2024 Butuh Pemimpin Inovatif

Peneliti pada JPIPNetwork, Rosdiansyah/Ist
Peneliti pada JPIPNetwork, Rosdiansyah/Ist

WALAU perhelatan Pilpres masih tahun 2024, namun tidak ada salahnya jika kita mulai menggulirkan gagasan pentingnya pemimpin inovatif. Pemimpin yang bukan sekadar mengikuti apa kata pembisiknya atau apa keinginan pengusungnya. Melainkan, pemimpin yang benar-benar menunjukkan kualitas prima dalam memimpin, berkomunikasi bagus serta mampu mengelola pemerintahan secara transparan serta akuntabel.

Di dunia bisnis dan perusahaan, perbincangan pentingnya pemimpin inovatif sebenarnya sudah lama berlangsung. Idem ditto di jagat birokrasi atau pemerintahan. Ujung perbincangan soal ini berkaitan pada upaya bertahan hidup. Dan inovasi sangat dibutuhkan agar bisa bertahan menghadapi tekanan, mengantisipasi perubahan cepat sekaligus beradaptasi pada situasi dinamis. Semua langkah inovatif sangat dibutuhkan agar persoalan segera terselesaikan. 

Selama ini, banyak pemimpin daerah yang telah menggulirkan inovasi program atau kebijakan di daerahnya masing-masing. Mereka melakukan replikasi program dari daerah lain lalu memodifikasinya sesuai kebutuhan setempat. Maka, jadilah program inovatif hasil replikasi yang dimodifikasi. Langkah lain yang bisa ditempuh adalah dengan melihat secermat mungkin persoalan daerah, lalu berupaya menemukan pilihan kebijakan kreatif menyelesaikan persoalan tersebut.  

Di Indonesia saat ini, ada dua kata penting dalam kamus pemerintahan, yakni 'daerah' dan 'pusat'. Kata 'daerah' mengacu pada dua wilayah, lokal dan provinsi. Sedangkan kata 'pusat' tertuju pada pusat pemerintahan di Jakarta. Pemimpin daerah punya keleluasaan merancang kebijakan kreatif sekaligus inovatif, sehingga memungkinkan para pemimpin daerah mendongkrak popularitas bahkan elektabilitas. Inovasi berbuah elektabilitas kepala daerah merupakan berkah dari situasi ini.

Kepala daerah inovatif selalu melihat layanan publik bukan untuk pencitraan, melainkan sebagai arena berinovasi. Tentunya, inovasi yang bermanfaat untuk seluruh warga daerah. Bukan sembarang inovasi dan tidak sembarangan berinovasi. Misal, pelebaran trotoar agar pejalan kaki lebih leluasa bergerak. Tidak tergantung pada kendaraan, sehingga warga lebih nyaman serta aman dengan berjalan kaki. Inovasi sederhana memenuhi kebutuhan warga.   

Itulah yang dilihat Asim Şen dan Erol Eren dalam artikelnya ''Innovative Leadership for the Twenty-First Century'' sebagai kepemimpinan efektif mengubah kondisi melalui inovasi publik. Kepemimpinan semacam itu berorientasi pada kebutuhan warga, menjadikan data sebagai acuan, lalu mengubah situasi tanpa pamrih. Artikel yang terbit di jurnal Procedia - Social and Behavioral Sciences (2012) tersebut juga menyebut, kepemimpinan seperti itu membutuhkan visi jelas, cara baru, proses serta teknik baru ketika melihat layanan prima kepada warga adalah prioritas.  

Nilai Kepemimpinan Inovatif

Mantan dekan Haas School of Business di Universitas California, Berkeley Raymond E. Miles dalam artikelnya 'Innovation and Leadership Values' yang terbit di California Management Review (2007) menyatakan tiga hal penting dalam sebuah kepemimpinan abad ini. Pertama, knowledge creation, kreasi pengetahuan. Kreasi ini membutuhkan dasar pengetahuan yang kuat. Seorang calon pemimpin tanpa dasar pengetahuan memadai, maka ia akan sulit merancang kebijakan atau program.  

