Nasib KTA

Rosdiansyah/Ist
Rosdiansyah/Ist

DENGAN berdalih keadaban politik, seorang petinggi parpol tak menyoal apakah kadernya mau mengembalikan Kartu Tanda Anggota (KTA) ataukah tidak. Kepada sejumlah media, petinggi parpol itu lantas menyebut jabatan dan kekuasaan. Dengan alasan itu, si petinggi parpol ini hendak  membenturkan keadaban politik pada perilaku adigang adigung adiguna dari pembangkangan sang kader.  

Itulah episode akal-akalan drama KTA antara petinggi parpol dan kadernya. Saling sibuk beralasan kenapa KTA sang kader tak kunjung juga dikembalikan. Padahal, sang kader sudah jelas-jelas maju sebagai bakal calon wakil presiden (bacawapres) mendampingi ketua umum parpol lain. Sedangkan parpol asal bacawapres sudah mengusung paslon lain.

Bisa jadi, sang kader berpikiran, bahwa itu hanyalah urusan mengembalikan KTA. Urusan tersebut bisa dikerjakan di lain waktu. Tak perlu terburu-buru. Pikiran semacam itu berarti menyepelekan adab berpolitik, merendahkan parpol darimana ia berasal. Menjadikan KTA seolah cuma kartu biasa, tak istimewa.

Padahal, KTA sudah membuat sang kader itu eksis di jagat politik.  Berkat KTA, ia bisa menerobos jenjang pengkaderan partai. Melalui KTA, ia spontan meroket diantara kader lain dalam parpol tersebut. Tak perlu berlama-lama menunggu giliran. Tak perlu capek-capek ikut proses kaderisasi, langsung nangkring masuk ke dalam lingkaran pemerintahan menjadi kepala daerah.

KTA parpol kian menyempurnakan keistimewaan yang selama ini sudah dinikmatinya. Begitu memperoleh KTA, maka peralihan profesi dari pebisnis kuliner ke politisi berjalan mulus. Meski disorot publik sebagai politisi karbitan, kader istimewa ini tak peduli. Fans beratnya menuding para pengkritik sebagai orang-orang sirik.          

Ketika tiba waktunya KTA wajib dikembalikan akibat si kader ikut mengusung bacapres parpol lain, ternyata KTA tak serta-merta dikembalikan. Hari-hari usai pendaftaran ke KPU justru diisi berbagai alasan ''pemakluman'' dari petinggi parpol kepada sang kader.

Konyolnya lagi, ada petinggi parpol beralasan, bahwa publik sudah tahu kalau kader memilih ke parpol lain tanpa mengembalikan KTA, itu artinya keanggotaan kader gugur dengan sendirinya. Ini alasan aneh. Kok seperti menjadikan parpol layaknya  tempat cangkruk biasa. Padahal, KTA itu bagian dari adab berpolitik.

Ala kulli hal, publik saat ini kian cerdas, bahwa tanpa mengembalikan KTA, itu artinya parpol tersebut hendak bermain dua kaki. Satu kaki di paslon resmi yang diusung partai asal sang kader, kaki lainnya di paslon lain yang diusung kader tersebut.

Periset di Surabaya