Gawat, Ekstremis India Bakal Hadir di R20 Bali

Peneliti pada Centre for Citizenship and Statecraft Studies (CCSS), Roadiansyah/Ist
Peneliti pada Centre for Citizenship and Statecraft Studies (CCSS), Roadiansyah/Ist

PADA 2-3 November 2022 akan digelar forum 'Religion of Twenty' (R20) di Hotel Nusa Dua, Bali. R20 digelar dua pekan sebelum acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20, 15-16 November 2022, di Bali yang membicarakan persoalan-persoalan global dewasa ini. Dalam berbagai liputan media disebut, tujuan digelarnya R20 adalah menjadikan agama sebagai solusi global, bukan masalah global. Diharapkan, dari pertemuan selama dua hari para tokoh agama yang diundang, akan dihasilkan berbagai rumusan solusi berbasis agama untuk perdamaian dan keharmonisan kehidupan umat beragama.   

Diantara undangan yang akan menjadi pembicara adalah Ram Madhav, anggota komite sentral Rashtriya Swayamsevak Sangh (Organisasi Relawan Nasional) alias RSS. Disebut dalam pemberitaan The Print, 26 Agustus silam, acara R20 Bali didukung Kementerian Agama (Kemenag) RI. Masih dalam berita yang sama, Ram menyatakan ingin mengikis radikalisme, terorisme, perang dan kekerasan. 

Ram Madhav politisi partai Bharatiya Janata (BJP), sekaligus fungsionaris RSS. Dalam wawancara dengan The Print, 8 Juni 2022, Ram Madhav secara tegas mendesak muslim India maupun di seluruh dunia, agar meninggalkan konsep ummat, kafir dan jihad.

Baginya, tiga konsep ini menghalangi muslim untuk menjadi warganegara dimana muslim tersebut berada. Pernyataan langsung Ram Madhav ini tentu saja sangat menyinggung perasaan muslim, namun Ram yang juga sohib karib Perdana Menteri India, Narendra Modi, tak peduli.

Sebagai politisi, Ram konsisten menyuarakan pikiran ultra-nasionalis anti-muslim. Ia sangat berkepentingan dengan gagasan 'Islam Moderat ala Indonesia'. Melalui jejaringnya di Indonesia, ia sudah berkomunikasi intensif dengan para pengusung 'Islam Moderat' di Indonesia sejak 2018. Baginya, gagasan tersebut bermanfaat menjustifikasi sikap serta kebijakan BJP yang cenderung fasis terhadap kerusuhan SARA di India. Hal itu tampak dari artikel bertajuk ''Indian Muslims Need to Emulate the Indonesian Model'' (Muslim India Perlu Meniru Model Indonesia) yang ditulisnya Februari 2022 di situs openthemagazine

Pujian setinggi langit diberikan Ram Madhav pada para penggerak ''Islam Moderat'' di Indonesia. Secara implisit terbaca, Ram hendak menyatakan dirinya anti-Wahhabisme, termasuk ia mengkritisi Wahhabisme serta segala bentuk ekspresi keberislaman selain praktek formal keagamaan, seperti shalat, zakat, puasa dan haji. 

Pandangan Ram, RSS dan BJP ini nyaris mirip dengan cara pandang para aktor politik di Indonesia awal Orde Baru. Ketika mereka sangat alergi pada istilah-istilah Islam, seperti umat atau syariat, bahkan alergi pada jilbab lalu membuat kebijakan anti-jilbab pada dekade '70-'80an. 

RSS dan BJP adalah organisasi politik. Itu sudah diakui secara internasional. Keduanya bukan organisasi keagamaan. Oleh karena itu, dukungan kedua organisasi tersebut pada ekspresi ''Islam Moderat ala Indonesia'' tentu bermuatan politik, diantaranya memanfaatkan kampanye ''Islam Moderat'' sembari menutupi persoalan-persoalan domestik di India menyangkut hubungan penganut umat beragama. Belum tentu semata demi keharmonisan umat beragama di India.     

