Mahasiswa yang berasal dari sejumlah perguruan tinggi ini awalnya menyuarakan protes terkait komersialisasi sistem pendidikan dan ketidakinklusiannya. Mereka menilai ada dugaan pungutan liar yang merugikan masyarakat, salah satunya terjadi di SMAN 1 Turen, Malang, yang disinyalir meminta biaya dengan alasan komite sekolah.
Tak lama setelah aksi dimulai, Suli Daim menemui para demonstran untuk memberikan penjelasan terkait tuntutan mereka. Dalam pertemuan tersebut, Suli Daim mengajak mahasiswa untuk duduk bersama dan berdialog. Namun, penjelasan yang diberikan oleh politisi asal PAN tersebut tidak memenuhi ekspektasi mahasiswa.
Salah satu mahasiswa yang turut serta dalam aksi tersebut menanggapi penjelasan Suli Daim dengan nada keras, “Jawaban Bapak normatif dan tidak menjawab masalah! Kami datang membawa data, kami tanya soal pungli berkedok komite sekolah, tapi Pak Dewan malah jawab normatif,” ungkapnya.
Merasa tidak puas dengan respons yang diberikan, puluhan mahasiswa akhirnya membubarkan diri dan menolak pemaparan dari Suli Daim. Mereka kembali menegaskan bahwa jawaban yang disampaikan oleh legislator tidak relevan dengan masalah yang mereka bawa.
Menanggapi hal tersebut, Suli Daim menjelaskan bahwa dewan legislatif tidak dapat langsung memenuhi semua tuntutan karena tugas utama mereka hanya untuk menampung aspirasi. “Tidak mungkin, karena kita kolektif. Ini keputusan yang kolektif yang harus dilakukan pimpinan DPRD setelah aspirasi disampaikan, kemudian kami sampaikan ke pihak-pihak terkait,” ujar Suli setelah pertemuan dengan demonstran.
Lebih lanjut, Suli Daim menilai bahwa aspirasi yang disampaikan oleh mahasiswa tidak terlalu jelas, mengingat sebagian besar dari tuntutan tersebut telah dijawab oleh kebijakan pemerintah. Ia merujuk pada kebijakan Kementerian Pendidikan terkait perubahan kurikulum yang menerapkan penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa, serta alokasi anggaran pendidikan yang sudah melebihi 20 persen dari total APBD Jatim.
Terkait dengan persoalan sekolah gratis, Suli mengungkapkan bahwa saat ini tidak ada lagi anak-anak yang putus sekolah, karena program wajib belajar 12 tahun sudah tuntas. Ia juga menegaskan bahwa pemerintah telah memberikan ruang bagi anak-anak untuk mendapatkan pendidikan tanpa hambatan.
"Ruang itu sudah diberikan pemerintah untuk bagaimana memberikan perlindungan pendidikan dan kecerdasan kepada anak-anak sampai 12 tahun," tambahnya.
Suli juga menyebutkan bahwa meskipun ada kebijakan sekolah gratis, tidak semua biaya dapat sepenuhnya dipenuhi tanpa adanya bantuan dari pihak luar. Menurutnya, proses belajar mengajar terkadang terganggu karena banyaknya guru yang purna tugas. Oleh karena itu, sekolah terpaksa mengandalkan guru honorer untuk mengisi kekosongan tersebut.
“Rata-rata tiap tahun ada yang purna tugas 5 guru di setiap sekolah dan itu tidak mungkin dibiayai kalau guru non-ASN, sehingga kosong. Dan itu harus diisi oleh guru honorer, terpaksa,” ujar Suli.
Menurutnya, keberlangsungan proses belajar mengajar tetap memerlukan adanya tenaga pengganti, dan hal tersebut bisa melibatkan partisipasi dari wali murid. Suli juga menekankan bahwa hal ini sudah diatur dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.
“Untuk memastikan keberlangsungan belajar mengajar, harus ada pihak ketiga yang membantu proses pembiayaan, sepanjang itu tidak ditarik secara sepihak,” pungkasnya.
Meskipun dialog antara Suli Daim dan mahasiswa tidak menghasilkan kesepakatan, diskusi tersebut membuka peluang bagi kedua pihak untuk lebih memahami permasalahan yang ada di dunia pendidikan di Jawa Timur.