Goro-goro

BAGONG NJAMBAL (16)


SEPANJANG perjalanan menuju Kerajaan Ngamarta, Bagong ngomel-ngomel. Dia masih tidak habis pikir Prabu Welgeduwelbeh kabur dari medan perang.

Bagong ingat, sudah menggigit telinga Welgeduwelbeh kuat-kuat. Tidak puas dengan itu, rambut Sang Ratu dijambak. Malahan Gareng berkali-kali memukuli wajah Welgeduwelbeh. Matanya juga diculek. Tapi dasar Ratu Lojitengara itu memang digdaya. Ia tidak merasakan sakit sama sekali. Bahkan dengan kekuatannya, kedua Punakawan dihempaskan.

Justru saat pertempuran berlangsung, Bagong sempat mengenali bau keringat Welgeduwelbeh. Bau itu tidak asing. Bau yang saben hari dibaui. Bau sesama Punakawan. Bau kakangnya sendiri, Petruk.

Namun buru-buru Bagong menyingkirkan perasaannya. Sebab Petruk saat ini ada di Karang Kadembel bersama Semar. Sedang sibuk membantu masyarakat terkena pagebluk.

Petruk yang sekarang ini bersama Semar sejatinyajelmaan pusaka pethel. Pethel itu manut perintah tuannya. Sekalipun disuruh menjelma seperti tuannya. Meski hanya berupa pethel, namun pusaka tersebut sangat ampuh karena diberikan Betara Guru ke Semar dan diwariskan ke Petruk. Saking ampuhnya, jangankan Bagong dan Gareng, Semar pun tidak tahu kalau pethel itu hanya jelmaan Petruk.

Tidak terasa perjalanan telah sampai di pintu gerbang Ngamarta. Bagong dan Gareng berdiri di muka gerbang. Ragu untuk masuk. Punggawa kerajaan yang mengenali keduanya menyuruh masuk.

“Kalian sudah ditunggu Prabu Darmakusuma,” kata punggawa tersebut.

“Kita sudah ditunggu, Reng!”

Keduanya bergegas masuk.

Di istana tampak Prabu Darmakusuma ditemani Si Kembar di sampingnya, Nakula Sadewa. Berada di pinggirnya Prabu Yadipati dengan Kuku Pancanaka yang ampuh. Duduk di sebelahnya Permadi tak lain Prabu Madukara alias Arjuna.

Sri Betara Kresna juga hadir. Ditemani Prabu Mandura. Dan tentunya, senopati tangguh pilih tanding Sencaki.

Lalu ada lancur-lancur Pendawa, Antasena, Wisanggeni, Antareja, Gatotkaca, dan Abimanyu. 

Mereka tampaknya tidak sabar menunggu kedatangan Bagong dan Gareng yang membawa pesan dari Semar.

Suasana tampaknya mencekam. Maklum seiisi negeri sedang diserang pagebluk. Perkara pagebluk hingga kini belum ada solusinya.

Bahkan daerah-daerah di bawah kekuasaan Ngamarta sudah menutup diri dari dunia luar.

Sebaliknya, Kerajaan Lojitengara yang dipimpin Prabu Welgeduwelbeh dan telah menaklukkan banyak kerajaan serta menguasai separuh kerajaan di dunia, hingga kini belum mengambil kebijakan penting.

Ngamarta termasuk kerajaan yang sudah kalah perang tapi belum tunduk. Dwarawati dan Mandura juga begitu. Ketiga kerajaan itu masih melakukan perlawanan. Justru Ngastina yang sudah tunduk lebih awal pada Welgeduwelbeh.

Bagong dan Gareng menghadap Prabu Darmakusuma. Duduk manembah. Tangan mengapurancang.

“Sembah saya Prabu Puntadewa,” kata Bagong. Diikuti pula dengan Gareng.

“Saya terima Bagong dan Gareng. Coba sekarang matur, pesan apa yang kalian bawa dari Karang Kadembel,” tanya Prabu Darmakusuma.

Bagong lantas menjelaskan prihal keinginan Semar membangun kahyangan. Dengan begitu pagebluk bisa segera berlalu. Namun untuk mewujudkan itu syaratnya Pendawa harus bisa menghadirkan tiga pusaka kerajaan ke Karang Kadembel, yakni Jamus Kalimasada, Payung Tunggulnogo dan Tombak Kolowelang.  

Mendengar itu, Prabu Darmakusuma langsung mengelus dada. Tidak dinyana, permintaan Semar yang mudah justru menjadi permintaan yang sulit dikabulkan.

“Bagong, Gareng,” berkata Prabu Darmasukuma lirih, “Saat ini aku tidak bisa memenuhi permintaan Kakang Semar.”

“Sebabnya, Ndoro?” Tanya Bagong penasaran.

“Pusaka Jamus Kalimasada hilang,” jawab Sang Ratu.

Bagai disambar petir, hati Bagong menjadi tratapan. Matanya berubah mendodong seperti Betarakala. Melihat Prabu Darmakusuma, Bagong seperti mau menantang. Marahnya tidak bisa ditahan-tahan.

Buru-buru Yadipati alias Werkudara mendekati Bagong dan mencolek.

“Mau apa, Gong. Ngamuk. Nantang. Ayo gelut,” tantang Werkudara yang memiliki tubuh besar dan berotot itu.

“Eh, Ndoro. Siapa yang ngamuk. Saya cuma melihat Prabu Darmakusuma,” kata Bagong, ciut nyalinya. 

“Matamu itu seperti mau menantang ratu!”

“Mata saya memang besar, Ndoro. Sudah Ndoro duduk saja, sare yang baik, yang tenang. Saya belum selesai matur ke Prabu Darmakusuma. Ndoro, sudah punya udhut,” sahut Bagong.

