Fenomena Borong Parpol Ujung-ujungnya Balas Jasa dan Balik Modal

Fenomena pasangan calon tunggal di perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 di 270 daerah pemilihan, bukan hal baru.  


Menurut eks Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Soni Sumarsono fenomena calon borong partai muncul saat dirinya masih menjabat di pemerintahan.

"Muncul di Makassar satu calon melawan kotak kosong. Dan (kotak kosong) menang. Pertanyaannya apakah ini demokrasi?" ucap Soni dalam sebuah diskusi bertajuk "Oligarki Partai dan Pengaruhnya di Sistem Pemerintahan" di Kantor Nagara Institute, Jalan Dukuh Patra III No. 57, Kuningan Barat, Jakarta Selatan, Selasa (28/1).

Soni mengatakan, fenomena calon tunggal ini seiring dengan munculnya oligarki politik di daerah. Sebab, dia berpandangan bahwa partai politik belum memiliki pola rekrutmen calon pemimpin daerah yang mumpuni.

Sehingga, hal itu turut membuat banyak partai politik (parpol) enggan mengeluarkan kandidatnya, dan justru merapat ke calon kuat di suatu daerah. Alhasil, potensi praktik borong parpol pun tak terelakkan.

"Hampir semua daerah borong parpol, dan mau tidak mau mereka menang. Fenomeana borong parpol itu bagian dari penyakit yang menimbulkan oligarki lokal yang memang harus kita atasi dalam sistem politik ke depan," ucap Soni dilansir Kantor Berita Politik RMOL.

Lebih lanjut, Soni berpandangan praktik ini bakal memunculkan sistem tata kelola pemerintahan yang sarat akan tindak tanduk koruptif dari calon yang terpilih.

Dia mengkategorikan dua sistem politik dari hasil pilkada yang melakukan borong partai. Pertama, politik balas jasa atau balas dendam.

"Kalau menang ya sudah dibabat semua lawan politik termasuk birokrasi, termasuk eselon, diganti yang baru walaupun enggak cocok dengan kompetensinya. Lalu balas jasa. Itu jadi satu," tutur Soni.

Kedua, disebutkan mantan Plt Gubernur DKI Jakarta ini, adalah politik balik modal.

"Ini yang sangat terasa sekali. Sehingga kalau ada bupati ketangkep saya enggak kaget. Karena untuk ongkos saja, penelitian kami di Kemendagri yang lalu, rata-rata untuk pilkada gubernur kurang dari Rp 60 miliar," ungkap Soni.

"Pertanyaannya, gaji Rp 8,5 juta kali 12 bulan, kalau dihitung juga enggak nyampe sepersepuluh dari pengeluaran yang dikeluarkan," sambungnya.

Untuk itu, pemerintah dan DPR disarankan agar segera merevisi sejumlah Undang-Undang (UU) yang terkait dengan Pilkada dan Partai Politik.

"2020 karena sudah di depan mata agak telat. tapi 2020 harus ada revisi UU Pilkada," pungkas Soni.