju pesat. Setelah Inggris menjarah kekayaan negeri jajahan, Inggris tetap membuka pintu untuk warga bekas jajahan. 

Inggris baru saja berkabung. Ratu Elizabeth II wafat pada 8 September 2022. Dua nama Elizabeth melekat dalam sejarah Inggris. Ratu Elizabeth I lekat pada periode ekspansi dan kolonialisme Inggris. Sebaliknya, Ratu Elizabeth II lengket menandai masa dekolonialisasi. Dua masa, kebijakan berbeda. Meski substansi sama. Mempertahankan kharisma monarki Inggris. Caranya, Ratu Elizabeth II meneguhkan persemakmuran melalui Deklarasi London 1949.   

Kemakmuran serta kejayaan masa kolonial mengilhami kelahiran 'Brexit'. Inggris keluar dari Uni Eropa sejak 31 Januari 2020. Dua tahun lalu. Sosiolog beken Inggris, Paul Gilroy, menyebut ''Postcolonial melancholia'' (Rengekan melankolis pasca-kolonial) pada proyek kaum nasionalis Inggris itu. Rengekan yang tak bisa menyelamatkan situasi ekonomi Inggris yang babak-belur akibat pandemi. 

Bukan Perkara Identitas

Rishi Sunak politisi Partai Konservatif. Seniornya dari partai yang sama, sohor dengan slogan TINA (There Is No Alternative), adalah Margareth Thatcher. Sunak pendukung Brexit sejak 2016. Ia menggantikan Liz Truss sebagai Perdana Menteri Inggris. Liz juga dari Partai Konservatif. Tak lagi terdengar kasak-kusuk identitas Sunak. Semuanya lancar dalam pergantian pucuk pimpinan pemerintahan. Ia terpilih karena integritas, responsibilitas, professionalisme. 

Daripada heran menggumam kok bisa Sunak keturunan India jadi perdana menteri di negeri modern seperti Inggris, maka ada baiknya kita menyimak uraian Paul Gilroy. Sosiolog kondang Inggris itu dalam karya klasiknya ''After Empire'' (2004) menjelaskan, perkara ras, etnik apalagi antar-golongan, tak lagi relevan di negeri produsen mobil Cooper tersebut. Yang terpenting adalah keadaban multikultur, diantaranya saling percaya, baku hormat, saling mengakui. Itu resepnya.

Membiasakan keseharian dalam kemajemukan memang tidak bisa dilakukan dalam sekejap. Butuh waktu, perlu terbiasa. Apalagi dalam turbulensi politik tiada henti. Selama bertahun-tahun, masyarakat Inggris harus membiasakan diri menerima perbedaan. Harus meminimalisir rasa curiga, meredam rasa syak wasangka, utamanya pada imigran. Seringkali kedatangan mereka dianggap ancaman karena merebut peluang kerja.

Kian lama keadaban multikultur di Inggris kian terbenam ke dalam keseharian warga. Perbedaan sikap politik bukan halangan menjaga hubungan baik. Kompetisi di publik, tulis Gilroy, tak lagi berdasar pada anggapan satu ras di atas ras lainnya. Melainkan, mulai berdasar pada kapasitas, kompetensi, integritas serta profesionalisme. Situasi ini kian memperkuat keadaban publik karena kontestasi jadi lebih adil, fair serta imparsial.

Salah Baca     

Anehnya, lalu kita membandingkan keterpilihan Sunak itu pada situasi kita, lantas kita memakai bingkai mayoritas-minoritas. Jujur saja, ini bingkai primordial sekaligus sektarian. Sama sekali tak berkaitan pada keadaban multikultur yang mendasari keseharian masyarakat Inggris saat ini. Politisi sektarian Inggris memang juga selalu mengipas-ngipasi soal-soal sektarian, tapi warga masyarakat ogah terbuai.

Kesalahan lainnya, sebagian dari kita membaca situasi Inggris seolah Sunak mendobrak superioritas politisi kulit putih. Ini jelas kesalahan baca yang serius. Sebab, arena politik Inggris sebenarnya harus dilihat dalam dua hal penting saat ini. Pertama, dampak Brexit pada Inggris. Kedua, dampak pandemi pada negeri asal The Beatles itu. Keduanya berkait solusi ekonomi-politik. Bukan soal superioritas lawan inferioritas. 

Kesalahan baca lain yang perlu diperbaiki, Sunak terpilih tentu bukan karena ia minoritas, melainkan saat ini ia yang paling siap maju dan didukung partainya. Sunak berintegritas, tak suka mencaci-makin warga cilik di depan orang banyak. Sunak berprestasi dalam karir profesionalnya, bukan karena perlindungan partainya. Sunak juga berkapasitas, terbukti dari rekam-jejak akademisnya yang bukan dari perguruan tinggi asal-asalan. Apalagi tak asal lulus.

Peneliti JPIPNetwork