Rekonsiliasi yang diwacanakan pasca Pilpres 2019 tampaknya masih jauh panggang dari api. Sebab, rekonsiliasi dimaknai dengan pragmatis yaitu bagi-bagi kursi.
- DPRD Jatim Minta Bakorwil Maksimal Serap Anggaran APBD 2025
- Bu Nyai Surabaya Ikrar Dukung Eri Cahyadi Jadi Wali Kota Penerus Risma
- Bupati Lamongan Instruksikan OPD Dan Camat Sosialisasikan SE Gubernur Jatim Soal Penyelenggaraan Sholat Idul Fitri
Menurutnya, karena itulah baik pendukung Jokowi-Maruf dan Prabowo-Sandi sama-sama keberatan dengan yang namanya rekonsiliasi.
Pendukung Jokowi-Maruf keberatan karena mereka sudah merasa bekerja dan berjasa, dan sekarang saatnya mereka mendapatkan jatah kursi, bukan malah dibagi-bagi kepada parpol pendukung Prabowo-Sandi.
Pendukung Prabowo-Sandi umumnya non parpol, mereka juga banyak yang yang keberatan dengan rekonsiliasi karena apa yang mereka perjuangkan selama ini akan menjadi sia-sia.
"Padahal rekonsiliasi politik itu bagus jika tujuannya baik, yaitu untuk rakyat. Karena kemarin pilpresnya tegang, di medsos apalagi, lewat rekonsiliasi diharapkan cair dan bersatu, jadi tidak harus bagi-bagi kekuasaan," ujar Iwel.
Rekonsiliasi yang dimaksud yaitu, menerima keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Kembali ke demokrasi yang normal yang ada penguasa dan oposisinya.
"Jadi, biarlah parpol pendukung 01 di pemerintahan dan pendukung 02 jadi oposisi. Pemerintah dan oposisi harus sama-sama berjalan dengan baik tanpa ada hujatan dan kebencian," demikian Iwel Sastra.[bdp]
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Gus Yani Siap Perjuangkan Gresik United Kembali Berjaya
- Soal Capres dan Cawapres, Ridwan Kamil Masuk Radar Koalisi Indonesia Bersatu
- Demokrasi Lemah di Era Jokowi, The Economist Tidak Mungkin Asal Kritik