“Nggak punya.”

“Ini saya kasih udhut,” jawab Bagong sembari mempersilahkan Werkudara kembali ke tempatnya.

Seiisi kerajaan yang melihat pemandangan itu hanya bisa mesam mesem. Demikian pula Kresna.

“Gimana Werkudara, Bagong kok kamu ladeni, kalah toh!”

“Iya, asuuu Bagong,” sahut Werkudara dengan nada besar menggema.

Bagong kembali melanjutkan percakapannya dengan Sang Ratu. Dia penasaran hilangnya pusaka Jamus Kalimasada.

“Ampun sinuwun. Bagaimana bisa Jamus Kalimasada hilang?” Tanya Bagong penasaran.

“Dicuri.”

“Weleh, siapa yang berani mencuri pusaka kerajaan, sinuwun?”

“Dewi Mustakaweni, putri dari negara Imantaka, yang mencurinya. Dia menyamar sebagai kerabat Pandawa (Gatotkaca), dan berhasil membawa lari pusaka tersebut. Saya sudah perintahkan

Bambang Irawan dan Bambang Priyambodo (anak Arjuna) untuk merebut kembali. Tapi sampai sekarang mereka belum kembali,” cerita Prabu Puntadewa.

Sebenarnya saat Irawan dan Priyambodo merebut pusaka Jamus Kalimasada, keduanya mengajak Petruk. Setelah jimat berhasil direbut dari tangan Mustakaweni, kemudian dititipkan ke Petruk.

Di tengah perjalananan hendak mengembalikan pusaka ke Ngamarta, Petruk dicegat Adipati Karna. Petruk ditusuk dengan keris pusaka Kyai Jalak dan mati. Untung ada ayah asli Petruk bernama Gandarwa. Dia turun dari kahyangan dan menghidupkan Petruk.

Gandarwa berubah wujud menjadi Duryudana. Ketika Karna bertemu Duryudana Jimat Kalimasada diserahkan kepadanya. Jimat itu lantas diberikan ke Petruk agar diletakkan di atas kepala.

Merasa terperdaya oleh Gandarwa, Karna berusaha merebut kembali dari Petruk. Tapi Petruk keburu sakti. Dia sudah tahu cara menggunakan pusaka Jamus Kalimasada. Senjata dewa apapun tidak mempan menancap di tubuhnya. Karna pun berhasil dikalahkan.

Cerita ini yang kemudian putus dan tidak diketahui oleh Pendawa. Sebab Irawan dan Priyambodo terpisah dari Petruk. Mereka pun tidak berani pulang karena tidak kunjung mengetahui keberadaan Jamus Kalimasada yang sebenarnya sudah di tangan Petruk.

Berbekal pusaka sakti itu, Petruk mengembara. Semua negara ditaklukkan, hingga ia dapat duduk di dampar Lojitengara. Petruk menjadi raja bergelar Prabu Welgeduwelbeh. Sedangkan raja asli menjadi bawahannya.

“Kamu sudah membunuh Welgeduwelbeh, Bagong,” tiba-tiba Prabu Dwarawati membuyarkan suasana.

Semua mata tertuju ke Prabu Kresna. Semua bertanya-tanya mengapa Prabu Kresna menanyakan Welgeduwelbeh.

Sebenarnya Kresna tahu duduk permasalahannya. Dia tahu Welgeduwelbeh yang kini membawa Jamus Kalimasada dan digunakan untuk kekuasaan. Prabu Kresna hanya menceritakan hal ini pada Antasena. Bahkan Antasena diwanti-wanti untuk tidak menceritakan pada siapapun. Termasuk ke Prabu Darmakusuma.

“Ampun sinuwun, Welgeduwelbeh kabur saat perang,” jawab Bagong.

“Sudah kuduga.”

“Kok, Ndoro sudah tahu. Maksudnya bagaimana,” balasnya.

“Kalau kamu mau Jamus Kalimasada kembali dan pagebluk segera pergi dari negeri ini, jalan satu-satunya harus berperang lagi melawan Welgeduwelbeh. Sebab, Welgeduwelbeh yang kini menjadi sumber malapetaka,” terang Prabu Kresna.

“Bagaimana mau berperang sinuwun, dia sudah kabur!” Seru Bagong.

“Dia sudah kembali ke kerajaannya. Dan sekarang sudah menghimpun kekuatan yang lebih besar lagi. Semua kerajaan berkumpul termasuk Ngastina. Prabu Duryudana kini menjadi bawahan Welgeduwelbeh. Dia membawahi semua urusan kenegaraan. Statusnya hampir sama dengan raja,” tandas Prabu Kresna.

“Berarti kita melawan Kurawa,” sahut Bagong.

“Kurawa, Duryudana, Welgeduwelbeh, semua harus dilawan. Sebab mereka tidak becus memimpin negara. Adanya pagebluk akibat ulah mereka. Pagebluk datang ke sebuah negara ditandai dengan kepemimpinan ratu yang tidak adil, ratu yang tidak manembah pada Sang Hyang Jagad, ratu yang tidak bisa menyayomi kawula terutama melawan pagebluk. Dan sekarang ratu tersebut membawa rakyat menuju jurang kematian. Itu bukanlah sifat pemimpin.”

Kata-kata Prabu Dwarawati seketika membuat suasana kerajaan hening. Semua diam terpekur. Diresapi. Direnungi. Dalam pikiran mereka timbul perasaan sama, goro-goro bakal muncul. Perang terbesar manusia melawan keangkaramurkaan seperti yang diramalkan akan dimajukan lebih awal. Perang Baratayudha.

Noviyanto Aji

Wartawan RMOLJatim