Jamus Kalimasada

BAGONG NJAMBAL (15)


BAGONG dan Gareng terguling-guling setelah tubuhnya dihempaskan Prabu Welgeduwelbeh. Bagong mendarat ke parit sawah. Hampir separuh wajahnya masuk ke endhut. Gareng masuk kali. Byurr!

Keduanya beranjak bangun. Bagong merasakan punggungnya seperti mau patah. Gareng pun demikian. Keduanya berdiri tegap. Menatap satu sama lain. Lalu tertawa bersama. Menertawai kelucuan wajah masing-masing.

Namun Bagong dan Gareng justru heran. Prabu Welgeduwelbeh kok tiba-tiba kabur dalam peperangan. Batang hidungnya sudah tidak kelihatan. Padahal belum ada yang menang dan kalah.

“Oh dasar raja pengecut!” Celetuk Gareng.

“Sama batur saja takut,” Bagong menambahi.

Dari kejauhan mendekatlah Antasena. Anak Werkudara yang ndugal kewarisan ini berjalan dengan tegap. Kesaktiannya tiada tertandingi. Jangankan titah (manusia), jawata (dewa) saja diajak gelut. Antasena tidak takut dengan siapa saja. Bahkan bapaknya saja dilawan kalau salah.

Semua para lancur Pendawa menaruh hormat pada Antasena, meski usianya paling muda bersama Wisanggeni. Tapi keduanya disegani.

Di hadapan Bagong dan Gareng, Antasena seperti mau melapor. Bahwa dia beserta anak-anak Pendawa berhasil mengalahkan prajurit-prajurit Welgeduwelbeh.

“Semua prajurit Welgeduwelbeh sudah kalah. Sekarang di mana rajanya?” Tanya Antasena.

Bagong dan Gareng ingak-inguk. Saling berpandangan. “Anu, Den, kabur,” jawab Bagong.

“Ladalah, kok kabur. Apa kalian sudah menang?” Tanyanya lagi.

“Belum menang dan belum kalah, Raden. Waktu kita keroyok, kita pukuli, kita jambak, Welgeduwelbeh diam saja. Dia tidak bales. Malah berusaha menghindar. Dan sekarang kabur,” balas Gareng.

Antasena sebenarnya tahu Prabu Welgeduwelbeh tidak akan membalas pukulan Punakawan. Sebelum pergi perang, Antasena diberitahu Prabu Dwarawati bahwa Ratu Lojitengara itu hanya bisa dikalahkan oleh Punakawan.

Antasena dibisiki, kalau Prabu Welgeduwelbeh adalah Petruk Kanthong Bolong yang telah mencuri pusaka Pendawa, yakni Jamus (Jimat) Kalimasada. Dengan kesaktiannya, Petruk kemudian duduk di kerajaan Lojitengara.

Siapa yang berani melawannya, akan dilawan balik. Seberapa pun kekuatan lawannya, Welgeduwelbeh akan mudah mengalahkannya. Bahkan meskipun dikeroyok oleh anak-anak Pendawa sekalipun, Welgeduwelbeh tidak akan kalah. Tapi dia akan keder jika melawan saudara-saudara Punakawannya.

Terbukti, dalam peperangan itu Welgeduwelbeh kabur. Dia tidak ingin identitasnya terbongkar. Namun demikian, Antasena tidak marah pada Bagong dan Gareng. Justru keduanya disuruh balik ke Karang Kadembel untuk menemui Semar Badranaya. Sebab, ada hal mendesak yang harus segera diselesaikan.

“Ya sudah, kalian kembali ke Karang Kadembel. Temui bapakmu. Sekarang negara dalam keadaan genting. Biarkan saja Welgeduwelbeh kabur di medan perang. Itu menandakan bahwa dia memang ratu kucluk. Saat negara genting, ratu malah minggat dan membiarkan rakyatnya mati,” kata Antasena.

“Ampun, Ndoro. Ada urusan genting apa?” Bagong bertanya.

“Kalian sudah tahu. Seantero negeri kedatangan pagebluk. Ini urusan penting tidak bisa ditunda lagi. Hanya bapakmu yang bisa menyelesaikannya. Nanti aku tunggu di Ngamarta,” sahut Antasena.

Mereka pun berpisah.

