Retakan di Barat: Mengapa Amerika Mulai Berbalik Mendukung Palestina dan Mengkritik Israel?

Ilustrasi/Ist
Ilustrasi/Ist

AMERIKA Serikat selama puluhan tahun dikenal sebagai sekutu paling setia Israel. Dukungan militer, diplomatik, bahkan ideologis terhadap negara Yahudi itu seolah tak tergoyahkan. Namun dalam beberapa tahun terakhir—terutama sejak pecahnya konflik besar Gaza tahun 2023 hingga 2025—nampak mulai muncul retakan dalam narasi dukungan total itu. Demonstrasi besar di kota-kota Amerika, pernyataan anggota parlemen yang mulai kritis, bahkan perubahan arah pemberitaan media arus utama memberi sinyal kuat: ada perubahan dalam sikap Amerika terhadap Israel dan konflik Palestina.

Apakah ini sekadar pergeseran retoris, atau gejala perubahan strategis yang lebih fundamental? Artikel ini berusaha menjawab pertanyaan itu secara tajam dan kritis, dengan memadukan pendekatan ilmiah, data politik luar negeri, dan nuansa humanis dari penderitaan rakyat Palestina.

Historisisme Dukungan AS terhadap Israel

Untuk memahami perubahan sikap ini, kita perlu mengingat bagaimana dan mengapa Amerika mendukung Israel sejak awal. Pasca Perang Dunia II, AS melihat Israel sebagai benteng demokrasi liberal di Timur Tengah yang didominasi negara-negara Arab nasionalis atau sosialis. Dukungan itu juga erat kaitannya dengan pengaruh kuat lobi pro-Israel, terutama AIPAC (American Israel Public Affairs Committee), yang berhasil memengaruhi kebijakan luar negeri AS melalui kongres, media, hingga kampanye politik.

Selama Perang Dingin, Israel menjadi mitra strategis melawan pengaruh Uni Soviet di kawasan. Pada masa pasca-9/11, AS dan Israel berbagi narasi “war on terror” yang semakin merekatkan hubungan keduanya. Dalam narasi ini, Palestina diposisikan bukan sebagai bangsa yang dijajah, melainkan sebagai ancaman keamanan.

Namun, pola ini kini mulai retak.

Gen Z, Media Sosial, dan Perubahan Persepsi

Salah satu aktor paling signifikan dalam perubahan sikap publik Amerika adalah generasi muda—khususnya Gen Z dan milenial. Survei Pew Research (2023 dan 2024) menunjukkan bahwa simpati anak muda Amerika terhadap Palestina meningkat tajam, sementara dukungan terhadap Israel menurun. Ini terkait erat dengan dua hal:

1. Akses Informasi Alternatif

Media sosial seperti TikTok, Instagram, dan X (Twitter) membuka ruang untuk narasi yang tak dimonopoli oleh media mainstream pro-Israel. Video langsung dari Gaza, laporan citizen journalism, dan pengakuan para aktivis Palestina menjebol dinding propaganda.

2. Sensitivitas Sosial dan Keadilan

Generasi muda AS tumbuh dalam budaya yang lebih sensitif terhadap isu rasisme, kolonialisme, dan ketidakadilan global. Mereka melihat perjuangan Palestina dalam kerangka “dekolonisasi,” mirip dengan gerakan Black Lives Matter atau perjuangan pribumi.

Ini menjelaskan mengapa kampus-kampus elit seperti Harvard, Stanford, hingga Columbia menjadi pusat protes anti-genosida Israel, dan mengapa mahasiswa Amerika menyamakan Gaza dengan Apartheid.

Politik Dalam Negeri: Antara Tekanan dan Perubahan Arah

Perubahan posisi Amerika juga ditentukan oleh dinamika domestik. Presiden Joe Biden dan Partai Demokrat menghadapi tekanan luar biasa dari sayap progresif. Tokoh seperti Alexandria Ocasio-Cortez (AOC), Rashida Tlaib, dan Ilhan Omar konsisten mengecam pembantaian Israel di Gaza.

Krisis ini menjadi bumerang politik bagi Partai Demokrat. Pemilu 2024 menyaksikan sebagian pemilih Muslim dan progresif menolak memberikan suara untuk Biden, memicu kekhawatiran akan pecahnya basis elektoral. Hal ini membuat Gedung Putih harus mengakomodasi perubahan sentimen publik.

Sementara itu, di Partai Republik, meski dukungan terhadap Israel tetap kuat, retorika “America First” yang diusung oleh kelompok sayap kanan juga mempertanyakan kenapa miliaran dolar AS terus mengalir ke luar negeri saat krisis ekonomi di dalam negeri belum teratasi.

Dengan kata lain, baik kiri maupun kanan kini punya alasan masing-masing untuk mengkritik hubungan istimewa AS-Israel.

