Jelang Pemilu tahun 2024, isu tentang politik identitas ramai dibicarakan. Tak jarang isu ini digunakan untuk menyudutkan calon presiden tertentu.
- Hasil Survei Pilpres Sia-sia Jika PT Masih 20 Persen, Adanya Hanya Capres Boneka
- Gelar Konsolidasi, Fraksi Gerindra se Jawa Timur Inisiasi Padat Karya Di APBD 2023
- Sudah 170 Kepala Daerah yang Ditangkap, Ini Saran KPK
Untuk itu, Perhimpunan Masyarakat Pesantren Indonesia (PMPI) menggelar diskusi dengan tema ; Mengelola Konflik di Media Sosial Pada Pemilu 2024: Agama, Budaya dan Masa Depan Indonesia, di Surabaya.
Dalam acara ini hadir sekaligus empat narasumber utama. Yakni, Cendikiawan NU, Muladi Mughni PhD, Aktivis Muda NU, Holili M.Ag, Akademisi UINSA, A. Khubby Ali Rohmad M.Si dan Sejarawan dari Kampus Unesa, Bayuaji, S. Hum.
Dalam paparannya Muladi Mughni menyampaikan isu soal politik identitas ini jadi pekerjaan rumah bersama.
"Kalau seandainya betul politik identitas atau Islam politik memimpin apakah tidak menjadi ancaman? Saya pikir ini jadi PR kita semua. Kalau kita yakin bahwa Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin saya pikir ini bukan saatnya kita mengadu jargon," ujarnya.
Menurut dia begitu pun juga dengan politik Islam atau kita sebagai pemimpin.
"Apakah kita bisa meniru tentang bagaimana pendahulu kita untuk bisa mengemplementasikan ajaran universal Islam dengan konteks sosial, politik, budaya dan kehidupan ekonomi sehari-hari," bebernya.
Dia melanjutkan sebelum terbentuk NKRI ada contoh tradisi heroik Surabaya sebagai kota santri.
"Itu resolusi jihad satu contoh kecil bahwa ada ajaran Islam itu tidak pernah bertentangan dengan nasionalisme, bahkan mendorong untuk membebaskan dari pada kolonialisme," tegasnya.
Mughni menuturkan ini adalah inspirasi kebangkitan melalui nilai spirit agama. Tetapi untuk konteks kebangkitan nasional ini yang harus digelorakan selalu.
"Ini jadi suatu bukti bahwa sebetulnya kekhawatiran kalau kita mengangkat spirit nilai Islam itu tak harus dimaknai bahwa kita anti nasionalisme. Saya pikir sahabat ngerti istilah hubbul wathan minal iman," cetusnya.
Menurut Mugni lagi inilah yang sering dilupakan.
"Saya pikir kita tak membicarakan seorang agama tak bisa tampil nasionalis atau sebaliknya. Orang yang memiliki jiwa nasionalisme diragukan keagamaanya saya pikir itu narasi kita terjebak pada media sosial era masa lalu," jelasnya.
Dia menambahkan jika kita yakin pada posisi benar yang sering jadi masalah adalah bagaimana kita merendahkan orang lain, yang tidak satu identitas. "Pada aspek inilah kita mendirikan toleransi yang dibimbing oleh moralitas budaya ataupun etik sumber dari agama," imbuhnya.
Sementara itu Holili menyatakan politik identitas hanya dikenal secara simbolik. "Kalau kita melihat dalam perspektif ilmu sosiologi maka tentu politik identitas dibagi menjadi dua bagian relasi dengan kategori," ujarnya.
Menurut dia jika ingin melihat politik identitas secara substantif maka tentu di Indonesia itu politik identitas dibagi menjadi dua bagian. Yakni, ada agamis dan ada juga nasionalis.
"Sehingga ada partai yang mengusung sebagai partai nasionalis ada mengusung partai agamis atau religius. Hal yang bersifat karakteritik yang seperti ini maka tentu adik-adik bisa melihat di mana partai agamis itu sendiri dan di mana yang mengusung partai nasionalis itu sendiri," imbuhnya.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Adhie Massardi: Politik Identitas Tak Masalah, yang Penting Tidak Palsu
- Soal Azan Ganjar di TV, Bawaslu Minta Jauhi Politik Identitas
- Haji dan Politik Identitas Global