Keterwakilan Perempuan di KPU-Bawaslu Wujud Konkret Internalisasi UU

Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati/RMOL
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati/RMOL

Isu keterwakilan perempuan dalam komposisi komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengaws Pemilu (Bawalsu) terus disuarakan oleh berbagai kalangan aktivis.


Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati mengatakan, pemenuhan 30 persen keterwakilan perempuan di penyelenggara Pemilu harus menjadi prioritas utama. Sebab dengan memenuhi keterwakilan perempuan adalah wujud internalisasi konkret terhadap aturan perundang-undangan.

"Kita perlu menghadirkan langsung sosok perempuan yang memiliki kapasitas dan integritas yang bagus baik itu rekam jejak, kinerja juga kapabilitasnya yang memang mumpuni," demikian kata Neni melansir Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (4/2).

Menurut Neni, dengan menghadirkan perempuan maka akan mampu mendorong keadilan serta kesetaraan akses perempuan di penyelenggara Pemilu.

Dalam pandangan Nenu, kehadiran perempuan tentu bukan hanya sekadar pelengkap belaka dalam penyelenggaran Pemilu. Karena, laki laki yang memiliki perspektif gender saja tidaklah cukup.

Ia mengatakan, perempuan harus secara langsung mengisi ruang penyelenggara Pemilu agar bisa lebih terstruktur, sistematis dan massif lagi.

"Sampai ke grass root dan memiliki kebijakan yang mengarusutamakan pada kepentingan perempuan dan kelompok rentan sehingga dapat terwujud inklusivitas pemilihan," pungkas Neni.

Dari 14 calon anggota KPU, kandidat perempuan terdiri dari Betty Epsilon Idroos, Dahliah, Iffa Rosita dan Yessy Yatty Momongan.

Sedangkan dari 10 calon anggota Bawaslu kandidat perempuannya terdiri dari Andi Tenri Sompa, Lolly Suhenty dan Mardiana Rusli.