Hindutva Uber Alles!        

Hindutva (kehinduan) adalah istilah yang pertama kali diungkapkan Chandranath Basu, sastrawan Bengali. Pada tahun 1892, ia menulis buku ''Hindutva-Hindur Prakrita Itihas'' (Hindutva – Sejarah Asli Umat Hindu). Karya ini segera menarik perhatian karena Chandranath Basu menegaskan faktor kehinduan yang paling utama dari peradaban Hindustan, lebih superior dibading Eropa atau peradaban lain. 

Amiya Sen dalam bukunya ''Hindu revivalism in Bengal, 1872-1905'' yang terbit 2001 menyebut, bagi Chandranath Basu, segala bentuk tantangan terhadap nilai-nilai tradisi kehinduan, berarti menantang legitimasi serta kehadiran Tuhan di tanah Hindustan. 

Keyakinan Chandranath Basu ini sejalan dengan kelompok Hindu konservatif India. Menurut Nicholas F Gier dalam bukunya ''The Origins of Religious Violence: An Asian Perspective'' (2014) menelusuri jejak nasionalisme Hindu dari Bengali. Diungkapnya, selain Chandranath Basu, juga ada nama Swami Dayananda pendiri gerakan Ayra Samaj tahun 1875 di Mumbai. Ciri Ayra Samaj adalah pemurnian ras Arya. Gerakan ini gencar mendorong para Dalith agar kembali memeluk ajaran Hindu. Aksi serupa yang masih dilakukan saat ini oleh para anggota Vishwa Hindu Parishad (VHP).    

Gier juga mencatat, Chandranath Basu bahkan menolak segala bentuk konversi agama asli warga India ke agama lain. Basu sangat getol mengkampanyekan superioritas Hinduisme di atas Kristianitas pada masa itu. Basu juga menegaskan, India bukanlah tempat untuk agama asing, seperti Islam dan Nasrani. 

Sejarawan India dari Universitas Jawaharlal Nehru, New Delhi, Tanika Sarkar, mengupas dalam artikelnya ''Rabindranath's "Gora" and the Intractable Problem of Indian Patriotism'' yang terbit dalam jurnal Economic and Political Weekly tahun 2009, bahwa berbagai gerakan kebangkitan kembali Hindu di akhir abad ke-19 semula merupakan reaksi pada pengaruh pendidikan serta budaya Barat di tanah India.  

Satu dekade sebelum karya Chandranath Basu terbit, tepatnya pada 1882, Bankim Chandra Chattopadhyay, seorang jurnalis dan sastrawan Bengali, menggubah himne 'Bande Mataram' yang mengiringi terbitnya karya 'Ananda Math'. Sarkar menyebut, karya Chattopadhyay sangat memuja tanah India sehingga menginspirasi para nasionalis India ketika itu, namun karya tersebut juga sarat sentimen anti-muslim.   

Istilah 'Hindutva' menjadi lebih politis setelah Vinayak Damodar Savarkar menegaskan dalam manifestonya pada tahun 1923. Ditegaskan Savarkar, Hindutva tidaklah sama dengan Hinduisme. Sebab, Hindutva merupakan bentuk politis Hinduisme melalui pengorganisasian sekaligus militerisasi di tanah Hindu layaknya nasionalitas. Savarkar menjadi figur pertama cum terakhir yang menyebut India sebagai 'fatherland', bukan 'motherland'. Ia melekatkan sebutan 'fatherland' pada wilayah geografis India nan suci dimana bangsa Hindu mempunyai hak ekslusif atas tanahnya.

Secara geografis, ujar Savarkar dalam manifestonya, ruang Hindus bagi bangsa India membentang dari Sungai Indus (kini masuk wilayah Pakistan) sampai ke Laut Hindia. Savarkar memandang ruang Hindus ini sebagai 'pitrabhumi (tanah air leluhur) sekaligus 'punyabhumi' (tanah suci) tempat sebuah bangsa. 