Kekejaman yang Terbukti, Dunia yang Terbuka

Jika pada masa lalu kekerasan Israel bisa dibungkus dengan dalih “pembelaan diri,” kini keadaannya berbeda. Dunia menyaksikan pembantaian massal, penghancuran rumah sakit, pemblokiran bantuan kemanusiaan, dan pembunuhan jurnalis secara terang-terangan di Gaza.

PBB, Amnesty International, Human Rights Watch, hingga lembaga independen Israel sendiri (seperti B’Tselem) telah menyatakan bahwa tindakan Israel di Palestina memenuhi definisi kejahatan perang, bahkan genosida. Pendapat ini kini diterima luas, bahkan di kalangan elite Amerika.

Penambahan penting lainnya adalah keputusan Mahkamah Internasional pada awal 2025 yang menerima gugatan Afrika Selatan dan menempatkan Israel dalam status pengawasan khusus karena dugaan kejahatan genosida di Gaza. Fakta hukum ini semakin mempersempit ruang pembelaan moral dan diplomatik bagi Israel di mata dunia.

Peran China dan Rusia dalam Geopolitik Baru

Perubahan sikap AS juga tak bisa dilepaskan dari dinamika geopolitik global. Munculnya China sebagai penengah konflik Timur Tengah, serta kedekatan Rusia dengan Iran dan Suriah, telah menciptakan konfigurasi baru. Jika AS tetap kukuh mendukung Israel secara buta, ia bisa kehilangan posisi tawarnya di negara-negara Muslim dan Global South.

Dengan bergesernya peta kekuatan global, AS harus menyesuaikan kebijakannya agar tidak ditinggalkan dalam percaturan diplomasi dunia. Dukungan terhadap Palestina menjadi bagian dari strategi diplomasi lunak yang bisa merebut kembali simpati negara-negara berkembang, khususnya di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.

Retakan dalam Lobi Pro-Israel

AIPAC memang masih kuat, tapi tak lagi hegemonik. Munculnya kelompok-kelompok Yahudi progresif seperti J Street, IfNotNow, dan Jewish Voice for Peace telah mengguncang narasi tunggal “Israel sebagai korban.” Banyak anak muda Yahudi Amerika kini terang-terangan menolak zionisme dan menyatakan solidaritas terhadap Palestina.

Perubahan ini tak hanya menciptakan dilema moral di dalam komunitas Yahudi Amerika, tapi juga mengurangi pengaruh politik kelompok zionis tradisional. Bahkan, beberapa donatur besar Partai Demokrat kini memotong dukungan mereka sebagai bentuk protes terhadap genosida di Gaza.

Apakah Amerika Benar-benar Mendukung Palestina?

Meskipun terdapat gelombang dukungan publik dan retorika politik yang tampak lebih simpatik pada Palestina, perlu dicermati: apakah dukungan Amerika ini sungguh substantif atau hanya kosmetik?

Faktanya, bantuan militer terhadap Israel belum sepenuhnya dihentikan. Embargo senjata masih dalam wacana, bukan kebijakan. Veto di Dewan Keamanan PBB masih kerap dipakai AS untuk menahan resolusi yang mengecam Israel. Ini menunjukkan bahwa perubahan Amerika belum total. Masih ada tarik-menarik antara kepentingan politik, tekanan lobi, dan realitas moral.

Namun, perubahan opini publik adalah benih penting yang bisa menggeser kebijakan luar negeri dalam jangka menengah.

Palestina dalam Politik Identitas Global

Isu Palestina kini telah melampaui batas-batas geografis dan agama. Ia menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme, apartheid, rasisme, dan neoliberalisme global. Oleh karena itu, mendukung Palestina bukan semata soal politik Timur Tengah, tapi juga ekspresi solidaritas global terhadap ketidakadilan struktural.

Amerika—sebagai negara dengan sejarah perbudakan, rasisme sistemik, dan imperialisme—sedang menghadapi refleksi moral yang dalam. Dalam konteks ini, dukungan terhadap Palestina menjadi bagian dari proses penyembuhan sejarah dan pembentukan identitas baru sebagai bangsa yang menjunjung hak asasi dan keadilan.

Retakan yang Akan Menjadi Jurang?

Perubahan sikap Amerika terhadap Palestina dan Israel bukanlah peristiwa tunggal, melainkan proses sejarah yang kompleks. Ini adalah hasil dari desakan publik yang makin sadar, tekanan politik domestik yang terpolarisasi, perubahan global yang dinamis, serta bobroknya moralitas kebijakan luar negeri yang selama ini membiarkan penderitaan rakyat Palestina.

Apakah Amerika akan sepenuhnya membalikkan sikap dan menjadi pendukung sejati kemerdekaan Palestina? Ataukah ini hanya manuver sesaat demi elektabilitas dan citra internasional?

Yang pasti, dunia sedang menyaksikan babak baru dalam sejarah panjang perjuangan Palestina. Dan untuk pertama kalinya, narasi mereka mulai menang dalam medan opini global—termasuk di jantung kekuatan lama: Amerika Serikat.

*Pengarang novel, pemerhati sosial dan budaya, esais, dan cerpenis 

ikuti terus update berita rmoljatim di google news