Kuasa Hukum Terdakwa BTS 4G Minta Tata Cara Pemberantasan Korupsi Dikaji Ulang

Kuasa hukum terdakwa Galumbang Menak Simanjuntak (mantan Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia Tbk), Maqdir Ismail/RMOL
Kuasa hukum terdakwa Galumbang Menak Simanjuntak (mantan Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia Tbk), Maqdir Ismail/RMOL

Korupsi masih jadi persoalan besar bangsa Indonesia saat ini. Salah satunya menyeret sejumlah menteri yang menjadi pembantu Presiden Jokowi yakni Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Johnny G Plate. 


Terbaru, Kejaksaan Agung telah menetapkan 13 tersangka, 6 di antaranya sudah menjadi terdakwa dan disidangkan karena diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek BTS 4G Bakti Kominfo yang merugikan negara mencapai Rp 8 triliun.

Dalam penindakannya, mereka yang diduga menerima dan mengatur aliran dana langsung ditetapkan sebagai tersangka.

Namun, kuasa hukum terdakwa Galumbang Menak Simanjuntak (mantan Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia Tbk), Maqdir Ismail berpendapat, bahwa penerapan hukum pidana tersebut tetap harus dilaksanakan secara hati-hati dan bijaksana.

Terutama terhadap proyek-proyek pemerintah yang diduga bermasalah tapi pekerjaannya masih belum selesai.

Maqdir berpendapat bila Indonesia saat ini mulai mengkaji ulang terhadap cara pemberantasan korupsi, khususnya terhadap pekerjaan atau proyek pemerintah yang sedang diselesaikan atau masih belum selesai.

Secara sederhana, bila ada dugaan pelanggaran atau penyimpangan dalam proses pelaksanaan proyek-proyek pemerintah, maka penanganan hukumnya tidak mengedepankan proses hukum pidana dengan ancaman hukuman penjara, tetapi diselesaikan terlebih dahulu dengan hukum administrasi dan perdata.

“Hal ini mengingat hukum pidana merupakan ultimum remedium, yaitu hukum yang digunakan sebagai upaya terakhir jika tidak ada cara lain untuk menyelesaikan suatu perkara,” kata Maqdir dalam keterangan tertulis dimuat Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (31/10).

Lanjut dia, bila penindakan masih menggunakan hukum pidana, maka bisa berimplikasi negatif terhadap para pelaku usaha dan perekonomian nasional serta berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) jika tidak diterapkan secara adil dan proporsional.

“Salah satu contoh, dalam dakwaan Kejaksaan mendakwa dengan menggunakan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menyebutkan ada kerugian negara Rp8,03 triliun, angka ini mengacu kepada jumlah menara yang belum selesai dibangun sebanyak 3.242 BTS hingga 31 Maret 2022 dan kemudian dianggap mangkrak,” jelasnya.

Padahal, dari fakta-fakta persidangan terungkap sebanyak 3.242 BTS yang dianggap mangkrak, sebagian telah selesai dan hanya menunggu proses serah terima secara administratif.

“Keliru kalau BPKP melakukan perhitungan secara total loss karena proyek masih berjalan dan ada pengembalian uang ke kas negara,” ucap Maqdir.

Di sisi lain, ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) menilai kerugian negara belum bisa disimpulkan terhadap sebuah pekerjaan yang belum selesai.

“Alasannya, sebuah kerugian merupakan sebuah akibat yang sifatnya nyata dan pasti dan tidak bisa hanya berupa potensi kerugian,” tegas dia.

Itu sebabnya, Maqdir menyarankan agar pemerintah dan lembaga penegak hukum lebih berfokus pada upaya pencegahan dan penindakan korupsi dengan menggunakan hukum administrasi dan perdata.