Melawan Welgeduwelbeh

BAGONG NJAMBAL (14)


Bersama Gareng, dia berjalan menuju Lojitengara. Namun di tengah perjalanan, Bagong kembali dihinggapi keraguan.

Bertanyalah Bagong pada saudaranya, “Reng, gimana cara membunuh Welgeduwelbeh?”

“Yo nggak tahu, Gong. Kamu kan yang diperintahkan Ndoro Basudewa. Kalau aku manut aja,” jawab Gareng.

“Oh matamu ta culek. Ya tidak begitu, Reng. Ini kan tugas kita. Terus bagaimana, Welgeduwelbeh kan sakti. Kamu punya ilmu apa melawan dia,” sahut Bagong.

“Eh iya ya, tadi mending pinjam senjata cakra Prabu Dwarawati.”

“Sudah basi, Reng. Kita sekarang sendiri. Cuma yang tak pikir, gimana kita mendekati Welgeduwelbeh. Dia kan punya bodyguard,” ujar Bagong.

“Bodyguard itu makanan apa Gong?” Tanya Gareng.

“Oh cangkume ta suwek-suwek. Tahunya makanan tok. Kamu ini katrok banget sih. Bodyguard itu orang yang jaga raja.”

“Oh, senopati.”

“Ya pokoknya itu. Pengawal Welgeduwelbeh banyak. Kita harus melalui cecunguk Welgeduwelbeh yang amit-amit polahnya. Ngisin-ngisini,” sebut Bagong.

Di tengah kegamangan dua Punakawan, muncul sosok tidak asing.

Satunya turun dari langit. Terbang secepat angin. Di dadanya terdapat gambar bintang. Mendapat julukan otot kawat balung wesi. Namanya Gatotkaca.

Lalu muncul dari perut bumi. Tubuhnya bersisik mirip ular. Punya upas alias air liurnya berbisa seperti ular. Namanya Antareja.

Yang tidak asing lainnya, dua lancur Pendawa ndugal kewarisan, Antasena dan Wisanggeni. Turut berjalan di belakang keduanya Abimanyu.

Mereka datang di hadapan Bagong dan Gareng. Dari tampang-tampangnya, anak-anak Pendawa itu bersiap turun ke medan laga.

“Sembah saya, Raden. Ada apa kok semua ngumpul di sini?” Bagong bertanya.

“Bagong…Gareng…” Antasena membuka percakapan, “Saat ini anak-anak Yodipati dan Madukara berkumpul di depanmu karena mendapat tugas mengawal kamu,” kata Antasena.

“Mengawal kemana, Raden?” Tanya Gareng.

“Melawan Welgeduwelbeh,” jawab Antasena.

“Bener begitu, Raden tidak bohong,” Gareng memastikan.

“Tidak bohong, Gareng. Kita ditugasi Siwo Dwarawati mengawal kalian perang.”

“Wah, gayeng ini Gong. Kita sudah punya bodyguard. Nggak perlu perang lagi. Cukup istirahat saja.”

“Iya, Reng. Prabu Dwarawati baik sekali. Kita dikasih bodyguard.”

Belum selesai Punakawan Bagong dan Gareng merayakan kebahagiaanya, tiba-tiba Antasena memotong, “Aku dan anak-anak Pendawa akan melawan prajurit-prajurit Welgeduwelbeh. Kalian berdua yang melawan Welgeduwelbeh!”

“Lha kok begitu, Raden. Kok malah kita melawan raja. Harusnya sampeyan yang punya ilmu kanuragan dan kesaktian melawan Welgeduwelbeh. Kita musuhnya prajurit. Masa abdi dalem lawan raja. Piye toh iki!” Bagong geleng-geleng.

“Ini pesan Siwo Dwarawati, Gong. Kalau kita melawan Welgeduwelbeh pasti kalah. Lha Welgeduwelbeh sakti.”

“Lha sampeyan semua kan sakti?” Gareng menyahuti.

“Meski kita keroyok Welgeduwelbeh, kita tetap kalah. Dewa saja sama Welgeduwelbeh nggak berani,” timpal Wisanggeni.

“Lha sudah tahu begitu kok malah kita yang disuruh maju. Oh pancen Prabu Dwarawati ratu geblek,” maki Bagong.

“Husst Bagong, nggak boleh bilang jelek sama Prabu Dwarawati!” Seru Antasena.

“Ya biar saja. Orangnya nggak di sini kok.”

“Begini ya Gong, kalau kalian maju melawan Welgeduwelbeh, sesakti-saktinya Welgeduwelbeh tidak akan berani memukul kamu,” balas Wisanggeni.

