Refleksi Akhir Tahun, DPR Dinilai Makin Jauh dari Rakyat

Peneliti Formappi Lucius Karus/Net
Peneliti Formappi Lucius Karus/Net

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) sebagai bagian dari publik yang secara khusus mengontrol kinerja DPR menilai lembaga itu semakin jauh dari rakyat, hal ini berdasarkan refleksi akhir tahun yang dilakukan oleh Formappi.


"Catatan Formappi sepanjang tahun 2021 menunjukkan bahwa kinerja DPR tak cukup memuaskan,” kata peneliti Formappi Lucius Karus diberitakan Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (28/12).

Dalam beberapa hal, menurut catatan Formappi, DPR dengan keanggotaan fraksi-fraksi koalisi yang dominan, proses penyusunan, pembahasan hingga pengesahan kebijakan di parlemen memang menjadi sangat efektif.

Belum satu pun kebijakan negara yang diputuskan DPR berlangsung alot, penuh perdebatan sengit hingga deadlock. Bahkan proses pembahasan sejumlah kebijakan seperti RUU, RAPBN maupun pertanggungjawaban APBN tidak berlangsung lama dan menegangkan.

Hampir semua bisa dibahas secara singkat dan tanpa perdebatan seru hingga waktu pengesahan. Tentu saja ketika kebijakan yang dihasilkan menguntungkan warga, maka proses yang efektif tersebut patut diapresiasi.

Dan sesungguhnya cita-cita pemilu serentak Presiden dan DPR memang dimaksudkan agar proses pembahasan dan penetapan kebijakan di DPR bisa efektif.

“Akan tetapi proses yang efektif sebagaimana tercermin dari gampangnya kebijakan dibahas dan diputuskan DPR lebih memperlihatkan wajah DPR yang tak berdaya, tumpul, tak punya sikap kritis dan tegas serta “manut” pada pemerintah. Cepatnya proses pembahasan dan mudahnya DPR menyetujui sebuah kebijakan tak selalu karena kebijakan tersebut sudah dipertimbangkan secara matang serta mempertimbangkan kepentingan publik. Proses yang cepat itu lebih cenderung karena Pemerintah “mengendalikan” DPR. Kendali Pemerintah itu dilakukan melalui parpol-parpol koalisi yang selanjutnya menjadi acuan fraksi-fraksi di parlemen,” beber Lucius.

Oleh karena itu, menurut Lucius, ketika DPR cenderung menjadi sekadar “stempel” pemerintah, maka kualitas kebijakan seperti RUU yang dihasilkan menjadi terabaikan. Lalu kemunculan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU 11/2020 tentang Cipta Kerja mengkonfirmasi kelemahan DPR dalam menghasilkan UU yang berkualitas.

“Walaupun UU Cipta Kerja merupakan hasil kerja DPR tahun 2020 lalu, tetapi kemunculan putusan MK pada tahun 2021 ini menjadi catatan penting untuk menilai kualitas kinerja legislasi DPR. Pola kerja DPR dalam pembahasan hampir semua RUU selama tahun 2021 juga hampir sama dengan proses pembahasan UU Cipta Kerja yakni kecenderungan untuk membahas terburu-buru sembari menghindari partisipasi publik demi memuluskan pengaturan yang memihak kepada kelompok elit,” pungkas Lucius.