Godo Gitik


BAGONG turun dari Suralaya. Turunnya secepat kilat. Seperti papan luncur. Dan tahu-tahu Bagong sudah tiba di Karang Kadembel.

Semula Bagong hendak menemui Semar. Ingin bicara berdua. Empat mata. Soal goro-goro yang baru saja terjadi di kahyangan antara dia dan Betara Guru. Tapi rupanya Semar sudah kedatangan tamu agung. Ksatria Pendawa. Prabu Janaka.

"Sembah sujud, Raden" jawab Bagong mengapuracang.

"Yo Bagong, kowe teko endi?" Tanya Prabu Janaka.

"Saya dari jalan-jalan di kahyangan, Raden!"

"Lho, ada apa di kahyangan?"

"Baru saja ndingkik (ngintip) bidadari renang," canda Bagong seperti biasa.

Suasana sedikit mencekam. Prabu Janaka tampak serius. Dia tidak mau diajak Bagong bercanda.

"Eh, Ndroro. Sepertinya ada yang mau disampaikan," Semar menimpali.

"Iya, Kakang Semar."

"Yo ada apa Cah Bagus, ayo matur!" Seru Semar.

"Sebelumnya saya minta maaf jika kedatangan ke Karang Kadembel ini mengganggu Kakang Semar. Tapi ada sesuatu yang menganggu pikiran saya," sahut Prabu Janaka.

Kacap carita, Prabu Janaka bercerita mundur ke belakang.

Di taman Hastina saat ini tengah terjadi huru hara. Ada salah satu Punakawan yang masuk ke taman dan menggoda Ratu Banowati.

Mereka bermesra-mesraan.

Prabu Baladewa yang sedang bertamu langsung naik darah mendengar kabar intelijen dari Kurawa itu.

Bersama Panembahan Durna, Patih Sengkuni, Duryudana dan Jayadatra, Baladewa segera mengepung taman untuk menangkap bajingan bernama Bagong.

Pertempuran tidak bisa terelakkan. Kadigdayaan Bagong tidak bisa diimbangi oleh mereka. Bahkan saat bertarung, Bagong bisa berubah wujud menjadi Baladewa, Durna, Duryudana, Sengkuni dan Jayadatra.

Kesaktian Bagong tidak tertandingi. Satu persatu dari mereka berusaha menangkap, tapi gagal. Semua dikalahkan.

Baladewa lantas mengajak Durna melaporkan ke Arjuna alias Janaka, majikan Bagong, untuk memberi pelajaran pada ajudan yang dianggap melanggar kode etik Punakawan ini.

"Kira-kira begitu ceritanya Kakang Semar. Saya tidak terima kalau Bagong menganggu Kakang Mbok Banowati," kata Prabu Janaka.

"Eh, ladalah, kalau begitu kahanane, aku isin (malu) punya anak seperti Bagong. Punya anak yang tidak punya tata krama. Tidak punya etika. Cabul," tutur Semar.

Bagong yang menjadi tertuduh langsung maju ke depan.

"Raden tadi bilang apa? Coba diulangi," kata Bagong.

"Kamu telah membuat malu Ngamarta, Bagong. Berani menggoda Kakang Mbok Banowati di taman Hastina. Bermesra-mesraan di taman seperti suami istri," sahut Prabu Janaka.

"Raden jangan asal tuduh. Saya baru turun dari Suralaya. Bagaimana mungkin saya menggoda Ratu Banowati. Saya meski batur (pembantu), tapi saya masih punya harga diri. Meski saya wong kere, wong gedibal, wong tidak punya tata krama, tapi saya masih punya martabat. Tidak seperti para dewa yang duduk di kahyangan dan hanya melihat junjungannya ditimpa musibah. Tidak seperti ratu-ratu yang duduk di singgahsana yang selalu menindas rakyatnya. Raden Janaka jangan asal menuduh sebelum ada bukti," tegas Bagong.

"Rakyat ini sudah susah, Raden. Sampeyan sebagai ksatria di Ngamarta seharusnya paham bagaimana dengan kondisi saat ini. Jangan seperti Prabu Welgeduwelbeh yang tidak punya tata krama menjadi pemimpin. Katanya pemimpin yang merakyat, katanya paham jerit kesusahan rakyat, tapi rakyat malah ditindas oleh cecunguk-cecunguknya," tambah Bagong.

"Aku tidak ada urusan dengan Welgeduwelbeh. Aku tidak asal menuduh Bagong. Kamu salah. Kamu keliru. Kamu memang sedang bermesraan dengan Banowati. Kamu telah menginjak-nginjak harga diri Ndoromu," balas Janaka mulai emosi.

"Jadi Raden tidak terima. Raden hanya mendengar dari orang lain tanpa membuktikan dulu kebenarannya. Sampeyan itu pemimpin yang congkak. Tak ubahnya Welgeduwelbeh. Tidak mau menerima masukan. Maunya menang sendiri. Yang namanya orang berbuat salah perlu diusut dulu. Perlu dibuktikan kesalahannya. Jangan hukum dibuat seenaknya sendiri."

