Precil-precil Lojitengara

BAGONG NJAMBAL (18)


BAGONG duduk bersila di depan Prabu Darmakusuma. Selalu mengapurancang jika mau bicara. Punakawan ndugal kewarisan ini bicara seperti tidak ada jluntrungannya. Terus ngerocos. Ngerocos terus. Taka da ujung pangkalnya.  

Sesekali Gareng njawil. Mengingatkan agar Bagong tidak sembarangan bicara di depan sang prabu dan bendara lain. Bagong menolak. Malah ngeyel. Makin ugal-ugalan nadanya.

Gareng sempat ditegur Prabu Dwarawati, dengan mengangkat telunjuk di mulut seperti isyarat agar tidak menganggu adiknya yang sedang bicara.

Tampaknya semua sepaham dengan Bagong. Kata-katanya yang meluncur seperti mewakili perasaan rakyat jelata. Bagong mungkin orang yang tidak punya tata krama. Sembrono. Asal bacot. Tapi para bendara suka dan memaklumi. Sebab, Bagong selalu jujur. Tidak ada kepalsuan seperti yang dilakukan Prabu Welgeduwelbeh beserta cecunguk-cecunguknya.

“Saya katakan lagi, Ndoro,” Ki Lurah Bagong kembali matur, “Saya melihat rakyat di Desa Karang Sembung mengalami krisis. Rakyat Karang Kadembel juga. Semua desa nasibnya sama. Akibat pagebluk rakyat banyak yang mati. Pagi sakit siang mati, siang sakit sore mati, sore sakit malam mati,” jelasnya.

Karena itu dia meminta agar rencana Semar membangun kahyangan segera direalisasikan. Caranya dengan mencari pusaka Jamus Kalimasada yang “loncat” dari istana.

Menurut Bagong, semua kawula sudah tidak tahan dengan pagebluk. Selain berjatuhan korban, mereka juga terdampak. Ekonomi terpuruk. Susah cari mata pencaharian dengan layak.

“Saya kasihan dengan rakyat. Mereka takut keluar rumah. Jika keluar takut dibunuh prajurit Welgeduwelbeh. Rakyat kecil dicap pembawa pagebluk. Padahal pagebluk itu datang dari negeri seberang. Yang membawa orang-orang kaya. Juragan. Pengusaha. Yang sukanya ngelencer. Mengapa sekarang rakyat malah disuruh berdiam di rumah. Malah kita disuruh melindungi yang kaya. Padahal selama di rumah rakyat justru dilanda kelaparan. Di luar bahaya pagebluk menghadang. Belum lagi bromocorah-bromocorah yang dibebaskan Dursasana. Ini koplak,” seru Bagong bersungut-sungut.

Ya, rakyat dilarang panik. Tidak boleh takut melawan pagebluk. Tapi justru rakyat dibuat ditakut-takuti. Rakyat dibelenggu di rumahnya sendiri. Sementara para bromocorah, penjahat, penjudi, pembunuh, hingga pemerkosa dibebaskan. Mereka ini yang membuat takut rakyat. Begitu pula dengan prajurit Lojitengara dan Ngastina. Mereka sungguh kejam terhadap rakyat. Yang berani keluar rumah akan ditusuk tombak. Dimasukkan pakunjara.

“Rakyat tidak salah dipakunjara. Yang salah dibebaskan. Welgeduwelbeh benar-benar gila. Tidak peduli pada rakyat. Nasib rakyat diombang-ambing. Kebijakan demi kebijakan yang dibuat Welgeduwelbeh dan cecunguk-cecunguknya sangat menyakiti hati rakyat. Saya tidak tahan melihat penderitaan rakyat semakin menjadi-jadi,” ujar Bagong sesenggukan.

Gareng menepuk pundak Bagong. Memastikan adiknya baik-baik saja. “Kenapa kok menangis, Gong?” Tanyanya.

“Luwe, Reng. Dari tadi ngomong nggak disugihi apa-apa. Kerajaan kere. Ada dayoh nggak dikasih apa-apa,” sahutnya sembari memegang perutnya yang keroncongan.

“Oh dengkulmu melocot, Gong!” Gareng pun memukul kepala Bagong dari belakang.

“Asuuu, sakit tahu. Kepala kok dikeplak,” balas Bagong pringisan. 

Bagong lantas melanjutkan. Sejak Welgeduwelbeh menyerang kerajaan dan tak seorang pun ksatria yang mampu menandingi kedigdayaannya, Welgeduwelbeh membawa pengaruh buruk bagi seantero negeri.

Dan yang paling membuat Bagong jengkel adalah sepak terjang Duryudana. Menjadi setengah raja dan setengah cecunguk yang dipercaya Welgeduwelbeh, pimpinan Kurawa itu selalu membuat kebijakan sepihak. Selalu merugikan rakyat.

Semua urusan dalam negeri diurusi. Benar-benar rakus Duryudana. Kata-kata yang keluar dari mulutnya seperti racun.

“Duryudana ini sangat berbahaya. Tega menyakiti rakyat. Bikin ulah. Negara dibuat geger. Pengacau. Sumber hoax. Sebut pagebluk akan mati karena cuaca panas. Dasar kentir. Sama-sama kentirnya dengan Welgeduwelbeh,” umpat Bagong.

Merasa berada di atas awan karena di-back up Welgeduwelbeh yang berhasil mengalahkan Pendawa, Duryudana makin berani menginjak-injak rakyat.

