Penghapusan Anggaran Kesehatan Minimal Membuat Indonesia Semakin Tertinggal

Pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, yang juga CEO Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat/Net
Pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, yang juga CEO Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat/Net

PEMBAHASAN RUU Omnibus Law Kesehatan hingga saat ini seperti petak umpet, yang seolah-olah menghindari dari pandangan publik.

Publik tidak dilibatkan dalam diskursus draft RUU Omnibus Law Kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa RUU Omnibus Law dibuat bukan untuk kepentingan rakyat.

Bagaimana tidak? RUU Omnibus Law Kesehatan tidak memuat minimal anggaran untuk kesehatan. Rakyat kembali termarginalkan dengan dihapusnya Omnibus Law Kesehatan.

Hilangnya mandatory spending anggaran kesehatan menempatkan kesehatan rakyat tidak lagi menjadi prioritas dalam APBN.

Padahal mandatory spending sudah ada pada Pasal 171 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang di dalamnya mengatur bahwa pemerintah pusat wajib mengalokasikan minimal 5 persen APBN dan pemerintah daerah sebesar 10 persen dari APBD untuk pembangunan kesehatan di luar belanja pegawai.

Mandatory Spending Kesehatan Harus Ditingkatkan Bukan Dihapus Demi Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia

Mandatory spending minimal 5 persen dari APBN untuk kesehatan seharusnya dipertahankan bukan dihilangkan. Anggaran kesehatan yang ditentukan minimal 5 persen sebenarnya sangat membantu peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM).

Melihat lapasitas pembangunan manusia masih tertinggal di dunia, seharusnya minimal anggaran kesehatan 5 persen ditingkatkan menjadi 15 persen APBN secara bertahap.

Bahkan untuk ukuran negara berpenghasilan rendah (low income country), anggaran kesehatan negara tersebut mencapai 11 persen budget negara setahun berdasarkan data WHO 2010.

Ada tiga negara berpendapatan rendah di Afrika, seperti Rwanda, Tanzania, dan Liberia, telah berani mengalokasikan dana untuk sektor kesehatan hingga 15 persen dari APBN-nya. Chili, negara latin Amerika  mampu mengalokasikan anggaran untuk kesehatan hingga 16 persen.

Badan kesehatan dunia (WHO) memiliki standar internasional bahwa alokasi anggaran kesehatan setiap negara seharusnya minimal 15 persen dari total APBN atau setara dengan 5 persen dari PDB.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat  pertumbuhan IPM 2022 di angka 72,91, angka tersebut menjadikan Indonesia menempati peringkat 130 dari 199 negara dengan peringkat EQ peringkat enam dari negara ASEAN. Kalah dengan Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam.

Indeks pembangunan manusia Malaysia menempati peringkat ke 62, kemudian Korea Selatan berhasil mendapatkan peringkat 23 dan Singapura menempati peringkat ke 11 dengan nilai indeks pembangunan manusia 0,938.

Kapasitas pembangunan manusia Indonesia masih jauh tertinggal bahkan dengan negara tetangga di kawasan Asia Tenggara.

Indeks pembangunan manusia ini mencerminkan bagaimana tingkat kesehatan, pendidikan dan standar hidup penduduk suatu negara. Bila anggaran minimal kesehatan dihapuskan bagaimana Indonesia memastikan IPM Indonesia menang bersaing.

Hilangnya Mandatory Spending Anggaran Kesehatan Membahayakan Kesehatan Rakyat

Draf terbaru yang beredar sudah berbeda dengan versi yang sudah dibahas pada Februari 2023.

Draf sebelumnya terdapat Pasal 420 RUU yang memuat rencana kewajiban pemerintah mengalokasikan anggaran kesehatan minimal 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta pemerintah daerah sebesar 10 persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Sementara dalam draf terbaru tepatnya di Pasal 409 RUU tersebut, hanya menyebutkan bahwa pemerintah pusat mengalokasikan anggaran kesehatan dari APBN sesuai dengan kebutuhan program nasional yang dituangkan dalam rencana induk bidang kesehatan.

Adapun sumber anggaran kesehatan pemerintah daerah dialokasikan dari APBD sesuai dengan kebutuhan kesehatan daerah yang mengacu pada program kesehatan nasional.

Hilangnya mandatory spending anggaran kesehatan dari RUU Omnibus Law kesehatan membuat kesehatan rakyat tidak terjamin. Hal ini dapat diartikan bahwa komitmen baik pemerintah pusat maupun daerah tidak lagi mempunyai kepastian terhadap layanan kesehatan. Tentunya ini berbahaya bagi ketahanan negara.

Terjaminnya kesehatan masyarakat adalah sebuah keharusan. Terganggunya kesehatan masyarakat akan berimplikasi kepada sektor-sektor lainnya.

