Pemilu Bisa Jurdil?

Rosdiansyah/Ist
Rosdiansyah/Ist

SALAH-satu sorotan pada rezim saat ini adalah seputar Pemilu Jujur Adil (Pemilu Jurdil). Pertanyaan yang muncul, mungkinkah Pemilu digelar secara jujur dan adil? Wajar pertanyaan ini muncul karena ada kepentingan elit rezim saat ini terhadap hasil Pemilu 2024. Tersirat keinginan kuat dari rezim untuk ingin tetap mempertahankan kekuasaan politik dinasti melalui Pemilu.

Masalah utama saat ini memang soal politik dinasti itu. Yang telah dipraktekkan secara terang-benderang. Menyiasati aturan, memuluskan keinginan. Demi meraih kemenangan. Tentu saja, cara ini sudah terang-benderang diketahui publik, dan wajar saja jika kemudian publik spontan tahu kenapa sampai terjadi penyiasatan aturan di MK itu. Belakangan, Majelis Kehormatan MK (MKMK) memperkuat sinyalemen publik itu dengan membuktikan telah terjadi konflik kepentingan pada hasil putusan MK ihwal batas usia paslon.

Berikutnya, usai menggerogoti marwah MK, lalu terjadi penggiringan opini publik besar-besaran. Bahwa setiap warga negara berhak tampil sebagai calon. Rekayasa kesadaran (manufacturing consent) pun disebar lewat buzzer atau influencer, yang menyasar kalangan muda. Membenturkan kaum muda ke kaum yang dianggap menghalangi tampilnya sosok muda. Padahal, masalahnya bukan pada usia muda atau tua. Masalahnya justru pada penyiasatan aturan demi melanggengkan dinasti yang kini sedang berkuasa.

Proses Pemilu tentu saja dikotori lewat penyiasatan aturan MK tersebut. Terlihat jelas, ada ketidaktundukan pada UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Penyiasatan ini menjadi preseden di masa datang. Rezim yang tak tunduk pada regulasi yang ada akan selalu berupaya menyiasatinya melalui berbagai cara.

Pemilu 2024 bisa mengalami krisis integritas. Krisis tertuju pada aktor penyelenggara Pemilu. Utamanya, pada karakter oknum-oknum yang sudah dipertanyakan kualitas moralnya oleh publik. Apalagi, oknum-oknum itu selama ini tak kuasa menghadapi cengkeraman rezim. Integritas Pemilu pun kian terpuruk, sebab bagi para oknum, memenangkan dinasti menjadi tujuan utama daripada melahirkan Pemilu yang jujur dan adil.

Minus integritas hanya akan menjadikan Pemilu sekadar ''business as usual''. Ditambah lagi, netralitas aparatur negara pun kini dipertanyakan publik. Loyalitas aparatur yang seharusnya kepada kepentingan negara dan bangsa, justru diam-diam berubah ke arah rezim yang sedang berkuasa. Artinya, tak loyal pada rezim dianggap sebagai tak loyal pada negara. Situasi ini tentu saja bisa memperpuruk integritas Pemilu karena terindikasi kuat mobilisasi diam-diam aparatur negara.       

Serangkaian fakta yang mengarah pada upaya memenangkan Pemilu demi dinasti tentu saja rasa waswas publik. Bahwa elit rezim tengah berusaha mempengaruhi proses Pemilu. Pantas saja jika warga masyarakat pun kini banyak membincang kecurangan Pemilu.

Peneliti di Surabaya