“Ah, yang bener. Masa ada orang perang tidak bales.” Bagong keheranan.

“Wis percaya sama kita. Sebab kalian itu dikasih kanugrahan sama dewa. Kalian tidak mempan dipukul. Kalau Welgeduwelbeh berani pukul, kepala-kepala kita taruhannya,” jawab Antasena yang diamini anak-anak Pendawa lainnya.

“Ah, tidak percaya. Buat apa jaminannya kepala. Tidak bisa dijual. Males!” 

“Ya wis Bagong. Kalau sampai Welgeduwelbeh memukul kalian, jaminannya rumah dan sawah.”

“Lha, kalau begini gayeng. Yo wis ayo berangkat.”

Bagong dan Gareng pun mantap melangkahkan kaki menuju kerajaan Lojitengara diikuti anak-anak Pendawa.

Sesampai di kerajaan Lojitengara, mereka disambut puluhan prajurit kerajaan siap berperang. Para prajurit mengangkat senjata. Dari mulai tumenggung, senopati hingga patih kerajaan turun ke medan laga.

Namun hal ini tidak membuat Punakawan keder. Bahkan Bagong memerintahkan para lancur Pendawa untuk maju menghabisi mereka.

“Anak-anak Pendawa, musuh di depan. Ayo habisi mereka,” perintah Bagong.

Kocap kacarita, anak-anak Pendawa langsung turun ke medan perang. Semua prajurit Welgeduwelbeh dibuat kocar kacir.

Meski berjumlah puluhan, dan anak Pendawa hanya lima orang, tapi kekuatan mereka mampu mengobrak-abrik Lojitengara.

Yang tersisa justru Welgeduwelbeh. Dari kejauhan Welgeduwelbeh berteriak-teriak mengajak anak-anak Pendawa duel.

“Kalau kalian memang anak Pendawa, ayo keroyok aku. Keluarkan kesaktian kalian. Keluarkan semua senjata kadewatan kalian,” tantang Welgeduwelbeh.

Mendengar tantangan tersebut, anak-anak Pendawa memilih mundur. Mereka sangat paham dengan kesaktian Welgeduwelbeh. Meski dikeroyok lima orang, Welgeduwelbeh tidak akan bisa dikalahkan.

Giliran Bagong dan Gareng maju. Di depan Welgeduwelbeh, Bagong menantang.

“Halo Welgeduwelbeh, kita ketemu lagi. Ayo maju lawan kami.”

“Eh derajatnya cuma batur, kaceplik, gedibal, kere, berani melawan ratu,” sahut Welgeduwelbeh.

“Jangan lihat status kita. Meski kami cuma batur, tidak takut melawan ratu kentir kayak kamu. Pendawa boleh saja mundur. Sekarang ini yang melawan adalah rakyat kecil,” tegas Bagong.

“Eh ladalah, berani melawan aku, tak potong lehermu. Tak remuk ndasmu!” Ancam Welgeduwelbeh.

“Ndasmu dewe, dasar raja goblok, tidak tahu aturan, tidak tahu tatanan,” teriak Bagong yang tidak mau kalah.

“Kamu itu raja yang sudah membuat susah rakyat. Seantero negeri sudah tahu tindak tandukmu. Rakyat tahu kebobrokanmu memimpin negeri. Sudah cukup dua kali saja kamu duduk di kerajaan. Hancur semua gara-gara kamu,” tandas Bagong.

“Kami sudah tahu caramu memimpin negara. Kamu menjadi ratu angkara murka. Wataknya candala. Budinya nista. Jika diteruskan negara ini pasti hancur kamu buat semaunya sendiri. Kamu dan cecunguk-cecungukmu tidak tahu cara mengelola negara yang benar,” giliran Gareng yang emosi.

“Terus maumu apa?” Tanya Welgeduwelbeh.

“Mau menghentikan keangkaramurkaanmu. Jika kamu dibiarkan terus memimpin, rakyat akan terus-terusan menjadi korban. Saat ini rakyat susah mendapatkan pekerjaan. Tapi rakyat terus dibebani pajak. Setelah pajak-pajak itu kumpul, uangnya kalian korupsi. Lihat saja berapa banyak kerugian akibat ulahmu dan cecunguk-cecungukmu yang tidak mengelola negara,” urai Bagong.

“Mulai pendidikan hingga kesehatan selalu dikenakan pajak. Tapi rakyat tidak mendapatkan pelayanan yang baik. Sumber-sumber kekayaan negara kau biarkan dikeruk asing dan aseng. Rakyat kau usir dari tanahnya. Rakyat tidak bisa lagi menggarap lahan. Tapi saat lahan digarap, kau malah menerapkan kebijakan impor. Ekonomi negara makin hancur,” tambah Bagong.

