Negara Koplak

BAGONG NJAMBAL (17)


APA yang didawuhkan Prabu Dwarawati bener dan pener. Bahwa semua orang harus melawan pagebluk. Tapi, jika pemimpinnya tidak bener dan pener, maka pagebluk akan semakin semakin merajalela.

Sejak awal biang masalah pagebluk muncul karena tidak bener dan pener pemimpin memimpin negara. Prabu Welgeduwelbeh sejak awal terlalu menggampangkan perkara. Pagebluk dianggap remeh. Tidak penting. Katanya, itu hanya flu biasa. Cukup makan jahe bablas pagebluknya.

Sekarang lihat yang terjadi. Pagebluk makin merajalela. Orang-orang panik. Tidak peduli brahmana, ksatria, nalindra, rakyat jelata, semua terjangkiti wabah ini. Satu persatu berjatuhan. Sakit. Terus mati.

Sementara Prabu Welgeduwelbeh tak segera mengambil kebijakan. Malah, dia petentang-petenteng mengatakan bahwa pagebluk hanya secuil masalah yang akan segera berlalu.

“Dasar Welgeduwelbeh koplak,” umpat Bagong di hadapan semua bendara Ngamarta.

Semua orang kaget mendengar Bagong berkata dengan nada tinggi. Dan seperti biasa mata Bagong selalu mendonong kalau berbicara.

Prabu Darmakusuma lantas mengingatkan Bagong supaya menjaga kata-katanya.

“Bagong, kalau berbicara yang sopan. Di sini ada bendara-bendaramu,” dawuh Sang Ratu.

“Yo wis ben, aku tidak peduli sinuwun. Semua orang sudah tahu bagaimana sikap Welgeduwelbeh. Gara-gara dia dan cecunguk-cecunguknya, pagebluk merajalela di negeri ini.”

“Kamu tidak bisa menyalahkan satu orang, Bagong. Ini juga salah kita,” balas Sang Ratu.

“Ampun sinuwun Prabu Darmakusuma. Saya bukannya lancang. Ini memang harus diluruskan. Welgeduwelbeh pemimpin yang budi pekertinya candala, selalu memupuk angkara murka,” jawab anak Semar paling ragil tersebut.

“Kamu tahu darimana kalau Welgeduwelbeh tidak baik?” Tanya Prabu Darmakusuma.

“Dari Prabu Dwarawati,” Bagong menunjuk ke arah Kresna.

“Husst, Bagong kowe jangan tumbal cucukan. Yai, biarkan Bagong bicara apa. Kita dengarkan saja,” sahut Prabu Dwarawati kepada Prabu Darmakusuma.

Menurut Bagong, Prabu Welgeduwelbeh saat ini tidak memiliki wibawa sama sekali di depan wong cilik. Semua perintah-perintahnya tidak digubris. Bahkan para tumenggung di wilayah negara sudah tidak manut dengan perintah Welgeduwelbeh.

Saat pagebluk datang, Welgeduwelbeh sama sekali tidak menerapkan aturan menutup wilayah. Malah dia bilang wabah pagebuk akan mati karena cuaca panas di negeri Lojitengara.

“Dasar Welgeduwelbeh koplak,” Bagong kembali mengumpat, “Sejak kapan cuaca membunuh pagebluk. Cocot dia asal njeplak.”

Tidak hanya Welgeduwelbeh, cecunguknya seperti Duryudana juga sama-sama koplaknya. Hanya karena dipercaya Welgeduwelbeh, Duryudana akhirnya menjadi raja sekaligus cecunguk yang koplak. Sama-sama bilang bahwa pagebluk tidak tahan di cuaca negara Ngastina.

Duryudana sebenarnya bukan raja asli. Tapi sok-sokan menjadi raja. Dia setengah raja setengah cecunguk. Dia menduduki dampar kerajaan karena bapaknya Destarata merebut dari raja pewaris asli yakni Pandu.

Kini, Sang Raja merasa berada di atas awan. Apalagi memiliki pelindung Welgeduwelbeh yang digdaya dan dapat mengalahkan Pendawa. Kini semua urusan cecunguk-cecunguk dipasrahkan padanya.

Bahkan Dursasana tidak ketinggalan mengikuti jejak kakangnya. Dia mengambil kebijakan nyeleneh. Di tengah wabah pagebluk, semua penjara dikosongkan. Ribuan tahanan dibebaskan. Maling, perampok, penipu, penghasut, pemadat, pembunuh hingga koruptor bebas.  

Kebijakan ini yang dikritik Bagong. Dia bilang, tidak semestinya tahanan dibebaskan. Negara akan jadi kalang kabut. Padahal jika tahanan tetap berada di penjara, mereka malah aman. Pagebluk tidak akan bisa masuk. Sebab penjara ditutup total.

