KPK Perlu Membentuk Deputi Khusus Tangani LHKPN

Ilustrasi Gedung KPK/RMOL
Ilustrasi Gedung KPK/RMOL

Koordinator Simpul Aktivis Angkatan 98 (Siaga 98) Hasanuddin memandang perlunya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membentuk kedeputian khusus yang menangani Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tidak wajar.


“Ada beberapa pertimbangan agar KPK membuat satu kedeputian khusus yang menangani LHKPN,” kata Hasanuddin dilansir dari Kantor Berita Politik RMOL, Senin (6/3).

Adapun sejumlah pertimbangannya, beber Hasanuddin, ialah landasan hukum LHKPN sebagaimana diatur dalam UU 28/1999 Tentang Penyelenggaraa Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).

“Dan sewajarnya tugas dan fungsi pemeriksaan kekayaan penyelenggara negara setidaknya setingkat deputi sebagai pengganti Komisi Pemeriksa yang diamanatkan UU, bukan direktorat,” kata Hasanuddin.

Kemudian pertimbangan kedua, mengapa KPK perlu membentuk kedeputian khusus LHKPN ialah maraknya dugaan kekayaan tidak wajar dari penyelenggara negara baik itu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dengan demikian, diperlukan penanganan yang komprehensif dengan kewenangan yang memadai.

Untuk menangani, kata Hasanuddin, tidak cukup setingkat direktorat yang memiliki keterbatasan tersendiri, khususnya pemeriksaan dan penyelidikan kekayaan tak wajar ke ranah penindakan, sehingga tidak sebatas LHKPN sebagai dokumen yang berujung pada arsip semata.

Dengan begitu, sambung Hasanuddin, kewenangan penanganan kekayaan penyelenggara negara yang diberikan kepada KPK tentu saja tidak sebatas pencegahan melainkan juga penindakan sebagaimana amanat UU Tindak Pidana Korupsi (TPK).

Lalu ketiga, urai Hasanuddin, urgensi alias pentingnya penyelenggara negara yang bebas KKN dan diberikan waktu untuk menata diri dengan pencegahan, kini saatnya prioritas pada penindakan penyelenggara negara melalui pintu LHKPN.

Lalu, kata dia, penindakan kekayaan tak wajar yang bersumber dari LHKPN sudah memiliki payung hukum, baik berupa UU TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) maupun UU TPK (Tindak Pidana Korupsi), baik melalui pembuktian terbalik dan ditemukan pidana asalnya dan dapat dilakukan perampasan harta benda melalui pidana tambahan.

Namun, menurut Hasanuddin, landasan hukum tersebut akan terkendala teknis operasional sebab keterbatasan penanganan karena kekayaan penyelenggara negara yang ruang lingkupnya luas hanya ditangani setingkat direktorat (Direktorat PP LHKPN) dibawah kedeputian pencegahan dan monitoring KPK.

“Siaga 98 pesimis kekayaan tak wajar penyelenggara negara secara nasional dapat ditangani secara sistematik dan memadai jika hanya mengandalkan sumber daya setingkat direkorat semata,” demikian Hasanuddin.