- Politik Selfie Pejabat Publik
- Tianjin Saksi Sejarah Globalisasi Tiongkok
- Kisah Pilu Pekerja Migran Cina
SAAT remaja muslim bertanya tentang sikap Islam terhadap isu-isu aktual seperti jender, maka diperlukan penjelasan yang masuk akal, argumentatif dan logis.
Alasannya, tiap remaja normal yang aktif serta tumbuh dalam lingkungan yang terus berkembang dan berubah, tentu ia menghadapi lalu-lintas narasi serta wacana di lingkungan tersebut. Remaja religius tapi rasional jelas membutuhkan penjelasan tak doktriner. Sayangnya, kebanyakan penceramah di AS lebih menekankan kepercyaan pada doktrin agama daripada mendiskusikan doktrin tersebut.
Saat ini, jumlah remaja muslim di AS meningkat tajam. Menurut sensus AS tahun 2020, jumlah mereka diperkirakan 1,15 juta jiwa dan tersebar di beberapa wilayah di AS. Mereka umumnya berasal dari keluarga imigran yang sudah menetap di AS sejak beberapa dekade silam.
Remaja-remaja ini lahir di AS dan tumbuh kembang di lingkungan umum yang tak begitu religius. Interaksi mereka dengan warga dari beragam agama serta kebiasaan kemudian membentuk kepribadian yang rata-rata terbuka. Namun, mereka umumnya tetap bergabung dalam komunitas-komunitas muslim yang menggarap berbagai kegiatan keislaman, seperti menjadi panitia shalat Jumat.
Belakangan, muncul fenomena krisis keyakinan dalam komunitas keislaman di AS. Krisis ini bahkan sudah menjadi perbincangan serius di dalam komunitas muslim Amerika. Apalagi para remaja muslim tak mungkin dihalangi untuk berinteraksi dengan teman seusianya atau mungkin yang lebih tua, secara daring. Interaksi ini bukan sekadr bincang remeh-temeh, sebab perbincangan bisa serius menyangkut doktrin agama. Ada rasa ingin tahu yang besar dalam lubuk hati remaja kenapa sebuah doktrin, misalnya, tidak boleh dipertanyakan. Harus ditelan mentah-mentah.
Misalnya, kenapa posisi perempuan dalam ajaran Islam sepertinya dianggap tak bisa mandiri tanpa laki-laki? Pertanyaan semacam ini merebak di kalangan remaja muslim sejak awal dekade 2010-an. Para pendakwah muslim di AS yang tergabung dalam berbagai organisasi dakwah Islam kerap memperbincangkan pertanyaan-pertanyaan kritis dari para remaja muslim tersebut. Bagi para pendakwah, tampaknya gejala krisis keyakinan sudah mengkhawatirkan. Sikap kritis remaja muslim AS tak lagi bisa dianggap perkara remeh.
Sejumlah besar pemimpin komunitas Muslim AS dan pengkhotbah tidak henti-hentinya membicarakan tentang "krisis iman" yang terjadi di seluruh negeri. Ada rasa cemas bahwa semakin banyak Muslim yang kehilangan keyakinan dalam Islam, memiliki keraguan yang mendalam tentang agama, merasa tidak aman dalam iman mereka, menolak ajaran dan pokok-pokok iman yang esensial, atau bahkan melepaskan identitas Muslim mereka sepenuhnya.
Tokoh otoritas dan intelektual publik telah membahas kekhawatiran ini baik di lembaga komunitas lokal maupun di platform yang ditujukan untuk audiens nasional (dan bahkan internasional) melalui ceramah dan khotbah, esai daring, forum tanya jawab, program pendidikan dan lokakarya, hingga lembaga keislaman.
Pada tahun 2016, tren krisis iman ini memuncak. Untuk mengantisipasi, lalu diluncurkan Yaqeen Institute, lembaga paling berpengaruh yang berinisiatif menangani masalah ini hingga saat ini. Yaqeen Institute menjadi perhatian penulis buku ini.
Upaya serta kegiatan yang dilakukan Yaqeen Institute menjadi bahasan utama. Tidak hanya mencerminkan upaya luas yang dilakukan lembaga ini dalam menangani "krisis iman," tetapi juga lembaga tersebut telah menjadi salah satu penyebar konten pendidikan Islam yang paling menonjol di ranah publik Muslim Amerika.
