Rombeng

Foto ilustrasi/Net
Foto ilustrasi/Net

BIASANYA tiap jelang Idul Adha atau Hari Raya Kurban, saya menulis cerita si Ali. Sebab cerita Ali sudah menjadi 'legenda' di kalangan jurnalis. Dia satu-satunya jurnalis Indonesia bahkan dunia yang bisa 'berbicara' dengan hewan kurban sebelum disembelih. 

Kali ini tidak ada cerita soal si Ali. Melainkan cerita teman satunya lagi. Yakni si Arif. Julukannya Rombeng. 

Mengapa dijuluki Rombeng? Karena dia seorang enterpreneur sejati. Istilah rombeng ditujukan pada orang-orang yang menjual barang-barang bekas. 

Nah, si Arif ini paling jago soal begitu-begituan. Barang apapun dijual. Dirombeng. Mau baru atau bekas. Bahkan dia juga menjual semua jasa. Pokoknya yang bisa dijadikan uang. Sampai-sampai dia mendapat julukan 'kepala sekolah jalanan' hingga 'kepala KUA jalanan'. Soal ini lain waktu akan saya ceritakan.

Arif adalah jurnalis. Sama dengan saya. Usianya masih muda. Orangnya keras juga pekerja keras. Cara bicaranya seperti petir. Kencang. Seperti tidak ada volume untuk mengecilkannya. Gayanya slengekan. 

Yang unik, rambutnya itu. Depan biasa, belakang panjang. Sedang sisi kanan kiri pendek. Persis makelar. 

Ke mana-mana Arif naik motor. Tapi tidak pernah pakai helm. Risih, katanya. Pakainya ya topi. Itu pengganti helm. 

"Kalau ditangkap polisi bagaimana?" 

"Ya silahkan saja tilang," jawabnya santai. 

Pernah suatu hari saya bikin berita. Kebetulan ngetik pakai handphone di depan dia. Saat itu saya tanya siapa nama Kapolda Jatim. Maklum, saya tahunya cuma Nico. Lengkapnya tidak tahu. 

Eh, si Arif malah menjawab tidak tahu. 

"Tidak tahu, Cak," lugasnya. 

Kemudian tak tanya nama Kapolrestabes Surabaya. Dia bilang tidak tahu lagi sembari geleng-geleng. 

"Sampeyan browsing google aja," singkatnya. 

Saya sempat berpikir, apa semua jurnalis harus tahu nama-nama Pati Polri. Ah, tidak juga. Toh, saya juga tidak tahu nama-nama mereka. Setidaknya jurnalis harus bisa menjadi jurnalis enterpreneur. Itu yang penting. Sebagaimana kata para senior. 

Jurnalis enterpreneur harus bisa 'berjualan'. Bisa berbisnis. Bisa bertahan hidup bukan dari media. 

Dan Arif tidak menjadikan profesi jurnalis sebagai penghasilan utama. Pekerjaan utamanya, ya itu tadi, enterpreneur. Bahasa kasarnya: makelaran.

Ya begitulah Arif. Dia tidak mengandalkan hidup dari media. Melainkan dari bisnis yang dilakoni. Media dijadikan sebagai 'kedok' - dalam arti positif - untuk memperluas jaringan bisnis. 

Di Hari Raya Kurban ini, Arif sedang sibuk-sibuknya keliling. Bukan untuk bikin berita, tetapi untuk tugas enterpreneurnya dia.

Apa enterpreneur Arif di Hari Raya Kurban? 

Dia membeli kulit hewan kurban. Ya, Arif sudah menyiapkan segalanya. Termasuk modal.

"Biasanya tiap Hari Raya Kurban saya keliling dari satu masjid ke masjid lain, dari satu sekolah ke sekolah lain (maklum dia kan 'kepala sekolah jalanan') untuk membeli kulit kurban," ujarnya.

Hasilnya lumayan. Kulit kurban nantinya dijual lagi. Arif mengaku punya pengepul kulit kurban.

"Pokoknya ada kulit kurban, saya datang," celetuknya.

Selamat Iedul Adha 10 Dzulhijjah 1443 Hijriyah.