Antasena balik ke anak-anak Pendawa. Berembuk sebentar. Lalu mereka pergi. Antasena dan Antareja ambles ke bumi. Gatot Kaca, Wisanggeni dan Abimanyu terbang ke angkasa dan menghilang di balik awan.

Tinggal Bagong dan Gareng. Keduanya berjalan pulang menuju Karang Kadembel.

Sesampainya di rumah Ki Lurah Semar, Bagong dan Gareng langsung menghadap. Di belakang Semar berdiri Petruk.

Bagong datang langsung menampar wajah Petruk. Plokk!

“Ke mana aja. Waktunya orang perang kok leyeh-leyeh,” seru Bagong.

“Bagong wedhus. Gundulmu melocot. Apa kamu tidak tahu aku di rumah menemani bapak mengurusi rakyat,” sahut Petruk yang tak lain jelmaan pethel milik Petruk yang ditinggal.

Jangankan Bagong dan Gareng, Semar sendiri tidak tahu kalau Petruk yang asli berada di Kerajaan Lojitengara. Nah, pusaka pethel yang di Karang Kadembel justru mereka kira Petruk asli.

“Mer, ada urusan genting apa?” Bagong njambal ke bapaknya sembar membuka percakapan.

“Eh, Bagong Gareng, sehat, Tole! Menang nggak lawan Welgeduwelbeh?” Tanya Semar.

“Nggak menang dan nggak kalah, Welgedhuwelbeh minggat,” Gareng menyahuti dengan beringsut.

“Yo wis tidak apa-apa. Sekarang ada urusan genting yang perlu kalian tahu. Negeri ini sudah kedatangan pagebluk. Saben hari ada saja masyarakat kita yang mati. Pagi sakit siangnya mati. Sore sehat malamnya mati. Begitu seterusnya,” kata Semar.

“Pagebluk sudah memakan banyak korban. Wabah ini sudah menjalar hampir seiisi dunia. Karena wabah pagebluk, orang-orang mulai takut keluar rumah. Rakyat sekarang mirip binatang. Memasung diri dalam rumah. Sementara binatang berada di luar rumah. Rumah-rumah ibadah sepi. Pasar sepi. Kota sepi. Desa sepi. Anak-anak belajar diliburkan. Orang tidak lagi kerja karena takut pagebluk. Tuhan dalam waktu singkat dilupakan. Semua mencari amannya sendiri. Berbondong-bondong meninggalkan negara, pergi ke negara lain mencari tempat berlindung. Padahal kondisinya juga sama. Di mana kita berada tidak bisa menghindar dari pagebluk. Ekonomi negara ambruk dalam waktu singkat,” tutur Semar.

“Yo wis ben, Mer. Modar ben modar. Kalau sudah waktunya modar kenapa mesti takut. Semua itu terserah dewa mau menurunkan balaknya di mana. Semua orang cuma antre mati. Terserah Yamadipati mau menurunkan mautnya di mana. Kita manut saja,” sahut Bagong geregetan.

“Ya tidak begitu juga, Tole. Mati memang urusan Sing Makaryo Jagad. Tapi sebagai manusia, kita bisa berbuat sesuatu untuk memulihkan keadaan ini.”

Mendengar kata-kata Semar, Bagong langsung beranjak berdiri. Hatinya muntub-muntub. Amarahnya sebentar lagi meledak. Tangannya berkacak pinggang. Seperti orang menantang.

“Eh Bagong, mau apa kamu?” Tanya Semar.

“Ini semua salah Welgeduwelbeh, Mer,” bentak Bagong, “Kalau dia sejak awal mawas, pagebluk tidak mungkin masuk ke negeri ini. Jadi ratu kok bisa nyocot, thok!”

“Semua orang sebelumnya telah mewanti-wantinya datangnya pagebluk. Tapi dasar kuping Welgeduwelbeh budhek. Atau dia dan cecunguk-cecunguknya yang goblok itu, tidak bisa menerka datangnya pagebluk. Terutama cecunguknya yang urusan kesehatan rakyat itu. Gebleknya minta ampun. Coba sejak awal negara ini ditutup, pasti tidak begini jadinya. Eh, malah dengan gagahnya Welgeduwelbeh bilang negara ini tidak bisa kemasukan pagebluk. Orang seperti Welgeduwelbeh tidak layak memimpin negeri, apalagi sampai dua kali. Hancur semua tatanan negeri ini,” umpat Bagong.

