BATALKAN Undang-Undang No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja khusus sektor kelautan perikanan dengan menyusun ulang Rancangan Undang-Undang Kelautan-Perikanan tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Perubahan tersebut sangat penting dilakukan karena Asta Cita dan arah utama kebijakan Presiden Prabowo Subianto bisa dilaksanakan dan dipermudah, untuk pencapaian visi tahun 2045 melalui transformasi ekonomi sektor kelautan perikanan.
Kalau masih ada UU No 11 tahun 2020 tersebut, maka agenda hilirisasi atau industrialisasi kelautan perikanan tidak akan bisa berjalan. Karena, banyak faktor penghalang, seperti pemanfaatan sumber daya manusia masyarakat pesisir yang tidak terkolaborasi, infrastruktur yang tidak terintegrasi, penyederhanaan regulasi yang membuat perizinan semakin mahal.
Transformasi ekonomi kelautan dan perikanan tahun 2024 yang dimaksud tergantung pada komunikasi dengan nelayan, penyederhanaan perizinan, pengembangan pelabuhan perikanan, pengaturan penangkapan ikan, perbaiki sistem kuota, distribusi kapal tangkap tidak merata, pengamanan ZEE - laut lepas, pola penegakan hukum, perlindungan nelayan dan peningkatan pendapatan nelayan.
Selain itu, lebih penting, ekonomi masyarakat pesisir tergantung juga pada perikanan budidaya. Namun, selama ini, tidak dioptimalkan sehingga penyerapan lapangan kerja dan penyediaan protein hewani untuk konsumsi masyarakat tidak juga berjalan baik. Upaya optimalkan, maka perlu, peningkatan infrastruktur, seperti mendorong petambak dengan fasilitas pendukung, meningkatkan hasil produksi dan pemberian bantuan obat-obatan gratis.
Selain itu, pengembangan teknologi, seperti teknologi pakan dan teknologi pengendalian penyakit supaya bisa efisiensi dan produktif. Kemudian, Peningkatan kapasitas sumber daya manusia di perikanan budidaya, seperti PPL harus di lapangan selama masa tabur hingga panen, pelatihan di tambak dan penyuluhan sehingga kemampuan dan pengetahuan petani ikan meningkat.
UU Cipta Kerja bukan membangkitkan sektor Indonesia, malah melemahkan. Kenaikan tarif 47 persen sangat berdampak. Semakin, penting kepala. Kondisi normal saja tidak utilitasnya apalagi tidak normal seperti saat ini.
Tentu sekarang penting memiliki strategi lain dalam semangat membangkitkan industri kelautan dan perikanan melalui pemenuhan kebutuhan bahan baku industri, peningkatan kualitas mutu produk dan nilai tambah investasi dan ekspor hasil perikanan.
Begitu juga, pada problem lain, pengelolaan wilayah laut, pesisir, pulau-pulau kecil serta penguatan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan yang diharapkan mampu memberikan dampak positif.
Namun, UU Cipta Kerja dinilai memiliki dampak negatif, seperti: Pertama, mencetak oligarki dan mendaur ulang regulasi. UU Cipta Kerja dinilai memperkuat posisi oligarki dalam menguasai sumber daya dan ekonomi.
Kedua, menyuapi kleptokrasi. UU Cipta Kerja juga dinilai perkuat praktik penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Ketiga, menjual pulau alasan investasi dan wisata.
UU Cipta Kerja dinilai membuka peluang bagi pejabat berkolaborasi dengan investor untuk menjual pulau-pulau di Indonesia dengan alasan kepentingan investasi dan wisata, yang dapat mengancam kedaulatan dan keberlanjutan lingkungan.
Hal itu terjadi, karena kekuasaan eksekutif dan legislatif tidak mampu melayangkan kritik tajam terhadap UU Cipta Kerja. Mereka pilih berkongsi sehingga berdampak pada kurangnya partisipasi masyarakat yang cukup, sehingga banyak tanah pesisir terjual, disertifikatkan, diambil dan diberikan izin yang tidak tepat, contoh kasus pagar laut. Tentu berdampak pada perusakan lingkungan dan kehilangan biodiversitas. Akibatnya, memperlebar ketimpangan ekonomi antara kelompok kaya dan miskin, serta antara daerah perkotaan dan pedesaan.
UU Cipta Kerja hasil konglomerasi oligarki itu, memiliki semangat menghancurkan industri perikanan nasional, supaya tidak berkembang. Sebaliknya, memobilisasi investasi asing dengan alasan meningkatkan kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir sehingga lahirlah penangkapan ikan terukur berbasis kuota. Padahal, mematikan aktivitas dan kegiatan penangkapan ikan nelayan kecil.
UU Cipta Kerja adalah biang kerok dari kegagalan ekonomi sektor kelautan perikanan, merusak ekosistem laut dan ancaman keragaman hayati laut, sala satu contoh regulasi ekspor pasir laut. Maka, harus dibatalkan UU Cipta Kerja ini, karena mencekik dan menindas masyarakat pesisir yang membatasi aktivitas masyarakat pesisir. Nelayan dan pembudidaya tidak memperoleh kesejahteraan yang lebih baik.
Apalagi, UU Cipta Kerja telah menghilangkan sanksi pidana yang digantikan dengan sanksi administratif para oligarki yang mengambil wilayah ruang laut, seperti kasus pagar laut. Hal ini telah menimbulkan penyelewengan dan eksploitasi karena sanksi administratif dianggap lebih lunak.
Ditambah, tidak menjamin kesejahteraan nelayan, pengawasan tidak ketat, penegakan hukum yang lunak dan tidak efektif, contoh penangkapan kapal IUUF, lalu di lepas kembali, karena kalau ditahan, khawatir investasi berkurang.
Padahal, masyarakat pesisir berharap pengelolaan sumber daya laut harus dilakukan secara berkelanjutan untuk menjaga ekosistem laut dan potensi tangkapan ikan di masa depan. Apalagi, UU Cipta Kerja tak ada perlindungan terhadap nelayan dan benar-benar eksploitatif.
Presiden Prabowo Subianto ingin Asta Cita-nya terlaksana. Masyarakat miskin ekstrem di pesisir itu 7,9 juta. UU Cipta Kerja di sektor Kelautan-Perikanan tidak menuntaskan kemiskinan, tidak juga menyerap tenaga kerja. Industri perikanan saja sekarang pelan-pelan modar. Nah, itu anda semua di Komisi IV DPR pikirkan itu. Jalan solusi apa yang harus ditempuh pemerintah dan negara. Sebab menterinya saja mandek gagasannya.
*Penulis adalah Ketua Asosiasi Nelayan Lobster Indonesia (ANLI)
ikuti terus update berita rmoljatim di google news