Bagi-Bagi Angpao

Rosdiansyah/Ist
Rosdiansyah/Ist

SEBUAH video sedang viral. Tampak seorang pendakwah beken, biasa memakai blangkon hitam, sedang membagi-bagikan uang ke warga secara bergiliran. Sang pendakwah sudah sohor sebagai anggota tim kampanye paslon capres tertentu. Dengan santai diiringi seringai senyum, ia membagikan duit ke warga calon pemilih di sebuah lokasi. Warga menerimanya, lalu mencium telapak tangan sang pendakwah. Kapan video ini direkam, masih belum jelas. Yang sudah pasti, video ini beredar sehari atau dua hari belakangan ini.

Reaksi spontan bermunculan di berbagai WA Group. Sebagian besar mempertanyakan sikap Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Belum tampak sikap tegas Bawaslu. Wajar semburat reaksi negatif dari warga bernalar waras kepada perilaku pendakwah berblangkon itu. Sebab, momen-momen kampanye sejatinya untuk menebar gagasan, mengedukasi warga serta memberi kesempatan warga berdialog dengan paslon capres. Bukan berbagi angpao guna mempengaruhi warga memilih paslon capres yang didukung si pendakwah.

Ada yang berkilah, perbuatan pendakwah itu sah-sah saja karena si penIdakwah hanya memberi duit dan tak meminta warga penerima duit untuk memilih paslon capres yang didukung pendakwah. Kilah ini tentu saja lemah. Sebab, jika tujuan atau motifnya hanya untuk berbagi duit, tidaklah harus memunggu momen kampanye. Bagi-bagi duit bisa dilakukan pada momen-momen lain dan bisa dilakukan sesering mungkin tanpa perlu menunggu momen kampanye.

Maka, gampang ditebak. Pembagian duit pada momen kampanye jelas berkait pada upaya mempengaruhi warga. Upaya membeli suara warga sebelum hari pencoblosan. Ibarat ijon, bagi-bagi duit sebelum pencoblosan, itu mirip mengijon suara. Persis perilaku tengkulak. Menyuap warga, mencari suara. Ia berharap, warga sudah terikat ''kontrak'' dengan pemberi duit sebelum hari pemberian suara di bulan Februari 2024.

Bagi penyogok, suara pemilih adalah komoditi. Sebagai komoditi, suara bisa diperjualbelikan. Tak ada harkat apalagi martabat dalam komoditi itu. Moneytalks, duit bicara. Penyogok berpikir, suara pemilih layak dibeli. Sejatinya, penyogok mengubah momen kampanye menjadi apa yang disebut Gilles Deleuze dan Felix Guattari (1983) sebagai ''The Desiring-Machine'' (Mesin Keinginan). Momen kampanye bukan lagi momen penting menyebarkan gagasan, melainkan diubah semata menjadi momen mengeruk komoditi. Tak ada keinginan menyerap gagasan. Yang ada hanyalah keinginan meraup kepeng.  

Penyogok menjadikan momen kampanye saatnya mengiming-iming fulus pada warga, tak ada urusan dengan masa depan warga. Bukan pula berkait pada hasrat warga demi meningkatkan taraf kehidupan. Buat penyogok, suara adalah komoditi. Ada komoditi, ada duit.  

Pengubahan orientasi pemilih semacam itu jelas tak beretika, utamanya untuk membangun proses demokrasi yang bermartabat. Penyogok hanya berpikir bagaimana cara praktis meraup kemenangan, sama sekali tak memikirkan masa depan rakyat. Tak ada etika dalam benak penyogok. Penyogok hanya berpikir ''jual-putus''.

Usai dapat suara pemilih, usai pula semuanya. Baginya, keinginan rakyat hanyalah perkara duit. Bukan sedekah gratis, bukan pula sekadar infak. Namun, benarkah rakyat pemilih akan selugu itu nanti di hari pencoblosan? Kita lihat saja.

Peneliti di Surabaya