"Yang dekat dengan pemimpin meski berbuat salah malah dilindungi, diberi keringanan hukuman (grasi), padahal dia jelas-jelas terbukti bersalah. Terbukti korupsi. Menjadi penjahat rakyat. Kalau sampeyan seperti itu, sampeyan sama saja dengan pemimpin gedibal," Bagong juga emosi.

"Aku tidak mau debat dengan kamu, Bagong. Sekarang kamu mau saya boyong ke istana. Mau tak masukkan penjara," balas Janaka.

"Kalau saya tidak mau?"

"Tak bunuh di sini, kowe!"

Seketika itu Bagong kabur meninggalkan Karang Kadembel. Begitu juga dengan Janaka.

Semar dan Gareng tampak berkaca-kaca. Tidak habis pikir dengan masalah yang diperbuat anaknya.

Bagong lari dengan gerakan kilat. Tidak mungkin terkejar lagi oleh Janaka. Sampailah ia di depan samudera. Hatinya terluka, tersayat-sayat. Tidak habis pikir dengan tuannya yang tega mau membunuhnya.

"Aku lebih baik terjun ke samudera untuk pati (mati). Aku tidak salah tapi dituduh salah. Hik"¦hik"¦hik"¦"

Namun melihat ombak di samudera yang menggulung-gulung, Bagong menjadi keder.

"Lho ombaknya kok besar. Gimana kalau aku ga bisa berenang. Apalagi kalau nanti ada hiu yang mau menyantap perutku. Modar (mati) aku. Terus kalau ada piranha makan kepalaku, masa Bagong kepalanya nggak ada. Kan nggak lucu lagi," serunya.

"Yo wis, kadung sakit hati. Nggak bisa diobati. Bagong harus menemui pati," Bagong lantas menceburkan diri ke samudera.

Ombak yang menggulung-gulung langsung menyambar Bagong dan menenggelamkannya hingga jauh ke dasar samudera.

Keadaan samudera berubah menjadi panas. Saat itu Dewa Baruna yang sedang bersandar di istananya merasakan aura panas.

"Eh ladalah, ulun kok merasakan hawa panas. Oh ternyata ada manusia yang mau mati. Eh ternyata bukan orang sembarangan. Itu Bagong, anaknya Kakang Ismaya."

Secepat kilat Betara Baruna yang bentuknya menyerupai ular menyambar Bagong yang terombang-ambing di lautan. Lantas dibawa ke istana.

Setelah sadar, Bagong celingak celinguk.

"Aku kok bisa bernafas di air. Apa aku sudah jadi ikan?"

"Kowe ta kasih kesaktianku bernafas di air, Bagong!"

"Nyuwun sewu, sampeyan siapa?"

"Aku Betara Baruna."

"Lho kok koyok nama bus Baruna," sahut Bagong.

"Dengkulmu mlocot. Aku dewa samudera."

"Oh dewa. Sembah sujud pukulun."

"Yo tak terima sujudmu. Sajake ono masalah opo Bagong, kok sampai kamu terjun ke samudera."

"Kita (sebutan manusia untuk kata ganti saya) dituduh penguasa berbuat salah, pukulun. Padahal kita nggak salah. Sakit hati ini, pukulun. Masa kita dituduh menggoda Ratu Banowati."

"Yo wis balik lagi ke daratan."

"Yo emoh, pukulun. Lha wong kita mau dibunuh penguasa."

"Ulun (sebutan dewa untuk kata ganti saya) kasih kesaktian untuk melawan, mau ndak!"

"Ulun mau, eh kita mau, ulun," jawab Bagong.

"Yo wis, wujud Bagong tak ubah jadi wujud Begawan."

"Begawan sing ganteng ya, pukulun. Masa Bagong sudah jelek mau diubah jelek. Yo ora sudi," kata Bagong cengengesan.

Tak lama wujud Bagong berubah menjadi begawan. Dia dibekali jimat batu untuk melawan Bagong palsu.

"Wis Bagong. Sekarang kamu sudah berubah menjadi begawan. Namamu Godo Gitik," kata Betara Baruna.

"Waduh namanya kok Godo Gitik, pukulun. Mbok ya sing apik kasih nama. Arjuna, gitu loh!"

"Ojo kakean cocot. Wis ndang mangkat!"

"Mati lagi, pukulun."

"Cocotmu, Gong. Mangkat itu berangkat."

"Eh iya, pukulun. Terus caranya gimana ke daratan?" Tanya Bagong.

"Naik ke ekorku, Gong. Terus ta lempar," sahut Betara Baruna.

Bagong pun naik ke ekor Betara Baruna. Seketika itu ekornya dikibar-kibaskan dan Bagong pun dilempar setinggi-tingginya hingga mencapai daratan.

Bagong dengan bersungut-sungut kemudian berjalan menuju Hastina. Tapi di tengah perjalanan Bagong bertemu Prabu Ndrawati dan Prabu Janaka.

Terjadilah dialog di antara mereka.

