BRIN Nilai Penghapusan Kewenangan Presiden dan DPR Kendalikan TNI Salahi Supremasi Sipil

Peneliti BRIN Muhammad Haripin dalam diskusi yang digelar Lembaga Bantuan Hukum Semarang bersama Imparsial di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (13/7)/Ist
Peneliti BRIN Muhammad Haripin dalam diskusi yang digelar Lembaga Bantuan Hukum Semarang bersama Imparsial di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (13/7)/Ist

Revisi UU 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih menjadi diskusi hangat. Terutama, soal perluasan penempatan prajurit aktif pada lembaga sipil, serta usulan penghapusan kewenangan presiden dan DPR RI dalam mengendalikan pengerahan TNI.


Begitu garis besar yang disampaikan peneliti BRIN Muhammad Haripin dalam diskusi bertajuk "Problematika Revisi UU TNI Ditinjau dari Perspektif Hukum, Politik, dan Hak Asasi Manusia” yang digelar Lembaga Bantuan Hukum Semarang bersama Imparsial di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (13/7).

"Terdapat sejumlah persoalan dalam draf revisi UU TNI yang beredar belakangan ini. Di antaranya adalah terkait command and control, yaitu dihapusnya kewenangan insitusi sipil, dalam hal ini presiden dan DPR, untuk mengendalikan pengerahan TNI," ujar Haripin.

Menurutnya, usulan itu menyalahi prinsip supremasi sipil atas militer dan fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara yang seharusnya berada dalam kendali otoritas sipil.

Selain soal pengawasan dalam pengerahan, lanjutnya, posisi atau penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil yang semakin diperluas di dalam draf usulan revisi UU TNI tersebut juga menjadi masalah tersendiri.

"Lebih dari itu juga terdapat perluasan bentuk-bentuk operasi militer selain perang (OMSP), dari 14 bentuk bertambah menjadi 19," katanya.

Senada dengan itu, anggota LBH Semarang, Ignatius Radhite, khawatir ada peran kelompok kepentingan tertentu atau oligarki yang masuk dalam rencana revisi UU TNI dengan adanya perluasan peran prajurit dalam tugas-tugas sipil.

"Hal ini dapat dilihat dari penambahan tugas-tugas operasi militer selain perang di dalam draft revisi undang-undang TNI. TNI menjalankan tugas-tugas keamanan seperti dalam pemberantasan narkotika atau kejahatan siber, ini sudah di luar dari tugas pokoknya TNI," katanya.

Bagi dia, memberikan ruang bagi TNI untuk melakukan penangkapan dalam kasus-kasus tertentu seperti narkotika, tidak tepat. Terlebih, pemerintah sudah punya instrumen penegakan hukum yang cukup baik saat ini.

"Sudah ada lembaga khusus yang bertugas untuk menanggulangi kejahatan-kejahatan yang bersifat khusus tersebut," pungkasnya dimuat Kantor Berita Politik RMOL.