KPK: Kita Selalu Merasa Kaya Sumber Daya Alam, Tapi Tidak Tahu Berapa Besarnya

foto/net
foto/net

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyayangkan kekayaan sumber daya alam (SDA) Indonesia tidak dimanfaatkan dengan baik, bahkan menjadi bahan bancakan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dengan mengeksploitasi habis-habisan.


Hal itu disampaikan oleh Direktur Gratifikasi dan Pelayanan Publik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Herda Helmijaya dalam webinar antikorupsi bersama Institut Pertanian Bogor (IPB), secara virtual, Selasa (26/7).

Herda mengatakan, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia dianugerahi kekayaan SDA yang tersebar hampir di seluruh penjuru negeri.

Namun, akibat pengelolaan yang buruk, sumber daya alam menjadi salah satu sektor yang rawan terjadi korupsi. Penyebabnya, hingga saat ini Indonesia belum memiliki satu peta luas dan batas hutan (one map).

Akibatnya, hutan yang seharusnya dilindungi dan dijaga kealamiannya beralih fungsi menjadi perkebunan-perkebunan industri di lahan yang tidak seharusnya.

"Kita selalu merasa kaya akan sumber daya alam tapi kita tidak tahu berapa besarnya. Waktu masih punya merasa tidak memiliki, pas hilang baru dihitung kok rugi besar," ujar Hendra.

Oleh karena itu, KPK bersama tim Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi (Stranas PK) sedang mendorong penetapan luas kawasan hutan di Indonesia.

Nantinya kata Hendra, dari batasan tersebut, negara bisa menghitung dengan rigid berapa total kekayaan dari hutan yang dimiliki. Sehingga, dengan kepastian hukum tersebut izin alih fungsi lahan dan total kerugian negara akan terhitung dengan baik.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memprediksi luas kawasan hutan di Indonesia adalah 125.797.052 hektare. Hingga 2020, penetapan kawasan hutan sudah mencapai 89.192.477 hektare dan 36.624.544 hektare sisanya sedang dalam proses.

Data KLHK 2020 lalu itu memperlihatkan telah terjadi ketimpangan penguasaan Kawasan hutan. Di mana, pihak swasta menguasai 98,53 persen, masyarakat lokal 1,35 persen, dan kepentingan umum 0,12 persen.

Selain itu, banyak ditemukan alih fungsi hutan menjadi perkebunan dilakukan secara illegal. Yakni dengan modus konspirasi antara pemegang kekuasaan dengan pengelola sumber daya alam, sehingga terjadi permufakatan jahat melalui praktik-praktik korupsi dalam ekspansi perkebunan.

Herda menerangkan, dengan kepastian luas kawasan hutan dan kekayaan yang dimilikinya, maka akan mempermudah proses pengusutan perkara tindak pidana korupsi.

Di mana, selama ini hal yang paling menyulitkan ialah menghitung kerugian negara akibat korupsi tersebut. Selama ini pun KPK menggunakan cara konservatif dari jumlah tegakan yang berada di lapangan.

Misalnya kata Herda, KPK menghitung berapa banyak kayu gelondongan yang tergeletak, tumbang, dan tidak tumbang. Jumlah tersebut akan dikonversi dengan daftar harga dari kementerian terkait.

"Sayangnya, angka tersebut masih di bawah nilai kerugian sesungguhnya," pungkasnya.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, Hariadi Kartodihardjo menjelaskan, terdapat beberapa permasalahan yang menjadi penyebab kerentanan korupsi berkaitan SDA.

Utamanya kata Hariadi, ketidakpastian hukum dan perizinan, kurang memadainya sistem akuntabilitas, lemahnya pengawasan, dan kelemahan sistem pengendalian manajemen.

Hariadi menekankan, sektor perizinan harus mendapat perhatian lebih dalam kasus korupsi SDA. Riset KPK memperlihatkan pelaku suap harus merogoh kocek mulai dari Rp 600 juta hingga Rp 22 miliar untuk mendapatkan izin usaha.

Uang suap tersebut dikeluarkan sejak mulai mengurus perizinan usaha, penataan batas, izin lingkungan, rekomendasi dan pertimbangan teknis, prosedur perizinan/perpanjangan, perencanaan hutan, pengangkutan, surat keterangan sah hasil hutan, surat perintah bayar, laporan hasil produksi, peredaran dan pungutan royalti, penegakan hukum, post audit, dan pengawasan/pengendalian.

"Pelaku korupsi bisa dengan mempengaruhi pembuatan tata ruang dan mengubah kawasan lindung menjadi kawasan produksi," kata Hariadi.

Sementara fakta di lapangan, memperlihatkan banyak izin-izin usaha diberikan kepada pihak swasta dengan kondisi lahan yang sangat produktif. Hal ini berbanding terbalik dengan PP 34/2022, di mana Pasal 20 Ayat 3 menjelaskan usaha pemanfaatan hasil hutan pada hutan tanaman dilaksanakan pada lahan kosong, padang alang-alang, dan atau semak belukar di hutan produksi.

Adapun modus korupsi izin yang biasa dilakukan ialah pemalsuan dokumen, mencari legalitas di pengadilan, penduduk legal/tanpa hak, rekayasa perkara, kolusi dengan oknum aparat untuk mendapatkan legalitas, pemalsuan kuasa pengurusan hak atas tanah serta hilangnya warkah tanah.

Operasi mafia tanah ini seringkali tidak berhenti pada pemalsuan administrasi tetapi berlanjut dengan melakukan pengubahan tata ruang hingga berlangsungnya proyek infrastruktur. Pun, mereka juga bisa memasukkan pasal-pasal di UU yang menguntungkan kelompok tertentu.

Selanjutnya, Bambang Hero Saharjo yang tergabung di dalam Pokja Antikorupsi IPB menjelaskan dampak buruk dari korupsi di sektor SDA sangat mengkhawatirkan.

Pertama, lubang tambang banyak yang tidak direklamasi karena perjanjian illegal dengan pihak berwenang. Kedua, Banyak menyebabkan kecelakaan dan kematian terutama pada anak-anak.