Wacana Sistem Pemilu Proporsional Tertutup, Pengamat: Ketua KPU RI OffSide

Ali Sahab
Ali Sahab

Pernyataan Ketua KPU RI Hasyim Asyari terkait kemungkinan pemilu 2024 kembali proporsional tertutup disayangkanya para pengamat politik. Ketua KPU RI tak elok melontarkan wacana tersebut, hingga ada yang meminta DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) harus memeriksa Ketua KPU.


"Saya kira sebagai pejabat publik dalam berstatemen harus mempunyai landasan dan kajian akademis. Kalau dari statemen yang disampaikannya, saya tidak tahu persis apakah (Ketua KPU RI) punya landasan yang jelas atau tidak," ujar Pengamat Politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Ali Sahab, Jumat (30/12).

Pemilu yang menerapkan proporsional tertutup atau terbuka memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun sangat disayangkan, jika Ketua KPU RI melontarkan wacana bahwa Pemilu 2024 menerapkan proporsional tertutup dalam menentukan calon legislatif atau anggota dewan.

"Sekarang ini tidak perlu melontarkan wacana. Saat ini KPU harus konsen di pemilu 2024. Setelah itu, silahkan ditata seperti apa," katanya.

Staff Pengajar di Departemen Politik FISIP Unair menambahkan, saat ini tidak elok untuk membahas wacana penerapan kembali proporsional tertutup. Karena yang diuntungkan adalah partai besar, dalam artian yang menentukan anggota dewan dari partai dan tidak ada secercah pemilih untuk memilih calegnya.

"Saya kira ini (wacana) kurang elok. Permainan sudah berjalan, ujug-ujug (tiba-tiba) wasit memberikan aturan baru," terangnya.

Sementara itu, Lasiono Pengamat Sosial dan Politik asal kota Surabaya ini menerangkan, Pemilu 2024 merupakan salah satu indikator atau tolak ukur dari demokrasi kehidupan bernegara di Indonesia. Keterbukaan dan kebebesan dalam pemilihan umum mencerminkan partisipasi masyarakat Indonesia.

"Saya kira statemen Ketua KPU RI yang menyatakan Pemilu 2024 tidak menutup kemungkinan kembali pada sistem proporsional tertutup adalah, ketua sedang berhalusinasi terhadap sistem pemilu 2024. Karena Ketua KPU kaget, merasa begitu besarnya tanggungjawab yang harus dikerjakan sebagai penyelenggara pemilu. Ketua KPU RI ini hanya mencari gampangnya saja," kata Lasiono.

Alumnus Magister Sosial Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS) ini menegaskan, pernyataan Ketua KPU RI itu offside, karena sistem pemilu sudah menjadi ranah DPR RI dan pemerintah, yang nota bene lembaga politik yang melahirkan produk-produk undang-undang, termasuk UU Pemilu No 7 Tahun 2017.

"Ketua KPU RI sudah membawa KPU ke wilayah politik praktis, dan saya kira, ini berbahaya. Padahal, KPU seharusnya independen, dan menjaga pelaksanaan pemilu berjalan dengan jujur, adil, transparan. Dan laksanakan saja apa yang menjadi tugas KPU sesuai dengan UU Pemilu," tuturnya.

Direktur Eksekutif Lembaga Survey dan Penelitian Jhon Consulindo ini menegaskan, statemen Ketua KPU RI itu ngawur dan harus ada penindakan dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

"Seharusnya DKPP segera turun memintai keterangan Ketua KPU RI, karena Ketua KPU RI tanpa dia sadari telah mencederai demokrasi di Indonesia," ujarnya.

"Ketua KPU RI tidak punya etika sebagai penyelenggara pemilu. Bahkan, saya kira Ketua KPU harus mundur dan usut tuntas dugaan keterlibatan politik praktis KPU RI," jelas Lasiono.