"Tunggu begawan. Sampeyan mau kemana?" Tanya Prabu Kresna.

"Mau cari udut (rokok). Sekarang cukai rokok naik. Susah cari rokok. Gara-gara cecunguk Welgeduwelbeh, harga rokok dinaikkan. Tarif kesehatan naik. Para ratu mbidek (diam) semua saat kebijakan diorat-arit sama cecunguk Welgeduwelbeh," sahut sang begawan.

"Eh ladalah. Kosek, aku mau tanya. Sampeyan namanya begawan siapa?"

"Aku Begawan Godo Gitik dari samudera hindia," jawab Bagong sekenanya.

"Oh, Godo Gitik," Prabu Kresna menyahuti sembari menyeringai.

"Eh Kres, lucu po namaku, kok mesam-mesem."

"Hei, ini ratu lho. Yang sopan kalau bicara."

"Mau ratu mau nggak, terserah aku toh!"

"Lha iya kok ada pandhita lucu model begini. Kalau ta sawang-sawang, gaya bicaranya aku kenal. Prejengane itu loh mirip Bagong. Tapi nanti saja, sekarang aku mau minta tolong ke Begawan Godo Gitik. Aku punya musuh. Namanya Bagong. Berani nggak Begawan Godo Gitik bunuh Bagong."

"Apa! Bagong! Mau diapakan Bagong?"

"Dibunuh. Bagong sekarang sedang membuat onar di taman Hastina."

"Wani piro?"

"Walah malah minta bayaran. Yo wis kalau kamu bisa bunuh Bagong, apapun permintaanmu kuturuti."

"Budal."

Tanpa tedeng aling-aling, Bagong pun berangkat ke taman Hastina. Di sana dia bertemu dengan Bagong palsu. Sebelum bertempur, antara Begawan Godo Gitik dan Bagong terjadi komunikasi. Gaya bicara keduanya sama.

"Oh, jadi ini Bagong yang telah membuat berita hoax. Bikin isu tidak benar. Bikin goro-goro. Membuat kerajaan Hastina dan Ngamarta saling tuduh menuduh. Tidak kusangka dapuranmu memang mirip Bagong."

"Hei, kowe siapa?"

"Aku Godo Gitik."

"Siapa yang mau kamu gitik?" balas Bagong palsu.

"Cocotmu kok sama dengan Bagong."

"Kowe wong kere mau apa ke sini?"

"Kere matamu. Wis ayo perang. Siapa yang paling sakti di antara kita," tantang Begawan Godo Gitik.

Pertempuran pun tidak terelakkan. Bagong palsu melancarkan serangan. Pun Begawan Godo Gitik. Keduanya sama-sama sakti. Tidak ada yang kalah. Tidak ada yang menang. Di tengah pertempuran, wujud Begawan Godo Gitik kembali berubah menjadi Bagong.

Bagong kembar.

Keduanya kembali gelut. Beradu kesaktian. Saling lempar serangan. Saling lempar jurus. Sekali lagi, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Hingga akhirnya Semar pun datang melerai.

"Ehh, kok Bagong jadi kembar. Mana yang anakku," kata Semar melerai Bagong kembar yang sedang ngos-ngosan berkelahi.

"Aku Bagong asli."

"Aku yang asli."

Kedua-duanya sama-sama mengklaim asli.

Semar pun tidak kehilangan cara. Untuk membuktikan Bagong yang asli, Semar meminta Bagong untuk masuk ke dalam bayangannya.

"Yang Bagong asli tercipta dari ayang-ayanganku (bayanganku). Kalau memang Bagong asli, berarti dia bisa masuk ke dalam bayanganku. Ayo Bagong masuk ke dalam," perintah Semar.

Bagong asli pun masuk ke dalam bayangan Semar. Giliran Bagong palsu, dia kesulitan untuk masuk. Berkali-kali dicoba gagal terus. Karena gagal masuk ke dalam bayangan Semar, akhirnya terbongkarlah rahasia Bagong palsu.

Bagong palsu kemudian berubah wujud menjadi senjata-senjata Ngamarta yang hilang, salah satunya senjata andalan Arjuna. Wajar, saat senjata berubah wujud menjadi Bagong, Ratu Banowati kesensem dengan sosok Bagong yang dianggapnya seperti Arjuna.

Prabu Kresna datang diiiringi Prabu Janaka. Bagong asli keluar dari bayang-bayang Semar. Kepada Janaka, Semar meminta agar senjata Arjuna diambil kembali. Selain itu, Janaka juga meminta maaf kepada Bagong karena telah salah menuduh.

"Bagong, aku minta maaf," ucap Prabu Janaka.

"Ora sudi menerima maafmu. Aku wis kadung kecemplung samudera. Maafmu tidak bisa kuterima," balas Bagong.

"Kalau begitu Bagong, aku minta maaf dengan uang 1,5 juta," Prabu Janaka mengiming-imingi Bagong.

"Lha kalau dengan ini kuterima maafmu,"tutup Bagong.

Noviyanto Aji

Wartawan