Kesehatan Masyarakat Lebih Penting daripada Proyek IKN dan Subsidi Mobil Listrik

Ada gagal nalar dalam penentuan kebijakan melalui RUU Omnibus Law kesehatan yang memarginalkan kesehatan masyarakat ketimbang UU IKN yang semestinya belum layak dijadikan proyek strategis nasional jika hal yang mendasar seperti kesehatan masyarakat ini terjamin.

Jika memang minimnya kondisi fiskal seharusnya pemerintah mereduksi hal-hal yang tidak prioritas seperti subsidi mobil listrik dan IKN, dan seharusnya memprioritaskan perbaikan kesehatan masyarakat yang masih dalam kondisi rentan pasca COVID-19.

Yang menjadi persoalan adalah urgensi dari dibuatnya RUU Omnibus Law Kesehatan ini jadi dipertanyakan, apalagi RUU ini mendowngrade layanan kesehatan yang seharusnya ditingkatkan kualitasnya.

Pembahasan RUU Omnibus Law Kesehatan Tanpa Partisipasi Publik Cacat Prosedur dan Patut Dicurigai

Seperti halnya dalam pembahasan RUU IKN yang disahkan hanya dalam waktu 42 hari dan minim partisipasi publik, Juga RUU minerba yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat dimana pengusaha lebih diuntungkan daripada negara.

Dan kini RUU Omnibus Law kesehatan yang menghapuskan mandatory spending kesehatan dibuat tertutup sehingga publik terutama para pakar kesehatan tidak mempunyai kesempatan untuk ikut berkontribusi dalam penyempurnaan RUU tersebut.

Undang-undang semestinya dibuat dalam rangka memberikan benefit bagi masyarakat. Jika RUU kesehatan ini menempatkan kesehatan masyarakat menjadi rentan maka harus dipertanyakan bahwa RUU ini sebetulnya untuk siapa?

Kesehatan Masyarakat Diserahkan ke Mekanisme Pasar

Dengan dihapuskannya mandatory spending di RUU Omnibus Law Kesehatan membuat masyarakat harus mencari jalan keluar sendiri untuk survive menjaga kesehatannya.

Artinya mereka akan diombang-ambing oleh keadaan yang membuat mereka mau tidak mau harus memenuhi kebutuhan kesehatan mereka tanpa bantuan dari negara.

Minimnya anggaran kesehatan dipastikan fasilitas kesehatan sulit berkembang sementara kebutuhan layanan kesehatan semakin bertambah. Harga obat akan mencekik jika pemerintah tidak intervensi sementara kemampuan mayoritas penduduk masih sangat minim.

Mandatory Spending di RUU Omnibus Law Kesehatan Harus Ada Bahkan Ditingkatkan

Pandemi Covid19 yang terjadi telah memporakporandakan ekonomi masyarakat. Hal ini membuat spending masyarakat lebih tinggi untuk membiayai kesehatan dari sisi kebutuhan obat-obatan, vitaman ataupun layanan kesehatan.

Penurunan daya beli masyarakat memperparah kondisi kesehatan mereka. Dalam kondisi tersebut negara dituntut untuk turun tangan untuk menjaga kesehatan masyarakat.

Meskipun saat ini covid19 sudah menurun tapi ancaman masih tetap ada. Sehingga negara harus mempunyai pertahanan yang kuat dalam menghadapi segala kemungkinan adanya pandemi. Tentunya harus selalu ada upaya pemerintah untuk bisa menjaga imunitas masyarakat.

Anggaran Kesehatan Dibabat untuk Bayar Utang, Benarkah?

Cicilan utang negara sudah mencapai sepertiga APBN, sementara anggaran gaji PNS tahun 2023 naik 3,3 persen yang sebelumnya sudah mencapai Rp 426,5 triliun atau sebesar 2,36 persen dari PDB.

Sisanya adalah anggaran-anggaran yang bisa digunakan untuk program-program lainnya termasuk anggaran infrastruktur, bantuan sosial, pendidikan dan lain-lain.

Apalagi pembayaran pokok utang pada tahun 2022 saja sudah mencapai Rp 519,85 T bunga utang sebesar Rp 386,34 T, sehingga totalnya mencapai Rp 906,19 T. Dan utang luar negeri ini diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya menjadi hingga Rp 1.041,4 T pada 2023.

Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa APBN lebih diorientasikan kepada pembangunan proyek-proyek strategis sehingga anggaran kesehatan menjadi minim. RUU ini hanya membuat kondisi kesehatan masyarakat menjadi jadi rentan.

Penulis adalah ekonom, yang juga pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta dan CEO Narasi Institute