“Coba sinuwun bayangkan, semua tahanan dibebaskan. Saat tumenggung-tumenggung ribut menutup diri karena takut pagebluk, negara malah membebaskan tahanan. Negara malah menciptakan kepanikan. Coba sinuwun bayangkan, kalau mereka bebas mau kerja apa. Orang baik-baik saja susah cari makan di tengah wabah pagebluk. Dan sekarang penjahat dibebaskan. Sementara rakyat hanya berdiam diri di rumah. Dipenjara di rumah sendiri. Bayangkan betapa kacaunya negara ini. Negara koplak karena pemimpinnya koplak,” seru Bagong.

Tidak hanya itu, Welgeduwelbeh dan cecunguk-cecungukya seperti tidak punya tata krama. Akibat wabah pagebluk, mereka menciptakan bermacam-macam ketakutan pada rakyat.

“Mereka bikin hoax, bikin tipu muslihat, bikin kebohongan, bikin kepanikan,” jelas Bagong.

“Gong, hoax itu apa?” Antasena bertanya.

“Wah raden ini ketinggalan jaman. Hoax itu istilah negeri seberang sana. Artinya kepalsuan,” jawab Bagong.

“Oh, ngono. Kalau bicara sing cetho, Gong. Semua bendaramu belum tahu istilah asing!”

“Injeh raden. Maafkan daku!” Balas Bagong cengengesan.

Bagong melanjutkan. Welgeduwelbeh selalu bilang untuk melawan hoax. Tapi dia sendiri menyebarkan hoax.

“Welgeduwelbeh bilang penyebar hoax akan dipakunjara. Eh, kok malah dia sendiri yang menyebarkan hoax. Bilangnya semua pajak dan utang rakyat akan ditangguhkan. Buktinya mana? Mbelgedhes. Semprul. Koplak. Kentir!” Njambal Bagong.

“Yang ada kawula malah disuruh bayar pajak tinggi. Cengkeme Welgeduwelbeh tidak bisa dipercaya. Selalu beda dengan kenyataan. Antara cangkem Welgeduwelbeh dan cecunguk selalu beda. Isuk dele sore tempe. Cangkeme tidak bisa digugu. Rakyat diputar-putar dengan kebingungan. Kesannya rakyat dibiarkan mati karena pagebluk, dibiarkan mengurus diri sendiri, dibiarkan melawan pagebluk tanpa ada perlindungan dari negara. Yang ada mereka disuruh menyumbang untuk negara. Keluar biaya sendiri untuk beli alat pelindung diri,” imbuhnya.

Dengan mengatasnamakan pagebluk, Welgeduwelbeh memerintahkan orang-orang untuk menjauhkan diri dari keyakinan. Orang dilarang pergi ke tempat-tempat peribadatan karena ada pagebluk. Orang dilarang berdoa bersama karena pagebluk. Orang dilarang melakukan laku prihatin karena pagebluk. Orang dilarang bersilaturahmi karena pagebluk. Sebaliknya, rakyat disuruh bayar pajak sebelum laku prihatin dimulai.

“Sinuwun bayangkan, cecunguk Welgeduwelbeh urusan agama malah mengajak orang meninggalkan Sang Hyang Jagad. Ini cara-cara licik Welgeduwelbeh menjauhkan orang-orang dari keyakinan. Padahal semakin banyak orang mendekatkan diri pada Sing Gawe Makaryo, semakin hilang rasa ketakutan dan kepanikan. Ini yang terjadi malah menciptakan kepanikan. Justru untuk urusan uang, mereka minta didahulukan. Sebelum laku prihatin dimulai, mereka disuruh bayar pajak. Koplak! Sejak kapan orang beribadah disuruh bayar. Yang ada di pikiran Welgeduwelbeh dan cucunguknya cuma uang, uang dan uang. Buktinya, mereka tidak menutup diri dari dunia luar. Orang asing dibebaskan masuk. Padahal mereka bisa saja membawa pagebluk.”

Karena itu, Bagong sepakat dengan kata-kata Prabu Dwarawati. Untuk melawan pagebluk, sebelumnya harus melawan si biang kerok yaitu Prabu Welgeduwelbeh. Pasalnya, negara ini harus diurus dengan bener dan pener dulu, bukan asal-asalan seperti ini.

“Sinuwun, saya sepakat dengan kata Prabu Dwarawati, bahwa kita harus melawan Welgeduwelbeh. Kalau tidak dilawan, saya yakin rakyat akan habis di negara ini. Semua kebijakan Welgeduwelbeh sangat koplak, negara akhirnya menjadi koplak. Memang cuma pusaka Jamus Kalimasada yang bisa menyingkirkan pagebluk. Pusaka ini yang akan memberi keanugrahan pada rakyat. Namun sebelum itu, kita harus mengingatkan Welgeduwelbeh dan cecunguk-cecunguknya. Kalau tidak bisa diingatkan, ya dilawan. Gara-gara perbuatannya yang selalu memupuk angkara murka, rakyat menjadi korbannya. Di sini banyak ksatria tangguh yang siap perang,” tandas Bagong yang diamini semua orang.

Noviyanto Aji

Wartawan RMOLJatim