PWI Jatim Chanel dan DPU Bina Marga Provinsi Jatim Gelar FGD Penanganan Berita Hoax

Focus Group Discussion (FGD) dengan tema "Penanganan Berita Hoax"
Focus Group Discussion (FGD) dengan tema "Penanganan Berita Hoax"

PWI Jatim Chanel bekerja sama dengan Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Provinsi Jawa Timur menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan tema "Penanganan Berita Hoax" di Hotel Ijen Suite Kota Malang selama 2 hari, mulai 23 - 24 November 2023.


Ketua Panitia H. Muhajir Wahyu Ramadhan mengatakan, kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuan dalam menangani berita hoaks pada DPU Bina Marga, khususnya masyarakat Jawa Timur.

Menurutnya, kerja sama antara PWI Jatim Chanel dengan SKPD dapat memberikan dampak yang lebih besar dalam upaya penanganan berita hoaks. Kerja sama ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti menggelar FGD, pelatihan dan sosialisasi.

"Kami yakin, dengan kerja sama yang baik, kita dapat bersama - sama memerangi penyebaran berita hoaks," tegasnya pada Jum'at (24/11/2023).

Ditambahkan Dewan Pembina Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Jatim H. Joko Tetuko, M.Si selaku narasumber, menjelaskan perspektif hukum media mengatasi pemberitaan terhadap kebinamargaan.

"Media pers adalah media yang menyebarkan karya jurnalistik berdasarkan Undang-undang Pers dan kode etik jurnalistik, media non pers yaiti media yang memuat karya tulis, karya foto, karya audio dan/atau karya audio visual yang dilakuan oleh masyarakat umum di luar Pers," tambahnya pada Jum'at (24/11/2023).

Lebih lanjut Joko Tetuko menjelaskan struktur penanganan hukum media pers dan hukum media non pers, media pers tunduk akan Undang – undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, jika ada sengketa dalam pemberitaan bisa mengajukan pengaduan masyarakat pada Dewan Pers.

“Kalau media non pers akan tunduk pada Undang – undang ITE, Penyiaran, Pornografi, HAM, Pelindungan anak dan Undang – undang SPPA,” jelas Joko Tetuko.

Menurutnya Undang-undang Pers mekanisme yang dapat dilakukan Masyarakat yang dirugikan oleh pers adalah menggunakan Hak Jawab dan Hak Koreksi. 

“Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 1 angka 11 UU PERS telah ditegaskan bahwa pers wajib melayani Hak Jawab, yaitu hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.  Sedangkan Pasal pasal 5 ayat (3) jo. Pasal 1 angka 13 UU PERS dijelaskan bahwa Hak Koreksi adalah hak setiap orang untk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun orang lain,” ujar Dewan Pembina SMSI Jatim.

Ditambahkan Sekjen Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Drs. Eko Pamuji, M.IKom, bahwa Indonesia merupakan negara dengan media terbanyak. Total media sekitar 50.000 dan terbesar di dunia.

“Tiga macam media saat ini, pers professional, partisan dan per sabal – abal,” ujarnya.

Eko Pamuji juga menjelaskan beda media pers dan non pers atau media sosial, “Produk pers yaitu berita yang bertanggunjawab, mulai dari kompetensi wartawan, badan hukum dan ada penanggung jawab dan alamat media,” jelas Eko Pamuji dalam kegiatan FGD.

Anandyo Susetyo SH,MH CPArb, CPM,CPLi pria yang akrab disapa Anton saat ini menjabat Presiden Yuris Indonesia dan Ketua Dewan Sengketa Indonesia propinsi Jawa Timur menjelaskan, fenomena media abal – abal, akun anonim, buzzer, hoax dan ujaran kebencian.

“Masyarakat banyak yang tidak bisa bedakan media abal abal, akun anonim, buzzer, dan hoax, disinyalir ada 700 ribu situs sebarkan hoax, secara konsisten dan terus menerus. Dampaknya adalah spiral of silence,” tambahnya.

Anton mengatakan, bicara hoax itu ada dua hal. Pertama, berita bohong harus punya nilai subyek obyek yang dirugikan. Kedua, melanggar Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Pasal 28 ayat 2 itu berbunyi, "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukkan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)".

"Kalau berita – berita itu menimbulkan kebencian, permusuhan, dan mengakibatkan ketidakharmonisan di tengah masyarakat. Sanksinya hukuman (pidana penjara) selama enam tahun dan/atau denda Rp1 miliar," jelas Anton.