Heru Budi, Calon Pj Gubernur DKI yang Punya Catatan Kasus Dugaan Korupsi yang Belum Tuntas

Kepala Sekretariat Presiden (Kasetpres) Heru Budi Hartono/Net
Kepala Sekretariat Presiden (Kasetpres) Heru Budi Hartono/Net

Kabar ditunjuknya Kepala Sekretariat Presiden (Kasetpres) Heru Budi Hartono menjadi Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta menggantikan Anies Baswedan yang akan purnatugas pada 16 Oktober mendatang, menyita perhatian sejumlah kalangan.


Kabar penunjukan Heru Budi beredar berdasarkan Sidang Tim Penilai Akhir (TPA) yang dipimpin Presiden Joko Widodo. Kabar penunjukan ini juga sudah dibenarkan oleh Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi.

Tetapi, hingga hari ini Presiden Jokowi belum meresmikan penunjukan Heru Budi. Lumrahnya, penunjukan itu diresmikan tertulis dalam Keputusan Presiden (Kepppes).

Sorotan atas penunjukan itu, tidak lain karena adanya catatan dalam jejak digital terkait sepak terjang Heru sebelumnya. Terutama, catatan Heru dalam beberapa kasus dugaan korupsi dan beberapa kali juga ikut diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam struktur Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, Heru bisa jadi bukan sosok yang asing. Dia pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) DKI Jakarta.

Pada posisi jabatan itu, dia pernah diperiksa KPK terkait kasus suap reklamasi laut utara Jakarta, pada Kamis (7/4/2016).

Nama Heru, juga disebut banyak mengetahui terkait kasus dugaan korupsi pembelian tanah Cengkareng dan Rumah Sakit Sumber Waras. Pengetahuan itu, dalam kapasitasnya, sebagai Kepala BPKAD DKI saat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjabat Gubernur Jakarta.

Pengamat Kebijakan Publik Amir Hamzah mengatakan, melihat dua catatan itu saja, seandainya nanti benar Heru menjadi Pj Gubernur DKI, dia bisa memberikan keterangan kepada KPK kasus korupsi tanah Cengkareng secara jelas.

“Heru lebih baik datang ke KPK menjelaskan kasus ini,” ujar Amir beberapa waktu lalu.

Jika mengacu keterangan Koordinator MAKI Boyamin Saiman, dibeberkan Amir, pemilik PT Adonara Propertindo, Rudi Hartono Iskandar, yang diduga terlibat dalam pusaran kasus tanah di Cengkareng, Jakarta Barat, juga terlibat dalam kasus pengadaan tanah Munjul.

Salinan sertifikat Rudi Hartono ada memo disposisi dari Ahok, yang mengatakan untuk memerintahkan anak buahnya mengkaji untuk beli tanah di Cengkareng.

“Heru harus berani membuka dokumen ini,” kata Amir.

Masih menurut Amir, Heru juga dapat menyelesaikan dugaan kasus korupsi pembelian lahan RS Sumber Waras, di mana saat itu ia menjadi Kepala BPKAD.

“Heru mengetahui banyak kasus dugaan korupsi pembelian lahan RS Sumber Waras saat Ahok jadi Gubernur DKI,” tandas Amir.

Ditambahkan pakar Kebijakan Publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, dia mengatakan harus mewanti-wanti dengan penunjukan Heru.

Selain dua jabatan dan permasalahan itu, kata dia, Heru juga pernah menjabat Kepala Biro Kepala Daerah dan Kerja Sama Luar Negeri (Kabiro KDH dan KLN) serta Kepala Bagian Prasarana dan Sarana Perkotaan Kota Jakarta Utara.

Heru juga sempat menjabat Wali Kota Jakarta Utara semasa Jokowi masih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Di era Gubernur, kata Achmad, Heru ditunjuk menjadi Kepala BPKAD. Heru kala itu dipercaya Ahok mengurusi normalisasi Waduk Pluit.

Achmad mestikan tak asal memberikan analisis, ia melihat Heru yang telah banyak diberitakan media massa tersandung berbagai kasus dan berkali-kali diperiksa oleh KPK. Bahkan, tidak sedikit aktivis yang menyuarakan agar kasus-kasus itu dituntaskan.

“Perkumpulan Aktivis Jakarta (PAJ) pernah melakukan unjuk rasa dan mendesak Bareskrim Mabes Polri untuk memeriksa dan menangkap Heru Budi Hartono atas dugaan keterlibatan dalam kasus Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Tanah Pembangunan Rumah Susun di DKI Jakarta Tahun 2015 dan 2016 pada bulan April 2016,” ungkapnya.

“Belum lagi Skandal Hak Pengelolaan Lahan (HPL) di pulau-pulau reklamasi yang berada di pantai utara Jakarta,” katanya menambahkan.

Mengenai pertimbangan jabatan Pj Gubernur DKI Jakarta, kata dia lagi, mengatakan akan lebih baik jika digantikan oleh Pj yang telah mengenal sepak terjang dan tata kelola yang dilakukan oleh gubernur sebelumnya.

“Jika diserahkan kepada calon yang belum memahami pola kerja gubernur sebelumnya dikhawatirkan terjadi upaya perubahan yang mekanisme tata kelola secara ekstrim sehingga mengganggu kestabilan yang telah terbangun,” pungkasnya.