“Eh Bagong, wis ndak perlu nesu-nesu. Semua sudah ada jalarannya. Ayo duduk!” Perintah Semar.

“Emoh, Mer. Aku berdiri aja,” jawab Bagong.

“Ayo duduk atau tak entuti modar kowe,” ancam Semar.

Bagong keder mendengar ancaman Semar. Kalau Semar sudah marah, kentutnya bisa membuat orang sesakti apapun tidak berkutik.

“Aku berdiri ini karena punggungku sakit, Mer. Tadi baru perang lawan Welgeduwelbeh,” balas Bagong mencari-cari alasan.  

“Terus bagaimana solusinya, Pak?” Gareng bertanya.

“Begini anak-anakku semua,” Semar berkata lirih, “Pagebluk ini hanya bisa diatasi jika aku bisa membangun kahyangan. Sekarang kalian menghadap Prabu Darmakusuma. Sampaikan pada Ndoromu, kalau Semar mau bangun kahyangan. Semar butuh tiga pusaka Kerajaan Ngamarta. Antara lain Jamus Kalimasada, Payung Kencana atau Payung Tunggulnogo dan Tombak Kolowelang. Paling utama Jamus Kalimasada harus bisa didatangkan ke Karang Kadembel bersama kelima para Pendawa,” jawab Semar.

“Kenapa harus Jamus Kalimasada dan Pendawa, Mer?” Bagong mulai ikut nimbrung.

“Begini, Tole. Pagebluk ini harus disingkirkan dengan ketiga pusaka tersebut. Tapi pusaka Jamus Kalimasada adalah pusaka paling kuat. Jamus Kalimasada merupakan pusaka ampuh untuk mengayomi rakyat seantero negeri. Makmur, hidup, dan matinya rakyat tergantung pusaka ini. Meskipun negeri ini dipimpin oleh lima Pendawa, tapi tanpa pusaka Jamus Kalimasada, negeri ini tidak ada apa-apanya. Seperti tong kosong nyaring bunyinya,” tukas Semar.

“Jika Pendawa kehilangan pusaka ini, maka hilanglah semua keanugrahan. Jika Pendawa lupa dengan pusaka ini, maka lupalah semua keanugrahan negeri. Meski Jamus Kalimasada hanyalah sebuah kitab, tapi harus sering-sering diamalkan agar anugerah selalu menyertai kita. Dari penerawang panca welingku, pusaka Jamus Kalimasada ini sudah lama ditinggalkan Pendawa, begitu juga rakyat. Sehingga pagebluk dengan mudah datang. Dan saat pagebluk datang, semua orang takut. Rakyat bukannya kembali mengingat Sang Hyang Jagad, tapi malah mencari amannya sendiri. Semua takut mati. Ratu takut mati. Pemuka agama takut mati. Ksatria takut mati. Rakyat takut mati. Kalau semua takut mati, bagaimana kita bisa menghapus pagebluk dari negeri ini. Padahal Sang Hyang Jagad selalu ada bersama kita. Tapi kita tidak tahu betapa dekatnya Sang Hyang Jagad ini. Karena itu anakku, Gareng, Petruk, Bagong, aku mau membangun kahyangan karena ingin mengembalikan anugerah itu kepada rakyat. Dan agar rakyat kembali mengingat Tuhannya. Ramaikan lagi rumah-rumah ibadah. Ramaikan lagi pasar. Kalau pun ada pagebluk, mari bersama-sama melawan pagebluk dengan hati ikhlas dan mawas karena Sang Hyang Jagad, bukan saling menyalahkan, bukan mencari aman sendiri,” tutur Semar.

“Sendiko dawuh, Pak!” Punakawan serempak mengamini.

“Nah, sekarang Bagong dan Gareng berangkat ke Ndoromu Ngamarto. Bilang Semar mau bangun kahyangan. Semar mau pinjam Jamus Kalimasada tapi harus Pendawa sendiri datang membawa pusaka itu ke Karang Kadembel,” perintah Semar.

Bagong dan Gareng mengiyakan. Mengapurangcang pada Semar lalu pergi meninggalkan Karang Kadembel menuju Ngamarta.

Noviyanto Aji

Wartawan RMOLJatim