DPR RI mempertanyakan ketidakhadiran aplikator transportasi online Grab dan Gojek dalam agenda Focus Group Discussion (FGD) bersama Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI yang membahas penataan ulang regulasi transportasi online yang berkeadilan.
- Suarakan Kesejahteraan Sopir, Legislator PDIP Semprot Petinggi Perusahaan Angkutan Online
- Cerita Adian Ketika Risma Telepon Tengah Malam, Saat Isteri Sudah Dasteran
- Waspadai Potensi Kecurangan, Adian Napitupulu Sebut 48 Juta Kertas Suara Tak Terpakai
Wakil Ketua BAM DPR RI Adian Napitupulu mengatakan, DPR adalah lembaga tinggi negara dan berfungsi sebagai lembaga yang proaktif dalam menjembatani suara rakyat.
Menurut Adian, kehadiran dalam diskusi ini berarti menghargai keberadaan lembaga, peran, dan fungsi-fungsinya sehingga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
"Kalau mereka Grab dan Gojek tidak menghormati lembaga tinggi negara maka kita juga bisa tidak menghormati mereka,” kata Adian dikutip RMOL, Kamis 15 Mei 2025.
FGD tersebut dihadiri oleh perwakilan sejumlah kementerian. Mulai dari perwakilan Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemendigi), Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) dan Kementerian UMKM.
Perwakilan aplikator Maxim hadir dalam acara tersebut. Sementara perwakilan Grab dan Gojek tidak hadir meski telah mendapatkan undangan.
Setidaknya 12 perkumpulan ojek online terdata hadir dalam forum tersebut, termasuk Serikat Pengemudi Online Indonesia (SEPOI), Koalisi Ojol Nasional (KON), Forum Komunitas Driver Online Nasional (FKDOI), Organisasi Angkutan Sewa Khusus Indonesia (ORASKI), dan berbagai asosiasi pengemudi online lainnya.
Dalam kesempatan itu, Adian menegaskan bahwa forum ini menjadi penting, karena menyangkut nasib sekitar 20 juta jiwa yang tergantung pada sektor transportasi online.
"Ada perubahan yang bisa berjalan ke depan dari pembicaraan ini walaupun sebenarnya saya juga agak ragu. Kalau kita lihat komposisinya, di sini ada DPR RI yang membuat undang-undang, ada Korlantas nanti yang mengawasi pelaksanaannya di lapangan, ada Kemenhub yang membuat regulasi Permenhub," terangnya.
Sekjen Pena 98 ini menekankan, forum ini harus fokus pada peningkatan kesejahteraan pengemudi, bukan sekadar perdebatan istilah.
"Sebenarnya yang mereka (driver online) inginkan hari ini, mendengar bagaimana nasib anak kami, bagaimana nasib istri kami, bagaimana sekolah anak kami. Itu artinya bicara bukan nama, bukan istilah, tapi pendapatan," tegas Adian.
"Sederhananya ada lima juta dalam catatan kami driver online. Kalau rata-rata punya dua anak berarti ada 10 juta jiwa. Kalau rata-rata punya satu pasangan hidup, ada lima juta lagi. Jadi pembicaraan kita di ruangan ini sedikit banyak akan menentukan paling tidak 20 juta jiwa di sana," tambahnya.
Dia menyatakan, bahwa pertemuan dengan berbagai pihak selama ini belum menghasilkan perbaikan konkret bagi para pengemudi online.
"Saya tidak mau pertemuan yang kesekian kalinya ini berlaku hal yang sama. Saya mau kita fokus pendapatan mereka, karena anak mereka, istri mereka, keluarga mereka tidak makan dari istilah-istilah itu, mereka makan dari pendapatannya," ujar Adian.
Direktur Angkutan Jalan Perhubungan Darat Kemenhub RI Mustohir di tempat yang sama menjelaskan, beberapa aspek penting terkait transportasi online.
"Kami terus melakukan upaya harmonisasi regulasi transportasi online, mengingat tantangan yang semakin kompleks di era digitalisasi. Regulasi eksisting memang perlu ditinjau kembali, untuk mengakomodasi perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat," kata Mustohir.
Sementara itu, Dirjen Kemenaker RI Indah Anggoro Putri, memaparkan isu hubungan kerja dalam transportasi online.
"Ada perbedaan mendasar antara konsep hubungan kerja dalam UU Ketenagakerjaan dengan kemitraan di gig economy. Kami sedang menggodok inisiatif perlindungan pekerja sektor informal termasuk driver online," ujar Indah.
Yang menarik, saat Direktur Eksekutif Modantara, Agung Yudha, berbicara tentang gig economy, para peserta FGD melakukan aksi protes dengan berteriak sambil duduk berputar menghadap ke belakang.
"Gig economy merupakan fenomena global yang mengubah paradigma hubungan kerja tradisional. Indonesia perlu belajar dari pengalaman negara lain, dalam mengatur hubungan kerja pekerja gig economy, namun tetap memperhatikan konteks lokal," kata Agung di tengah aksi protes.
5 Aspirasi Komunitas Pengemudi Online
Adapun komunitas pengemudi online menyampaikan lima aspirasi utama. Pertama, mereka meminta Kemenhub RI untuk menaikkan tarif sebesar 10 persen karena selama tiga tahun tidak ada kenaikan. Kedua, para driver menginginkan status sebagai pekerja, jaminan sosial ketenagakerjaan, serta payung hukum sebagai pekerja.
Aspirasi ketiga, para driver berharap Korlantas Polri menyediakan payung hukum terkait faktor keselamatan di setiap daerah. Keempat, mereka meminta segera diadakan ketok palu untuk menurunkan pajak aplikasi dari 20 persen menjadi 10 persen.
Terakhir, mereka menuntut negara hadir memberikan perlindungan kepada kaum disabilitas driver online.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- 8 Dapur Gizi Berdiri di Surabaya, Wujud Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat
- Polisi Dituding Kaburkan Fakta Kematian Mahasiswa UKI
- Bahas Target Ekonomi 8 Persen, Rizki Sadig Soroti Kesenjangan Digital dan Nasib Petani Gurem