Kedua, knowledge sharing. Berbagi pengetahuan. Ketika mengetahui sesuatu, tidak disimpan sendiri atau tak berbagi. Calon pemimpin harus bisa berbagi pengetahuan yang ia punya, kepada berbagai pihak. Menurut Raymond, ada saling percaya dan saling menghormati dalam proses berbagi pengetahuan ini. Kepemimpinan seseorang akan teruji ketika ia mampu meyakinkan siapa saja yang bekerjasama dengan dirinya agar menjadikan pengetahuan sebagai dasar kebijakan.

Contoh paling nyata ditunjukkan oleh para pendiri bangsa kita ketika merumuskan Pancasila. Dalam proses perumusan, ada kerjasama berbagi pengetahuan tentang gagasan-gagasan besar. Saling mengisi, saling memberi, saling melengkapi. Sampai rumusan itu menjadi final lalu diumumkan sebagai dasar negara sekaligus ideologi bangsa. Proses perumusan Pancasila ini jarang dilihat dalam bingkai berbagi pengetahuan diantara para pendiri bangsa, padahal pelajaran penting di dalam proses tersebut justru terletak disana. 

Ketiga, inovasi. Ada dua kata kunci dalam inovasi. Observasi dan aksi. Dalam sebuah organisasi, tulis Raymond, pengetahuan sering mengendap dalam diri masing-masing anggota organisasi. Tapi, pengetahuan itu muncul ketika para anggota organisasi mengobservasi situasi lalu melakukan aksi perubahan sekaligus peningkatan kinerja. Kerja-kerja birokrasi melayani publik juga tidak lepas dari dua kata kunci ini. Utamanya, ketika hendak mengupayakan peningkatan layanan publik.  

Yang tak kalah pentingnya untuk diperhatikan adalah kolaborasi. Perlu dibangun hubungan saling percaya antara pemimpin dan yang dipimpin. Ini sudah lama diperbincangkan. Seorang capres tetap butuh pihak lain. Ia perlu berkolaborasi bukan saja dengan parpol yang mengusungnya, namun juga dengan relawan yang mndukungnya. Dalam kolaborasi itu harus timbul rasa saling percaya. Tiap individu bebas berkolaborasi dalam proses inovasi ketika hendak menggulirkan program. Bahkan kelak ia harus berbagi pengetahuan guna menciptakan kebijakan atau program baru. 

Tak Sekadar Merakyat

Rasanya, semangat kerakyatan harus benar-benar dibumikan ke dalam layanan yang benar-benar bermutu untuk rakyat. Jargon 'wong cilik' tapi kenyataannya sama sekali tak berpihak pada 'wong cilik', sudah harus diakhiri. Jargon semacam itu terbukti telah memanipulasi kesadaran orang banyak, seakan-akan calon pemimpin yang sering turun ke bawah atau blusukan adalah sosok yang memahami apa yang dibutuhkan rakyat. 

Kenyataannya, justru jauh panggang dari api. Jauh harapan dari kenyataan. Apa yang dibutuhkan rakyat, malah seperti tak dihiraukan. Tampilan merakyat tak menjamin kebijakan yang dikeluarkan benar-benar berpihak pada rakyat. Situasi ini menunjukkan minimnya inovasi melayani rakyat, sebab melayani rakyat dianggap hanyalah rutinitas biasa. 

Apalagi, terjadi keterpisahan antara kebutuhan rakyat dari kebijakan yang digulirkan. Situasi ini kian menunjukkan merosotnya inovasi. Tak ada terobosan kebijakan untuk mensejahterakan rakyat atau minimal tak menganggu kebutuhan rakyat. Harus dipahami, rakyat butuh terobosan kebijakan atau program yang benar-benar bermanfaat atau terpenuhinya kebutuhan sehari-hari. Itu tantangan kepemimpinan inovatif di masa mendatang.

Peneliti JPIPNetwork