“Duryudana bilang pagebluk yang sudah membunuh banyak orang belum seberapa bila dibandingkan jumlah rakyat. Dia bilang jumlah rakyat di Lojitengara, Ngastina, Ngamarta, Dwarawati, Mandura, Pringgadani, hingga Pancala sangat banyak. Dan yang mati karena pagebluk masih sedikit. Kata-kata Duryudana sangat menyakitkan. Dia tidak paham penderitaan rakyat. Tidak punya rasa kamanungsan. Lambe Duryudana harus disobek-sobek,” njambal Bagong.

Yang lebih menyesakkan dada, precil-precil Lijotengara kini berniat mencari untung dari pagebluk.

“Precil bagaimana, Bagong?” Tanya Prabu Darmakusuma.

“Precil itu anak kodok, Ndoro. Sebelum jadi precil, jadi cebong dulu,” sahut Bagong.

“Aku wis weruh precil, Bagong. Maksud kamu Welgeduwelbeh memelihara precil di Lojitengara?”  

“Bener, Ndoro. Precilnya biasa saja, kalem, lemah lembut, manut kalau dielus-elus, tapi rakusnya bukan kepalang,” tutur Bagong.

“Lho…lho…sik Bagong. Apa hubungannya Welgeduwelbeh dan precil-precil,” Prabu Dwarawati tiba-tiba memotong ucapan Bagong.

“Anu sinuwun, precil itu anak-anak muda sukses yang direkrut Welgeduwelbeh,” jawabnya.

“Oh, precil yang kamu maksud anak muda,” balas Prabu Dwarawati. 

“Iyo, eh nggih, sinuwun!”

“Terus rakusnya bagaimana anak-anak muda itu?” Tanya Prabu Dwarawati.

“Oh, rakusnya memainkan uang negara. Main proyek. Ada precil yang memerintahkan seluruh tumenggung untuk melakukan sosialisasi penanganan pagebluk. Syaratnya semua tumenggung harus menggunakan jasa dia. Artinya precil Welgeduwelbeh ini sudah berani menggunakan wewenang yang bukan kewenangannya. Saya malah ada suratnya. Masih tak simpan. Ada stempel kerajaan. Nggak tahu asli atau palsu,” ujar Bagong.

Bagong lantas mengambil surat yang diselipkan di perutnya. Dibuka lipatan surat itu. Ditunjukkan pada Prabu Darmakusuma. Sebentar surat itu dilihat itu, dibaca.

“Ini stempel asli kerajaan,” jawab sang prabu yang diamini Bagong. Surat itu kemudian diberikan ke semua orang secara bergilir.

“Terus bagaimana Bagong?”

“Ya, terus ada precil yang memanfaatkan proyek pelatihan untuk para pengangguran. Kas negara dirampok ramai-ramai. Itu hanya modus saja. Precil yang menerima proyek mengatasnamakan ‘Bala Guru’.”

“Ladalah, kok berani pakai nama mirip namaku,” tiba-tiba Prabu Baladewa berjingkrak dari tempat duduknya. Nadanya tinggi. Suaranya menggelegar.

“Ampun sinuwun, itu hanya nama saja. Kalau ada kemiripan nama berarti memang ada unsur kesengajaan untuk memperburuk citra Prabu Baladewa.”

“Jelas itu. Dasar setan, iblis, demit. Dasar manusia tidak tahu tata krama,” umpat Ratu Mandura tersebut.

“Terus nama guru, apa ada kaitannya dengan Betara Guru?” Tanya Wisanggeni yang sedari tadi diam, kini angkat bicara.  

“Kurang paham, Raden. Barangkali pinjam nama Betara Guru. Yang jelas program ‘Bala Guru’ itu dibuat untuk mengajarkan anak-anak belajar. Intinya itu program untuk pengganti guru.”

“Ladalah, kok apik tenan, Bagong. Terus kelirunya di mana?” Jawab Wisanggeni.

“’Bala Guru’ memang bagus, Raden. Yang keliru si precil ini memanfaatkan jabatannya untuk mengeruk keuntungan pribadi. Welgeduwelbeh pun membiarkan kas negara dirampok. Saya yakin raja kentir itu minta jatah. Cecunguk-cecunguk Welgeduwelbeh juga minta jatah. Duit rakyat dirampok. Dibuat bancakan. Pokoknya kehadiran precil-precil ini sangat berbahaya. Mereka tidak paham sistem birokrasi. Lagaknya kalem tapi rakus. Punggawa kerajaan malah meminta precil-precil ini dimaklumi. Kerja saja nggak bisa. Bisanya menguras duit negara. Bagaimana cara kita memakluminya. Koplak,” timpal Bagong.

Dikatakan Bagong, precil-precil Welgeduwelbeh bakal merusak seluruh sistem tatanan negara. Negara bakal hancur. Yang namanya korupsi, kolusi, dan nepotisme jadi tontonan rakyat secara blak-blakan. 

“Welgeduwelbeh dan cecunguk-cecunguknya sudah merusak negara. Tapi kehadiran precil-precil ini makin menambah runyam. Negara dihancurkan dari dalam. Uang negara digerogoti pelan-pelan. Precil-precil ini bagai lintah penghisap darah. Kejam. Tidak punya rasa kamanungsan. Yang ada di pikiran mereka hanya urusan duniawi. Pelatihan bagi para pengangguran hanya akal-akalan precil Welgeduwelbeh untuk merampok uang negara. Mereka tidak peduli rakyat terkena pagebluk. Tidak peduli rakyat mati kelaparan. Yang penting mereka hidup bermewah-mewahan pakai duit negara,” terang Bagong.

Noviyanto Aji

Wartawan RMOLJatim