Tragedi Kanjuruhan: Nestapa Kemanusiaan dan Momen Instrospeksi

Asip Irama
Asip Irama

Tragedi Kanjuruhan akan tercatat sebagai salah satu tragedi terbesar dalam sejarah sepakbola dunia. Sampai saat ini, ada 131 orang dilaporkan meninggal dunia dan ratusan orang mengalami luka-luka. Ini artinya, Tragedi Kanjuruhan bukan sekadar tragedi sepakbola, melainkan tragedi bagi bangsa Indonesia sendiri. 

Tragedi Kajuruhan tidak hanya menyisakan duka dan nestapa yang begitu dalam, tetapi menjadi tamparan keras bagi persepakbolaan Indonesia. Semua pihak mesti berbenah dan menyadari bahwa tidak ada sepakbola  yang seharga nyawa manusia. 

Peristiwa kelam di Stadion Kanjuruhan itu berawal pasca pertandingan derby Jatim yang mempertemukan Arema vs Persebaya. Skor akhir pertandingan 2-3 untuk kemenangan Persebaya. Rivalitas kuat dan mengakar di antara kedua tim membuat tensi pertandingan begitu panas. Para suporter Arema (Aremania) yang kecewa atas kekalahan timnya turun dari tribun memasuki lapangan saat laga usai. Terjadilah suasana chaos.

Padahal, tindakan tersebut terlarang sesuai Law of the Game Federasi Sepakbola Dunia (FIFA). Sehingga, ketika ada penonton yang turun lapangan, seharusnya petugas dengan sigap membekuknya. Yang terjadi di Kanjuruhan gagal dibendung, ratusan bahkan ribuan penonton yang turun dari tribune gagal dicegah petugas. 

Mitigasi yang dilakukan petugas keamanan justru berujung petaka. Pihak keamanan/kepolisian melepaskan gas air mata untuk menghalau supporter. Penggunaan gas air mata di dalam ruang tertutup seperti stadion justru akan menjadi gas mematikan. Mengingat dampaknya yang fatal, FIFA sudah sejak lama mengeluarkan peraturan pelarangan penggunaan gas air mata untuk menghentikan kericuhan di dalam stadion. 

Tindakan mitigasi pihak keamanan/kepolisian yang demikian harus dipertanggungjawabkan karena telah melanggar regulasi. Sebab, penggunaan gas air mata di ruang tertutup seperti stadion untuk jangka waktu yang lama dapat menyebabkan kematian. Apalagi, hal itu memicu penumpukan supporter karena mengalami kepanikan. 

Tetapi, yang patut digarisbawahi bahwa kita tidak hanya bisa saling menyalahkan dan menunjuk satu pihak untuk bertanggungjawab. Semua elemen yang terlibat dalam Tragedi Kanjuruhan harus bertanggungjawab. Federasi tertinggi sepakbola Indonesia, PSSI pun seharusnya dengan gantle mengakui bahwa mereka juga bertanggungjawab atas Tragedi Kanjuruhan. 

Sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam sepakbola Indonesia, PSSI mestinya menyadari akan dampak yang ditimbulkan dari pertandingan dengan tensi tinggi. Sehingga, sebelum pertandingan, PSSI bisa membuat prosedur mitigasi dan langkah antisipatif agar tidak terjadi kericuhan.  

Kegagalan PSSI membuat langkah preventif dan mitigatif secara kongkret terbukti dengan tetap mengizinkan pertandingan Arema vs Persebaya tetap digelar pada malam hari. PSSI tidak boleh lepas tangan atas Tragedi Kanjuruhan. PSSI harus bertanggungjawab. Tragedi Kanjuruhan harus dijadikan pelajaran bagi PSSI untuk mencari terobosan untuk memutus mata rantai kekerasaan di sepakbola Indonesia pada masa yang akan datang. 

Selain PSSI, penyelenggara kompetisi sepak bola Indonesia, PT Liga Indonesia Baru juga mesti bertanggungjawab. PT LIB menolak usulan Panpel agar kick off dimajukan pada sore hari. Padahal, kick off malam akan menyulitkan pengawasan atas perilaku suporter, Panpel, dan petugas keamanan. Selain itu, kick off malam akan memperparah keadaan jika terjadi chaos. Korban jiwa yang begitu banyak pada Tragedi Kanjuruhan harus diakui sebagai imbas dari kick off yang terlalu malam. 

Pihak yang juga harus bertanggungjawab adalah Panpel. Karena beredar kabar bahwa Panpel Arema FC mencetak 45 ribu tiket, sedangkan kapasitas Stadion Kanjuruhan hanya 38.000. Tentu, hal tersebut over capacity. Jika benar demikian, Panpel Arema FC telah melakukan pelanggaran prosedural sangat fata. 

Di samping itu, Aremania sebutan untuk pendukung Arema FC mesti mengakui kesalahan yang telah mereka perbuat. Hal ini bukan lantas mengklaim bahwa mereka sepenuhnya salah. Fanatisme telah membuat mereka lepas kendali. Tindakan Aremania telah mencederai nilai-nilai sprotivitas dalam sepakbola. 

Sampai saat ini, atas arahan Presiden Joko Widodo, Pemerintah Pusat telah membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan. Kita harus mengawalnya agar TGIPF mengusut secara tuntas Tragedi Kanjuruhan. Apapun fakta yang ditemukan harus diumumkan secara transparan pada publik sehinga bisa dijadikan sebagai bahan introspeksi semua pihak. 

Tragedi Kanjuruhan harus menjadi momen bagi suporter sepakbola Indonesia untuk melucuti fanatisme. Sudah saatnya mereka mengakhiri permusuhan dan dendam yang mendarah daging. Rivalitas harus ditunjukkan dengan cara-cara yang sportif, bukan dengan tindakan anarkhis dan kekerasan. 

Para stakeholder perlu mengutamakan keselamatan pemain, penonton, dan semua yang ada dalam stadion olahraga. Bukan lantas karena mengejar keuntungan, mereka justru mengorbankan keselamatan. Petugas keamanan pun juga memerlukan analisis kondisi sehingga dapat memberikan layanan keaamanan prima dengan tanpa tindakan represif. 

PSSI sebagai pemegang otoritas sepakbola Tanah Air juga mesti berbenah, bertransformasi menjadi lebih baik. Mereka harus berani mengeluarkan regulasi agar peristiwa seperti Tragedi Kanjuruhan tidak berulang. Sebab, kematian demi kematian suporter di Indonesia telah berulang kali terjadi. Tetapi, PSSI seolah abai terhadap semua itu. Inilah momentum bagi PSSI untuk konsekuen dan komitmen dalam memajukan sepakbola Indonesia. 

Semoga Tragedi Kanjuruhan menjadi kerusuhan terakhir yang menodai sportivitas olahraga Tanah Air.

*Koordinator Himpunan Aktivis Milenial Indonesia (HAM-I)