Ciri remaja AS krisis iman ditunjukkan dari sikapnya yang ambivalen plus ambiguitas. Pasa satu sisi mereka ingin berontak pada segala doktrin agama yang diterimanya saat doktrin itu diulang-ulang oleh penceramah. Pada sisi lain, mereka yang mengalami krisis berusaha mencari langsung ke dalam ajaran Islam. Mereka membaca terjemahan Qur'an, tafsir Qur'an dan menyimak beragam literatur sejarah Islam serta hadis. Dalam situasi seperti itu, Yaqeen Institute juga mendampingi para remaja tersebut.
Banyak kisah remaja muslim AS mencerminkan kecemasan yang meluas tentang "krisis iman" di dalam komunitas Muslim Amerika. Kecemasan itu bisa berasal dari pengalaman individu yang mengungkapkan ketidakpastian, ambivalensi, ketidaknyamanan, kritik, dan kekecewaan terkait dengan keyakinan dan komitmen iman mereka. Maupun dalam wacana publik komunitas dan kekhawatiran mengenai "epidemi" Muslim yang kehilangan iman, identitas, dan kepatuhan terhadap "Islam yang sebenarnya."
Situasi yang dirasakan remaja muslim AS itu juga menggambarkan bagaimana kekhawatiran ini pada dasarnya berkaitan dengan tekanan dan dilema otentisitas— yaitu, apa artinya benar-benar menjadi seorang Muslim. Dalam konteks Islam dan Muslim, pembicaraan tentang otentisitas segera mengingatkan kita pada klaim yang selalu bersaing dalam komunitas muslim mengenai pelaksanaan kemurnian tradisi dan doktrin Islam. Ada komunitas yang mengklaim telah melaksanakan Islam secara murni. Otentisitas secara kolektif. Ternyata, komunitas itu menjalankan Islam sesuai dengan tafsir yang dianut kelompoknya.
Namun ada juga makna otentisitas lain yang biasanya tidak dibahas dalam diskusi tentang Islam: yaitu otentisitas pribadi. Berbeda dengan rasa otentisitas kolektif yang berarti setia pada “Islam sejati” yang didefinisikan secara otoritatif, pemahaman otentisitas yang bersifat internal dan berpusat pada individu ini berkaitan dengan menjadi benar pada diri sendiri. Oleh karena itu, dilema otentisitas memperlihatkan bahwa otentisitas pribadi ini memainkan peran penting dalam kekhawatiran Muslim Amerika terhadap keraguan dan krisis iman, meskipun arahnya sulit diprediksi.
Buku ini merupakan hasil kajian etnografis terhadap komunitas muslim AS dewasa ini. Terutama pada remaja muslim yang sedang menghadapi gempuran wacana liberal tiada henti, sementara mereka ingin menjadi muslim otentik yang kuat memegang ajaran Islam. Otentisitas berarti keaslian. Asli sebagai muslim AS. Untuk membahasanya, penulis terlebih dulu menjabar apa itu otentisitas atau keaslian. Konsep keaslian berfungsi sebagai penilaian "apakah (atau sejauh mana) entitas adalah sesuai dengan apa yang mereka yakini."
Ketika diterapkan pada objek nyata, misalnya kita mungkin bertanya tentang sebuah berlian, karya lukis (misalnya, sebuah lukisan terkenal), atau produk bermerek. Pertanyaan yang mencuat biasanya ''Apakah itu barangnya atau tidak?'', ''Apakah itu asli, atau tiruan (KW)?'' Dalam kasus entitas, segala sesuatu seperti tradisi, kebiasaan, budaya dan agama atau identitas kolektif, penilaian tentang keaslian selalu tertuju pada validitas historis dan kategoris. Seperti, apakah praktek ajaran agama telah dilakukan secara benar sesuai dengan tuntunan atau tidak.
Dalam masyarakat majemuk seperti AS, tentu saja peneguhan jatidiri otentik sangatlah penting. Sebuah komunitas dan jatidiri pribadi bisa dikenali diantaranya dari praktek-praktek keagamaan sehari-hari. Hanya saja, ketika masyarakat menjadi lebih permisif terhadap liberalisme sembari tak begitu peduli pada nilai-nilai ajaran agama, maka otentisitas seringkali memudar.
Ala kulli hal, boleh dikata, keaslian jatidiri sebagai muslim menjadi perjuangan berat di AS. Mereka harus berhadapan dengan kecurigaan, antipati, prasangka, stereotyping dan praduga dari mayoritas kulit putih. Sedangkan mereka membutuhkan jawaban-jawaban logis dan argumentatif menghadapi gempuran wacana liberal tanpa henti.
*Penulis adalah akademisi dan periset
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Politik Selfie Pejabat Publik
- Tianjin Saksi Sejarah Globalisasi Tiongkok
- Kisah Pilu Pekerja Migran Cina