“Sebagai ratu yang goblok, kamu tahunya hanya uang, uang, dan uang. Tidak mau tahu susahnya rakyat bekerja banting tulang. Kau hanya mengharapkan investasi dari kerajaan asing dan aseng. Kalau kamu raja yang cerdas, seharusnya sumber daya manusia dalam negeri kau tingkatkan. Bukan malah berharap pada asing dan aseng. Sekarang pun utangmu sudah menumpuk. Terus siapa yang akan bayar utangmu nanti, hei ratu koplak?” Damprat Bagong.

“Yang bayar utang ya negara!”

“Oh asuuu. Wis Gong, nggak usah kebanyakan guneman tanpa guna. Nggak usah digagas lagi. Sikat langsung,” umpat Gareng.

“Sebentar, Reng. Tak beber semua uneg-unegku. Ini belum selesai. Hei ratu pethok, seenaknya kamu bilang utang dibayar negara. Rakyat lagi yang menderita. Kamu dan cecunguk-cecungukmu itu sebenarnya bisa mikir atau tidak. Kasihan rakyat kalau disuruh bayar utang. Sementara sekarang kau diam saja saat negara terancam pagebluk,” seru Bagong.

“Lho pagebluk apa?”

“Oh dasar matamu picek. Semua negara sudah kena pagebluk, kamu malah santai. Di otakmu itu isinya apa. Kok bisa tidak tahu ada pagebluk di negeri sendiri. Rakyat sekarang sedang panik. Banyak yang jadi korban. Banyak rakyat mati terkena pagebluk. Eh la dalah, kamu malah tidak tahu. Sudah banyak pandito, ksastria hingga nalendra yang menyarankan untuk melawan pagebluk. Tapi dasar otakmu hanya duit dan duit. Mata batinmu sudah ditutupi oleh duniawi,” Bagong makin murka.

“Sekarang jangan menyesal jika para dewa menurunkan pagebluk. Tanda-tanda pagebluk itu turun di negara yang ratunya jelek, cecunguknya jelek, kawulanya saling perang satu sama lain. Tidak pernah ingat kepada yang bikin jagat,” tegas Bagong.  

“Sejak jadi ratu, aku sudah melakukan revolusi mental, Bagong. Ojo nesu sama aku. Aku sudah melakukan banyak perubahan pada rakyat,” sahut Welgeduwelbeh yang mulai keder melihat kengototan Bagong dan Gareng.

“Revolusi mental dengkulmu melocot. Buktinya rakyat semakin menderita. Kalau jadi ratu jangan gampang menginjak-injak kawula, jangan gampang menyelepekan kawula. Jika sampai rakyat ngamuk, singgahsanamu bisa digoyang lengser keprabon. Jadilah ratu yang wasis, momong kawulo ke jalan yang baik. Jangan merasa jadi ratu derajatnya lebih tinggi dari kawula. Sekarang melawan pagebluk saja kocar kacir. Ratu model apa itu,” sergah Bagong.

“Ya wis Gong. Dipancal saja gundule Welgeduwelbeh,” kata Gareng yang sudah tidak sabar.

Emosi dua Punakawan makin tak terbendung. Prabu Welgeduwelbeh mundur sejengkal. Tampaknya dia mulai gemeteran. Tidak ingin kedoknya diketahui Bagong dan Gareng.

Maklum, meski Welgeduwelbeh sakti, tapi tak akan tega memukul Bagong dan Gareng yang notabene saudaranya sendiri.

Di wujudnya sekarang ini, Welgeduwelbeh adalah seorang ratu Lojitengara. Tapi wujud aslinya adalah Petruk Kantong Bolong yang berhasil mencuri Jamus (Jimat) Kalimasada milik para Pendawa.

Tanpa babibu lagi, Bagong dan Gareng langsung mengeroyok Welgeduwelbeh. Dihajarnya Welgeduwelbeh bertubi-tubi. Matanya diculek. Mulutnya dijotosi. Rambutnya dijambak. Tapi Welgeduwelbeh tidak membalas sama sekali.

Welgeduwelbeh paham, jika sampai memukul dengan kesaktiannya, kedua saudaranya itu pasti akan mati. Maka, satu-satunya jalan Welgeduwelbeh menghindari pertempuran. Bagong dan Gareng dihempaskan. Kemudian kabur.        

Noviyanto Aji

Wartawan RMOLJatim