Pendatang Non Muslim Ditolak Di Bantul- Maruli: Tak Boleh Terjadi Lagi

Mantan kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Maruli Hutagalung prihatin dengan berita viral tentang adanya warga non Muslim yang tidak diperbolehkan tinggal di Pedukuhan Karet, Desa Pleret, Kabupaten Bantul. Bahkan, penolakan itu dilegalkan dalam surat keputusan kepala dusun dan dijalankan oleh para pengurus RT.


Maruli mengatakan, adalah hak bagi setiap warga negara untuk hidup dan mempertahankan hidup serta kehidupannya sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan konstitusi negara.

”Tidak peduli dia beragama apa pun, sepanjang dia tidak berbuat kejahatan dan mengganggu orang lain, boleh tinggal di mana pun. Para tokoh agama kita, para ulama, kiai, pendeta, pastor, biksu, pedanda, semua tidak ada yang mengajarkan diskriminasi,” jelas Maruli yang kini menjadi calon anggota DPR RI dari Partai NasDem untuk daerah pemilihan Surabaya dan Sidoarjo.

UUD 1945, sambung Maruli, telah menjamin kehidupan beragama setiap warga negara. Dalam Pasal 28 E UUD 1945 disebutkan bahwa setiap orang berhak memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pekerjaannya, kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak untuk kembali.

Seperti diketahui, di media telah viral berita adanya warga pendatang baru yang ditolak saat hendak tinggal di Pedukuhan Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul, Yogyakarta karena yang bersangkutan adalah seorang non-muslim. Warga bernama Slamet Jumiarto dan keluarganya ditolak ketika menyewa rumah di RT 08, Pedukuhan Karet, Desa Pleret, Bantul, DIY.

Dasar penolakan itu adalah karena adanya aturan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kelompok Kegiatan (Pokgiat) tentang persyaratan pendatang baru. Surat Keputusan Nomor 03/POKGIAT/Krt/Plt/X/2015 itu menyebutkan bahwa pendatang baru harus beragama Islam. Akan tetapi Slamet dan keluarganya beragama Katolik, sehingga ia ditolak untuk tinggal di daerah tersebut. Penolakan dilakukan oleh pengurus RT dan diketahui kepala dusun setempat.

”Surat keputusan dusun yang diskriminatif itu harus direvisi. Semestinya pemerintah daerah setempat melakukan supervisi dan memonitor, sehingga tidak perlu sampai ada preseden diskriminatif semacam ini,” pungkas politisi Partai NasDem itu.[bud/aji]

ikuti terus update berita rmoljatim di google news