Sudah Ada UU 5/2004, PPHN Tidak Perlu Masuk Konstitusi

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti/Net
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti/Net

Gelombang kritik terkait wacana pentingnya amandemen terbatas UUD 1945 yang akan membahas Pokok Pokok Haluan Negara terus mengalir deras.


Apa yang disampaikan Ketua MPR Bambang Soesatyo pada Senin (16/8) itu dipandang tidak perlu masuk ke konstitusi.

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti  berpendapat, wacana memasukan kembali Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dalam kontitusi tidak memiliki urgensi sama sekali.

Argumentasi Bivitri, PPHN menjadi tidak penting dimasukkan ke dalam konstitusi karena Indonesia sudah memiliki UU 5 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Dalam UU tersebut, jelas Bivitri sudah mencakup aturan soal Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) , dan rencana Pembangunan Jangka Pendek (RPJP).

“Adanya RPJP, RPJM, dan RPJ Pendek yang bagus dari aspek perumusan maupun kontrol. Bahwa masih ada yang tidak selaras, kesalahan bukan pada dokumen, tetapi dalam pelaksanaannya,” ujar Bivitri, Kamis (19/8).

Bivitri juga menilai konsep PPHN yang sebelumnya dikenal dengan istilah GBHN, sudah usang atau ketinggalan zaman.

"Bila kita lihat Pasal 37, itu hanya berbicara kuorum. Tidak berbicara soal agenda. Jadi bisa saja ada agenda tambahan di tengah dan bisa disetujui sepanjang disetujui sesuai kuorum. Dan jangan lupa dalam politik tawar-menawar itu sering terjadi, sangat terbuka peluang, agar PPHN masuk, ada yang harus disetujui,” katanya.

Lebih lagi, Bivitri mengamati upaya DPD yang ingin menguatkan lembaganya.

“Jadi memang sekarang saja SUDAH menjadi bola liar. Apalagi nanti kalau sudah jadi agenda. Akan terlalu menyedot energi bangsa ini. Tidak layak dibahas sekarang,” pungkas Bivitri.