Janaki Bakhle dalam artikelnya ''Country First? Vinayak Damodar Savarkar (1883-1966) and the Writing of Essentials of Hindutva'' yang terbit di jurnal 'Public Culture' tahun 2010, menyebut Savarkar menempatkan orang Hindu, Sikhs dan Jain masuk dalam kualifikasi bangsa India dalam ruang Hindus itu. Namun tidak untuk muslim India. 

Savarkar menemukan nasionalismenya usai mengkaji berbagai ancaman asing. Baginya, Islam dan Kristianitas adalah ancaman terhadap tanah Hindustan. Amalendu Misra dalam artikelnya ''Savarkar and the discourse on Islam in pre-independent India'' yang terbit di Journal of Asian History tahun 1999 menyebut faktor utama di balik perkembangan sikap anti-Islam Savarkar. Ia lahir dari keluarga Chitpavan Brahmin di Maharashtra yang leluhurnya telah memerangi penguasa muslim selama bertahun-tahun sejak masa Aurangzeb. 

Kebencian Sarvarkar terhadap muslim tumbuh dalam lingkungan semacam itu. Baginya, kepercayaan Abrahamik (Islam, Kristen dan Yahudi) tidak punya akar di Hindustan. Oleh karena itu, teori identitas kehinduan Savarkar bersifat rasial, linguistik, religius dan kewilayahan. Pemurnian rasial yang disebut dalam karyanya menempatkan Savarkar sebagai tokoh berciri Darwinisme sosial. Ciri yang sama dengan pemikiran fasisme.

Fasisme RSS

Sejarawan Universitas Delhi, India, Sumit Sarkar, mengurai kehadiran organisasi berciri fasisme di India dalam artikelnya 'The Fascism of the Sangh Parivar'. Artikel yang terbit di jurnal Economic and Political Weekly tahun 1993 itu menjelaskan kesamaan antara perilaku para anggota atau kader partai Bharatiya Janata, termasuk para kader RSS, dengan anggota Partai Nazi Jerman pimpinan Adolf Hitler. Kerusuhan komunal berujung pengusiran, penyiksaan bahkan persekusi muslim di Indonesia persis seperti persekusi terhadap kaum Yahudi yang dilakukan para kader Partai Nazi. 

Hitler dan Nazi, tulis Sarkar, mengaku taat hukum ketika bersua Presiden Hindenburg usai pelantikan Hitler sebagai kanselir Jerman pada 30 Januari 1933. Namun, fakta sejarah menunjukkan keterlibatan para anggota Partai Nazi serta proses Nazifikasi birokrasi serta aparat keamanan Jerman berlangsung tanpa mempedulikan hukum. 

Perilaku sama diperlihatkan para petinggi BJP usai pecah kerusuhan komunal di India. Mereka mengaku taat hukum, namun pada saat yang sama mereka justru mencela konstitusi India sebagai anti-Hindu. Retorika berujung provokasi massa ini berlangsung hingga kini di India.

Kesamaan dengan strategi fasisme Nazi Jerman juga terlihat dari aksi BJP dalam memperluas wilayah. 

Pertama, papar Sarkar, Nazi memojokkan kaum Yahudi. Kaum ini dituding telah menguasai seluruh lini parpol di Jerman minus Nazi. 

Kedua, akibat penguasaan itu, para elit Nazi menuding kaum Yahudi penghambat kemajuan Jerman. 

Ketiga, puncaknya, terjadi pembantaian massal lawan-lawan Nazi pada Juni 1934. Nah, langkah BJP sami mawon. Ketika insiden terjadi di Madhya Pradesh lalu memantik kerusuhan sosial pada 1991, indikasi keterlibatan BJP dan ormas-ormas seafiliasi telah meneror mental warga setempat.

