Prof Yusril Sebut Putusan Majelis Etik Dewas KPK terhadap Firli hanya Bikin Gaduh Politik

Pembacaan putusan sidang etik Firli Bahuri oleh Dewas KPK/Repro
Pembacaan putusan sidang etik Firli Bahuri oleh Dewas KPK/Repro

Putusan Majelis Etik Dewan Pengawas (Dewas) KPK terhadap Ketua KPK nonaktif Firli Bahuri dianggap tidak menghasilkan apa-apa kecuali hanya menambah kegaduhan politik.


Mengingat, proses hukum dan pengunduran diri sudah dilakukan terlebih dahulu oleh Firli Bahuri sebelum Dewas KPK mengeluarkan putusan.

Hal itu disampaikan pakar hukum tata negara Prof Yusril Ihza Mahendra menanggapi adanya putusan Dewas KPK yang memberikan sanksi etik berat terhadap Firli yang baru dibacakan pada Rabu (27/12).

Menurut Yusril, putusan Dewas KPK tersebut terlambat, sehingga tidak relevan lagi dengan proses hukum yang sudah berjalan dan permohonan berhenti Firli yang telah dilayangkan kepada presiden.

"Fakta menunjukkan Firli telah diproses hukum oleh Polda Metro Jaya dan dinyatakan sebagai tersangka tipikor menerima gratifikasi dan melakukan pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo. Sebagai konsekuensi penetapan tersangka, sesuai ketentuan Pasal 32 ayat (2) dan (3) UU 30/2002 tentang KPK, Presiden telah memberhentikan sementara Firli dari jabatannya," kata Yusril kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (28/12).

Dalam perkembangan selanjutnya, kata Yusril, atas pertimbangan pribadi, termasuk menjaga kewibawaan lembaga KPK, Firli telah menyampaikan surat pengunduran diri kepada presiden. Surat pengunduran diri itu kini sedang diproses oleh Sekretariat Negara.

Selanjutnya, di tengah proses hukum dan pengunduran diri Firli itu, Majelis Etik Dewas KPK yang dipimpin Tumpak Hatorangan Panggabean bersidang untuk melakukan pemeriksaan etik terhadap Firli.

Putusannya, Firli terbukti melakukan pelanggaran etik dan disanksi berat, yakni memerintahkan Firli untuk mengundurkan diri dari jabatannya sesuai dengan Pasal 4 Ayat 2 huruf a atau Pasal 4 Ayat 1 huruf j dan Pasal 8 ayat e Peraturan Dewas KPK 3/2021.

"Dari ketentuan-ketentuan di atas, tidak ada kewenangan Majelis Etik Dewas KPK untuk 'memecat' Firli sebagaimana diberitakan beberapa media," tegas Yusril.

Karena menurut Yusril, eksekusi atas putusan tersebut harus dilakukan Firli untuk mengajukan pengunduran diri kepada presiden. Dan eksekusi tersebut sudah dilakukan Firli terlebih dahulu sebelum adanya putusan Dewas.

"Presiden bukanlah eksekutor putusan Dewas  sebagaimana dikesankan Tumpak kepada pers. Presiden hanya menindaklanjuti permintaan pengunduran diri Firli sebagai eksekusi atas putusan Majelis Etik Dewas KPK," tegasnya.

Yusril menjelaskan, Peraturan Kode Etik yang dibuat Dewas KPK adalah sebuah “code of conduct”, yakni norma etik berkaitan dengan pedoman prilaku seseorang dalam posisi atau jabatan tertentu.

Norma perilaku seperti itu lahir atas derivasi yang diberikan oleh UU, dalam hal ini ketentuan Pasal 37B Ayat 1 huruf c UU 30/2002 sebagaimana diubah dengan UU 19/2019 tentang KPK.

"Dengan demikian, kedudukan kode etik dan pedoman perilaku yang diatur dalam Peraturan Kode Etik Dewas KPK itu tidaklah lebih tinggi kedudukannya dari UU apalagi UUD," tutur Yusril.

Kedudukan kode etik, ungkap Mensesneg era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) periode pertama tersebut, tidak sama dengan kedudukan "norma etik" sebagai norma dasar dalam prilaku manusia yang keberadaannya berada di atas norma hukum. Sementara norma Kode Etik Dewas KPK, Kode Etik Advokat, keberadaannya justru karena diperintahkan UU.

"Karena itu, norma dalam kode etik Dewas KPK itu tidak mungkin menghentikan langkah Presiden memberhentikan sementara Firli dari jabatannya yang didasarkan pada norma UU. Begitu pula, norma kode itu tidak dapat mengabaikan hak Firli untuk dengan bebas menyampaikan penunduran diri kepada Presiden, mengingat hak itu dijamin oleh UUD 1945," jelas Yusril.

Oleh karena itu, lanjut dia, jika langkah hukum terhadap Firli telah dilakukan Polda Metro Jaya, maka Majelis Etik Dewas KPK seharusnya tidak perlu lagi "unjuk gigi" melakukan pemeriksaan pelanggaran etik terhadap Firli. Langkah itu secara profesional, bahkan secara etik, sudah terlambat untuk dilakukan.

Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Menkeh HAM) era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu menilai, Majelis Etik Dewas KPK juga mengetahui jika pelanggaran etik berat terbukti dilakukan Firli, maka sanksi paling berat yang dapat dijatuhkan adalah permintaan kepada Firli untuk mengundurkan diri.

Padahal, tegas dia, para anggota Majelis Etik Dewas KPK sudah tahu bahwa Firli sudah mengajukan permohonan pengunduran diri kepada Presiden.

"Keputusan Majelis Etik Dewas KPK pada hemat tidak menghasilkan apa-apa kecuali menambah kegaduhan politik menjelang pelaksanaan Pemilu 2024," ungkapnya.

Menurut dia, Tumpak juga telah menyatakan bahwa putusan tersebut sudah disampaikan kepada presiden. Pernyataan Tumpak itu kata Yusril, menempatkan seolah-olah presiden adalah eksekutor putusan Majelis Etik Dewas KPK.

"Padahal, kewenangan Dewas adalah menjatuhkan sanksi meminta Firli untuk mengundurkan diri kepada Presiden. Arogansi kekuasaan seperti ini adalah problema etik yang justru dilakukan oleh Ketua Majelis Etik Dewas KPK," terang Yusril.

Untuk itu, Yusril menyarankan kepada Sekretariat Negara, bahwa dalam memproses pemberhentian Firli tetap merujuk kepada permohonan Firli sebelum adanya putusan Majelis Etik Dewas KPK.

"Untuk menghormati Keputusan Majelis Etik yang muncul belakangan, maka dalam konsideran Keppres dapat dicantumkan Putusan Majelis Kode Etik Dewas KPK itu sebagai sesuatu yang juga turut dipertimbangkan oleh presiden dalam mengambil keputusan tersebut," pungkas Yusril.

ikuti terus update berita rmoljatim di google news