Dinilai Tidak Sah, Putusan MK Berpotensi Jadi Dasar Pemakzulan

Pakar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana/Net
Pakar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana/Net

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden disarankan agar tidak dijadikan landasan untuk mendaftarkan pasangan calon pada Pilpres 2024. Sebab, keputusan tersebut dinilai tidak sah.


"Karena itu, saya merekomendasikan bahwa putusan nomor 90 tersebut tidak sah. Saya berikan kepada publik dan saya sebarkan bahwa putusan 90 tidak sah itu memang sebaiknya tidak dijadikan dasar untuk pendaftaran Pilpres 2024," kata Pakar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana, dalam keterangannya di Jakarta, Senin (23/10).

Denny menegaskan bahwa siapapun yang menjadi pasangan capres-cawapres di  Pilpres 2024, bukan hanya Gibran Rakabuming Raka, jika hanya bergantung pada putusan ini, berisiko dianggap tidak memenuhi syarat sebagai calon presiden dan wakil presiden.

"Dan kalaupun berhasil terpilih beresiko dimakzulkan karena sebenarnya tidak memenuhi syarat sebagai pasangan calon presiden. Ingat salah satu pintu masuk pemakzulan adalah tidak memenuhi syarat," ujar Denny.

Menurutnya, jika itu bergulir dan putusan MK tersebut memang dinyatakan tidak sah, maka  bisa dijadikan dalil untuk dilakukan pemakzulan.

Denny memiliki argumen mengapa putusan tersebut berpeluang besar dapat dinyatakan tidak sah. Dalam UU Mahkamah Konstitusi (MK), kata dia, dikenal konsep putusan MK bisa tidak sah pada saat putusan MK tidak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

"Itu adalah pasal 28 ayat 5 dan 6 UU MK dan konsekuensinya selain tidak sah, UU Kekuasan Kehakiman mengatakan putusan batal demi hukum. Jadi ada konsep tidak sah dan konsekuensi batal demi hukum berdasarkan UU," jelas dia.

Lebih lanjut, masih kata Denny, dalam UU Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 48/2009 menyatakan wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila dia (hakim) mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa.

“Bagaimana akibatnya? Dikatakan jika Hakim yang mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung itu tidak mundur maka Pasal 17 ayat 5 dan ayat 6, mengatakan putusan dinyatakan tidak sah,” jelasnya.

“Nah ini penting untuk mengatakan konsep final and binding itu bisa dikoreksi dalam hal dua, tidak sah pada saat tidak dibacakan di depan umum dan pada saat Hakim tidak mundur memeriksa mengadili,” imbu dia.

Menurut Denny, ada beberapa alasan mengapa Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman layak dijadikan dasar untuk mengatakan dia tidak sah.

"Padahal dia punya benturan kepentingan. Kenapa undang-undang Kekuasaan Kehakiman kita jadikan dasar untuk mengatakan dia tidak sah pada saat hakimnya tidak mundur karena Pasal 24 a Ayat 2 dengan jelas mengatakan kekuasaan kehakiman itu MA dengan badan peradilan di bawahnya dan Mahkamah Konstitusi," ungkap Denny.

Ditegaskannya, UU Kekuasaan Kehakiman tersebut berlaku dan mengikat kepada Mahkamah Konstitusi terutama dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/2006 khususnya prinsip kedua tentang ketidakberpihakan butir lima huruf B.

"Mengatur hakim konstitusi, saya tegaskan katanya adalah harus hakim konstitusi harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara karena alasan-alasan B hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan," tandas Denny.