Penguatan mitos menjadi elemen penting bagi RSS dan BJP, bahkan menjadi bagian dari Hindutva itu sendiri. Upaya penguatan ini ke publik berlangsung sejak karya Chandranath Basu mulai dibaca luas sekian puluh dekade silam. 

Slogan yang beredar, tulis Sarkar, sudah mengarah ke aksi yang banyak melibatkan kelas menengah borjuis India. Mereka ini telah digarap lama oleh BJP dan RSS melalui penguatan mitos, bahwa berbagai lokasi bersejarah di Hindustan harus direbut kembali. Diantaranya, lokasi masjid Babri. 

Keterlibtan borjuis ini menunjukkan adanya kepentingan bisnis di balik berbagai aksi fasis BJP dan RSS. Hal serupa juga pernah terjadi di Jerman di bawah Hitler dan Nazi.      

Sementara Achin Vanaik dalam artikelnya ''Situating Threat of Hindu Nationalism: Problems with Fascist Paradigm'' yang juga terbit di jurnal 'Economic and Political Weekly' tahun 1994 juga mengurai kemiripan watak nasionalisme BJP atau RSS dengan fasisme. Walaupun dasar pembentukan ideologi Hindutva punya sejarah panjang di tanah Hindustan, namun hal itu tak serta-merta menjadikan ideologi tersebut mampu memberi jawaban atas persoalan-persoalan kontemporer India. 

Keruntuhan peradaban Hindus yang sering digembar-gemborkan RSS sebagai akibat dari anasir asing yang masuk ke bumi Hindustan semestinya dilihat lebih cermat. Sebab, publik bersifat dinamis. 

Bahkan para pengusung ideologi ultra-nasionalis India sangat tertarik pada karya Hitler 'Mein Kampf'. 

Suman Gupta dalam artikelnya tahun 2012 bertajuk ''On the Indian Readers of Hitler's "Mein Kampf" yang terbit di jurnal Economic and Political Weekly menyebut pengaruh karya Adolf Hitler 'Mein Kampf' dalam pemikiran Savarkar. Bahkan sejumlah politisi BJP pun terindikasi juga terpengaruh karya Hitler itu, walaupun dalam berbagai kesempatan mereka selalu menyangkal dituding fasis. Bagi kalangan ultra-nasionalis India, karya Hitler telah memberi inspirasi untuk melihat jati diri mereka, masa lalu leluhur, bahkan sampai ke eksistensi ras Arya.      

Dalam artikel bertajuk ''A disowned father of the nation in India: Vinayak Damodar Savarkar and the demonic and the seductive in Indian nationalism'' yang dimuat jurnal 'Inter-Asia Cultural Studies' (2014), Ashis Nandy menegaskan Savarkar seorang ateis. Meski Savarkar tetap berpegang pada kesucian geografis India untuk pembentukan rasa nasionalistik. Namun pengaruh pemikir Italia abad ke-19 Guiseppe Mazzini juga terlihat dalam penjabaran Savarkar tentang rasa kebangsaan tersebut. Bahkan, Vikram Visana dalam tulisannya berjudul ''Savarkar before Hindutva: Sovereignty, Republicanism, and Populism in India, c.1900-1920'' yang terbit dalam jurnal Modern Intellectual History tahun 2021 menyebut adanya pengaruh pemikiran Guiseppe Mazzini dan Johann Kaspar Bluntschli (ahli hukum Swiss). 

Pembunuhan Mahatma Gandhi

Pada 30 Januari 1948 anggota RSS Nathuram Vinayak Godse membunuh tokoh kharismatik India Mahatma Gandhi di New Delhi. Pembunuhan itu terjadi rumah Gandhi, dan kemudian terbukti bahwa peristiwa itu berkaitan pada sikap anti-muslim Godse yang menolak pemisahan wilayah Pakistan dari India. Bagi Godse, Gandhi telah berkhianat terhadap India karena membiarkan perpecahan wilayah tersebut terjadi. 

