Produk Gagal Reformasi

Rosdiansyah/Ist
Rosdiansyah/Ist

SEJATINYA reformasi melahirkan suasana baru, namun kenyataannya tidak. Pantas saja jauh-jauh hari Richard Robison dan Vedi Hadiz dalam kitab sohornya ''Reorganising Power in Indonesia'' (2004) sudah menyebut kembalinya kekuatan rezim Orde Baru usai reformasi. Kekuatan ini tak terputus meski reformasi sudah bergulir melahirkan sejumlah kebijakan baru, seperti kebebasan pers serta perundangan anti-KKN.

Pada 19 Mei 1999, jelang setahun usia reformasi, pemerintahan Presiden BJ Habibie menerbitkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 (UU 28/1999) tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Selama tahun berikutnya, sorotan publik pada praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme kian menguat.  

Namun demikian, kekuatan reformasi yang seharusnya tidak memberi ruang kepada sisa-sisa rezim Orde Baru untuk tampil kembali, ternyata lengah. Para reformis abai pada nasehat Lenin, bahwa reformasi seharusnya bukan saja menolak munculnya kekuatan-kekuatan baru yang ingin hidup dengan cara lama, namun kenyataannya juga ada ketidakmampuan kekuatan-kekuatan yang mengakar untuk tak hidup dengan cara lama.  

Disitulah letak kegagalan reformasi. Ketika kekuatan lama kembali bangkit hendak menguasai jagat politik. Lalu, kekuatan ini berselingkuh dengan kekuatan yang dulu justru pernah ditekan Orde Baru, yang kedua kekuatan ini jelas-jelas mengabaikan semangat reformasi yang anti-KKN. Ditambah lagi, terjadi amnesia sejarah plus sikap permakluman publik atas perilaku-perilaku politisi sarat KKN.

Bukan rahasia lagi, banyak penumpang gelap reformasi yang kemudian membajak situasi, termasuk hal ini dilakukan oleh sisa-sisa pro-Orde Baru. Belakangan ini, mereka yang pro-Orde Baru beralasan bahwa elit saat ini sebagian besar adalah orang yang pernah hidup di bawah Orde Baru. Alasan ini jelas keliru. Sebab, yang dimaksud sebagai sisa-sisa Orde Baru adalah siapapun yang pernah ikut atau menjadi bagian dalam lingkar kekuasaan Orde Baru, bukan dimaksudkan pada mereka yang hidup di masa Orde Baru.

Ada beberapa kegagalan reformasi yang patut dicatat. Pertama, reformasi masih membuka ruang partisipasi mereka yang pernah berada dalam lingkar kekuasaan Orde Baru. Kedua, dalam ruang reformasi ternyata masih ada praktek menakut-nakuti atau mengkriminalisasi warga layaknya dulu saat masih ada Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), Laksus (Pelaksana Khusus) lalu Bakorstranas (Badan Koordinasi Strategis Nasional).

Ketiga, watak menghalalkan segala cara, termasuk mengakali regulasi. Rezim Orde Baru doyan mengakali regulasi demi meraih tujuan, termasuk dalam kontestasi Pemilu. Keempat, jika diperhatikan seksama, salah-satu ciri kekuatan rezim Orde Baru adalah aliansi dengan oligarki. Menekan lalu merangkul oligarki. Ini juga sifat Orde Baru. Dan sifat ini tampaknya menguat kembali.

Peneliti di Surabaya