Setelah peristiwa pembunuhan itu, otoritas India melarang RSS. Serangkaian penangkapan dilakukan aparat penegak hukum terhadap para anggota RSS di India. Usai melalui persidangan yang menyita publik luas, majelis hakim kemudian memvonis hukuman gantung bagi Godse. Eksekusi digelar 15 November 1949. Nyaris selama dua tahun sejak pembunuhan itu perdebatan tentang eksistensi RSS serta perbincangan kekhawatiran bangkitnya fasisme di India marak dimana-mana. 

Ulasan Marzia Casolari dalam artikelnya ''Hindutva's Foreign Tie-Up in the 1930s: Archival Evidence'' yang terbit tahun 200 dalam jurnal 'Economic and Political Weekly' menyebut fakta aksi pendukung Hindutva yang mirip Nazi. Fakta itu berdasar dokumen rahasia hasil penyelidikan intensif aparat intelijen India, yang kemudian beredar di internal Congress, partai yang berkuasa saat itu.

Dokumen itu menyebut, bahwa RSS punya metode rahasia dalam merekrut sekaligus mencuci-otak para kader rekrutan. Disebut pula, RSS mempromosikan fasisme dan mereka yang direkrut hanya terlebih dahulu diberitahu jadwal latihan fisik, tanpa disebut apa tujuan dari pelatihan fisik tersebut. Tidak ada anggaran dasar organisasi. Mereka yang terlibat di dalamnya kemudian saling mengenal satu sama lain, serta mereka ikut pula pembekalan intensif. 

Casolari bahkan menjelaskan bahwa telah ada kontak langsung antara ideolog atau aktivis ultra-nasionalis Hindu dengan para pendukung fasisme Italia. Dimulai dari perjalanan B S Moonje ke Italia pada tahun 1931. Begitu kembali ke Maharshtra, Moonje membawa serta berbagai kabar perkembangan situasi di Italia, dan komunitas media setempat pun mencermati seksama kebangkitan fasisme Italia yang sangat mengesankan mereka. Bahkan koresponden koran Marathi yang sedang berada di London, DV Tahmankar, secara rutin menulis liputan perkembangan di Italia itu. 

Tahmankar lalu juga menulis biografi Mussolini dengan referensi sangat banyak. Ia menjelaskan bukan saja aspek ideologi fasisme, melainkan dijabarkan publa aspek sosial fasisme. Berkat perhatian insan media terhadap perkembangan di Italia itu, maka fasisme jadi sohor di Maharashtra. BS Moonje pun menyambut senang perkembangan itu. Sosok satu ini adalah mentor dari Keshav Baliram Hedgewar. Keduanya tokoh penting RSS.       

Jika ditarik lebih ke belakang, kehadiran gagasan Hindutva dari Chandranath Basu ini sesungguhnya berada dalam lingkup semangat anti-Barat di kawasan Bengali. Menjelang akhir tahun 1870-an, Bankim Chandra Chattopadhyay menulis himne ‘Bande Mataram’. Himne tersebut menjadi bagian dari karya sastranya yang terkenal dan kontroversial, Ananda Math, yang diterbitkan pada tahun 1882. Karya ini sarat sentimen anti-Muslim yang merebak kuat kala itu di kawasan Bengali.

Agak Mengkhawatirkan

Tak bisa dipungkiri, kehadiran tokoh RSS dalam forum mulia R20 tentu kontradiktif dengan tujuan dari forum itu sendiri. Jika panitia acara R20 bertekad menjadikan agama sebagai solusi global, maka kehadiran tokoh dari RSS justru menjadikan tekad itu layak dipertanyakan. Apakah forum itu memang murni untuk keharmonisan sekaligus perdamaian ataukah forum itu hanya sekadar sarana bagi RSS untuk membangun citra belaka.

* Peneliti pada Centre for Citizenship and Statecraft Studies (CCSS), Universitas Airlangga, Surabaya